Aku sangat bahagia, tenryata Resti cukup sukses di ibu kota. Terbukti dengan banyaknya ia membelikanku barang-barang. Sebenarnya aku tidak enak, tetapi Resti terus saja memintaku agar menerima segala pemberiannya. Andai saja Erin tidak bersikap seolah sedang menjauhi, mungkin sekarang dia sedang bersama kami.
"Sampaaaii ...." ucap Resti saat tiba di depan pagar rumahku.
"Terima kasih lho, Res. Kamu mau mampir dulu gak?"
"Enggak dulu deh, besok aja aku mainnya. Oh iya, kata Idris, lusa ada pertandingan sepak bola di lapangan kecamatan. Kamu mau datang gak?"
Lusa? Berarti hari Minggu. Aku tidak langsung menjawab, mengingat kegiatan yang aku lakukan Minggu hari. Biasanya Ibu selalu membuat kue pesanan.
"Kalau gak ada pesanan kue, aku ikut. Tapi kalau ada, aku gak dulu ya? Soalnya kasihan ibu gak ada yang bantuin."
"Oke sip! Nanti kabarin aja kalau bisa. Mumpung aku ada di sini. Rencananya kita ke sana naik mobil aku bareng-bareng. Kahfi juga ikutan main bola lho." Kalimat terakhir Resti dipelankan sambil mengerlingkan sebelah mata.
Apa coba maksudnya? Dasar centil!
"Iya. Nanti aku kabarin. Makasih, Resti! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku turun dari mobil sambil menenteng beberapa goodie bag.
Melambaikan tangan saat Resti hendak melajukan mobil. Aku membalikkan badan, berjalan ke halaman rumah. Membuka pintu sambil mengucapkan salam. Namun, tidak ada jawaban.
"Buu ... Ibuuu ...." Aku memanggil ibu ke setiap ruangan. Tetapi tidak ada yang menjawab. Rumah tampak sepi.
Ibu kemana ya? Tumben jam segini gak ada di rumah. Aku melirik jam dinding sudah menunjukan pukul lima lewat lima belas menit.
Ketika di dapur, terdengar suara samar-samar di halaman belakang.
Aku berjalan cepat, ingin melihat ibu sedang berbicara dengan siapa. Langkah kakiku terhenti saat mendengar Ibu menyebut namaku melalui ponsel.
"Aku tidak mungkin meninggalkan Icha! Apalagi hanya karena kamu, Mas!"
Dahiku mengerut ketika Ibu menyebut kata 'Mas'. Mas siapa?
"Terserah kamu! Aku juga sudah tidak peduli! Kau kembali atau tidak ke sini! Aku justru berharap, kau tidak akan pernah kembali!"
Apa mungkin Ibu sedang menerima telepon dari Pak Bambang? Astaghfirullah! Bagaimana jika itu benar? Aku tidak mau bertemu dengan orang itu lagi! Aku takut ya Allah.
Terlihat ibu mengakhiri sambungan telepon. Aku bergegas masuk ke ruang tamu. Pura-pura duduk sambil memainkan handphone.
Ah, kebetulan sekali ada pesan singkat dari Kahfi.
[Cha, aku pulang. Minggu sore besok aku mau ikut sepak bola bareng Idris. Kamu jadi sponsornya, mau kan?]
Aku tersenyum membaca pesan singkat Kahfi.
[Insya Allah.]
"Cha?" Panggilan ibu membuatku memasukan handphone ke dalam saku.
"Eh, Bu. I-ibu dari mana?" tanyaku gugup sambil meraih telapak tangan wanita yang amat aku sayangi.
"Oh itu ... Ibu dari ... Hmmm ... Dari belakang. Kamu kapan pulang?" Ibu duduk di sofa sisiku. Aku tahu, ibu pasti gugup.
"Baru aja sih, Bu. Icha mau mandi dulu. Oh ya, Bu ... Ini Resti beliin ibu jilbab." Aku menyodorkan jilbab instan untuk ibu pemberian dari Resti.
Raut wajah Ibu langsung sumringah melihat jilbab instan berwarna merah maroon.
"Bagus banget, Cha. Bermerk lagi!" ucap Ibu menelisik jilbab yang ada di tangannya. Aku tersenyum melihat kebahagiaan ibu walau hati ini terasa sakit dan bersedih tiap kali mengingat pengkhianatan yang dilakukan ibu di Timur Tengah dulu. Melakukan kawin kontrak dengan sesama TKI. Hingga sekarang aku belum berani menanyakan siapa nama ayah kandungku.
"Iya, Bu. Resti kariernya lagi baik. Hmmm ... Icha masuk kamar dulu ya, Bu."
"Eh, Cha! Kamu udah makan?"
"Udah, Bu. Tadi Resti ngajak makan di Mall. Icha gak enak nolak. Maaf ya, Bu ... Gak bisa makan bareng Ibu."
Sebanarnya waktu Resti mengajak makan di Mall, aku sempat bingung. Kalau aku terima, nanti ibu makan sendirian. Tetapi, kalau aku menolak, gak enak juga.
"Gak apa-apa. Ya udah sana mandi! Badanmu bau!"
Aku terkekeh melihat ekspresi ibu yang menutup hidung.
Semoga saja ibu selalu bahagia meskipun sampai sekarang aku belum bisa membahagiakannya secara materil karena aku hanya guru Madrasah yang mendapat gaji tidak seberapa.
***
Pagi hari usai sarapan, Ibu mengajakku menanam pohon cangkok Mangga.
"Ibu sengaja menanam pohon Mangga lagi supaya nanti kalau sudah banyak buahnya, ingin ibu jual."
Pohon Mangga Ibu sebenarnya sudah ada lima. Alhamdulillah hasilnya bisa membantu perekonomian kami. Ibu yang mahir membuat kue tidak setiap hari mendapat orderan. Andai aku punya uang banyak, aku ingin membuatkan toko kue untuk ibu.
Semenjak ibu berhenti menjadi TKW, ibu hanya mengandalkan keahliannya membuat kue untuk penghasilan kami sehari-hari. Sebenarnya sewaktu lulus sekolah, ibu sempat menawarkan agar aku kuliah. Tetapi, hal itu tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak mau membebani ibu dengan biaya kuliah yang tidak sedikit. Sudahlah, jika mengingat hal itu, aku jadi bersedih. Kadang merasa iri jika melihat Kahfi dan Idris yang dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
"Semoga saja panen buah Mangganya banyak ya, Bu?"
Aku menimpali perkataan ibu. Sekarang usaha ibu merambah ke tanaman. Sering kali aku menyesali diri sendiri karena tidak dapat membantu perekonomian keluarga.
"Aaamiin. Yang penting kita rajin memeliharanya. Telaten memberi pupuk dan juga menyiram pagi dan sore."
"Iya, Bu."
"Assalamualaikum, Chaa ... Ichaaa ...."
Gerakan kami terhenti mendengar seseorang mengucapkan salam. Aku dan Ibu menoleh. Kami menanam pohon Mangga di kebun samping rumah. Kalau ada tamu yang datang pasti terdengar suaranya.
"Waalaikumsalaaamm ...." jawabku dan Ibu berbarengan.
"Bu, kayaknya itu suara Resti. Sebentar ya, Icha lihat dulu."
"Iya, coba lihat dulu sana!"
Setengah berlari melihat siapa yang datang. Apa benar Resti atau siapa?
"Resti? Ada apa?"
Resti terlonjak kaget mendengar suaraku. Terlihat ekspresi Resti yang memegang dada.
"Ya ampun, Chaaa ... Kamu tuh ngagetin banget sih?" Aku tersenyum, mendekati wanita yang kini berpakaian agak sopan.
"Maaf. Ada apa? Tumben masih pagi udah ke sini?" tanyaku heran melihat kedatangan Resti yang masih pagi.
"Aku mau ke rumah sakit, anterin Erin berobat. Tadi Bu Laksmi ke rumah, pengen pinjam mobil. Kata Bu Laksmi Mang Indra gak bisa datang. Kamu mau ikut gak?"
Sejenak, aku berpikir. Bukan tidak ingin ikut antar Erin periksa ke rumah sakit, aku hanya takut adanya aku Erin justru bersikap tidak baik.
"Woy, Cha! Malah bengong! Ayok cepetan! Mau ikut apa gak?"
"Enggak deh, Res. Aku takut nanti Erin ngamuk pas lihat aku."
"Justru kalau kamu tidak ikut, nanti Erin pikir kamu gak peduli! Paham gak?"
Benar juga apa yang dikatakan Resti. Memang serba salah. Ya sudahlah, lebih baik aku ikut mengantar Erin periksa ke rumsh sakit.