"Bu, Resti ngajak aku nganter Erin periksa ke rumah sakit."
Ibu menghentikan gerakannya yang menyiram pohon Mangga, menatapku sejenak.
"Ya udah gak apa-apa. Tetapi, kalau Erin ngomong yang nyakitin hati kamu, jangan dimasukin ke dalam hati." Aku mengangguk seraya tersenyum.
"Iya, Bu," sahutku, masuk ke dalam rumah, mengganti pakaian, lalu keluar rumah menemui Resti yang menunggu di bangku depan rumah.
"Ayok, Res!" Kami pun pergi bersama ke rumah Erin. Aku berharap, Erin tidak mencari masalah denganku. Tidak berkata kasar atau menuduh yang tidak-tidak.
Saat kami tiba di sana, sudah terlihat Erin, Bu Laksmi dan Pak Agus duduk di bangku teras rumah. Mereka langsung berdiri saat melihat mobil Resti masuk ke dalam halaman rumahnya.
Aku dan Resti turun dari mobil, menyalami Ibu dan Bapak Erin.
Raut wajah Erin tidak dapat kulihat karena tertutup oleh cadar. Namun kalau diperhatikan dari sorot matanya, Erin tampak menghindar dariku. Ah, bodo amat! Yang penting dia tidak memancing keributan.
Erin dan kedua orang tuanya duduk di bangku belakang. Sedangkan aku di samping Resti.
Kendaraan yang kami tumpangi pun melaju menuju rumah sakit yang dirujuk oleh Puskesmas desa kami.
"Resti, terima kasih ya sudah mau anter Erin berobat." Bu Laksmi memecah keheningan diantara kami. Aku melirik keadaan Erin yang duduk diantara ibu dan Bapaknya.
"Sama-sama, Bu. Mumpung Resti ada di sini juga."
"Memangnya kamu di kota kerja apa, Res? Hebat banget udah kebeli mobil." Bu Laksmi berbicara sambil melirik ke arah Erin. Aku tahu, mungkin maksud Bu Laksmi tidak seperti Erin. Bertahun-tahun kerja di luar kota tetapi tidak ada hasilnya. Jangankan membeli mobil, rumahnya pun tidak sempat direnovasi. Entah dikemanakan uang hasil kerja atau kawin kontrak yang dilakukan Erin.
"Resti kerja jadi foto model, Bu. Alhamdulillah job Resti selalu ada."
Aku tersenyum bangga mendengar penuturan yang disampaikan Resti. Anak ini memang sangat berbakat dalam hal modelling. Sejak sekolah dia sering kali ikut lomba fashion show diberbagai even. Kerap kali pula memenangkan even tersebut.
"Kamu hebat, Res. Keluar kota tapi ada hasilnya. Punya mobil baru dan pakaianmu juga bagus-bagus. Pakaiannya gak itu lagi, gak itu lagi! Warna pakaiannya juga gak itu lagi, gak itu lagi!"
Astaghfirullah ... Bu Laksmi semakin jelas menyindir Erin. Aku dan Resti saling pandang, tidak berani menimpali ucapan wanita yang telah melahirkan sahabatku itu.
"Ibu nyindir aku?"
Tiba-tiba Erin angkat suara. Aku dan Resti saling pandang lagi. Namun, kami tidak ada keberanian untuk menyela atau meluruskan perkataan Bu Laksmi.
"Ibu minta maaf kalau kamu tersindir, Rin. Tetapi, kenyataannya memang begitu 'kan? Kamu sudah bertahun-tahun kerja di Bogor. Katanya bekerja memetik teh, tetapi kamu jarang sekali kirim uang pada kami! Kami tidak marah, ibu dan bapakmu pikir uangnya kamu tabungin tetapi kenyataanya, untuk berobat sekarang saja pakai uang Ibu! Lalu, uang hasil kamu kerja dikemanain, Rin?"
Aku dan Resti tidak menyangka kalau Bu Laksmi mengeluarkan keluh kesahnya selama ini. Aku jadi serba salah harus bersikap bagaimana?
"Jadi ibu keberatan biayai pengobatan aku?"
Astaghfirullah, Erin ... Kenapa juga kamu bertanya demikian? Pertanyaan itu hanya terucap dalam hati saja. Sungguh aku tidka berani berbicara apapun. Begitu pula Resti, ia tampak fokus ke depan. Entah dia berpura-pura tidak mendengar atau memang tidak peduli.
"Bukan begitu, Rin ... Ibu hanya ingin tahu, uang hasil kerjamu di kemanakan? Ibu gak mau, kalau anak ibu kerja sampai sakit begini, tetapi hasilnya gak ada. Begitu, Nak ...."
Kali ini, Bu Laksmi merendahkan suaranya. Aku yakin maksud Bu Laksmi baik. Tidak ada niat untuk menyindir atau hitung-hitungan.
Kulihat dari kaca spion depan, Erin tampak berdiam diri, menatap lurus ke depan.
Perkataan Bu Laksmi tidak mendapat tanggapan apapun dari Erin. Wanita itu kembali terdiam.
Tidak terasa, perjalanan kami smapai juga di rumah sakit. Aku dan yang lainnya turun dari mobil. Mencoba memegang lengan Erin, namun ia tepis. Erin berjalan hanya ingin dipegangi oleh Bapaknya.
Bu Laksmi paham kalau anak sulungnya itu sedang marah. Setelah melewati prosedur rumah sakit, kami pun menunggu. Tidak berselang lama, Erin dipanggil Namun, ia meminta Resti yang menemani.
"Erin, kamu marah sama Ibu, Nak?" tanya Bu Laksmi saat mereka hendak masuk ruangan.
Erin tidak menjawab, melengos pergi, membiarkan pertanyaan ibunya menggantung.
Lagi-lagi aku dan Resti tidak mau ikut campur. Kami takut kena imbas dari permasalahan Erin.
Setelah memastikan Erin dan Resti masuk ruangan, aku memapah Bu Laksmi agar duduk di bangku panjang.
"Sudah, Bu ... Sabar ... Mungkin Erin lagi banyak pikiran. Makanya dia jadi cepat marah." Bapak Erin berusaha menenangkan istrinya.
"Betul apa yang dikatakan Bapak, Bu. Jangan terlalu dipikirkan sikap Erin. Doakan saja semoga Erin lekas sembuh." Aku juga berusaha menghibur Ibu Laksmi. Kasihan sekali ia, wajahnya berubah sedih sejak pembicaraan tadi di mobil.
"Ibu cuma tidak habis pikir. Selama ini dia kerja di luar kota, bertahun-tahun, uangnya dipakai buat apa, Pak? Buat apa? Sebenarnya ibu bertanya ini bukan ingin uang Erin. Tetapi paling tidak, kami tahu kalau Erin memang bekerja dan menerima upah dari pekerjaannya. Begitu, Cha ...."
Aku mengerti maksud Bu Laksmi. Ibu mana yang tidak bersedih jika hasil dari anaknya bekerja tidak terlihat. Selama ini Bu Laksmi selalu bertanya sama Indra. Dia bilang, suruh tanyakan pada Erin. Sedangkan Bu Laksmi tidak bertanya soal itu pada anaknya. Baru tadi saja Bu Laksmi mengungkapkan rasa penasarannya.
"Iya, Bu ... Icha ngerti kok maksud ibu. Sebenarnya maksud ibu sangat baik tetapi mungkin waktunya saja yang tidak tepat."
Aku terus berusaha menenangkan hati Bu Laksmi. Tidak tega melihat kesedihan yang tergambar jelas di raut wajahnya.
"Mungkin, Cha. Habisnya ibu sudah tidak tahan ingin tahu kemana itu uang hasil kerja Erin."
Aku menghela napas berat. Mencoba mengerti akan apa yang dirasakan oleh Bu Laksmi.
"Sekarang, untuk biaya berobat saja pakai uang tabungan Ibu. Habisnya dia bilang tidak membawa uang sepeser pun." Pernyataan Bu Laksmi semakin membuatku miris dan menaruh iba.
"Bu, sudahlah. Tidak usah membahas masalah itu. Yang penting anak kita sembuh, sehat lagi!" tukas Pak Hamdan, bapak kandung Erin.
Bu Laksmi tidak menanggapi ucapan suaminya. Ia kembali merunduk, memikirkan penyakit apa yang dialami Erin.
Cukup lama Erin dan Resti mengalami pemeriksaan kesehatan. Ibu Laksmi, Pak Hamdan dan aku snediri tak henti berdoa untuk kesembuhan Sahabatku.
"Cha, sebenarnya Erin sakit apa? Semakin hari, badannya semakin lemah dan kurus."
Aku terkejut mendengar pertanyaan Ibu kandungnya.
"Memangnya ibu belum tahu apa penyakit Erin?" saking tidak percaya, aku mengulangi pertanyaan Ibu Laksmi.
"Kalau ibu dan Bapak tahu, tidak mungkin bertanya sama kamu, Cha."
Aku semakin bingung menjelaskan apa yang dialami oleh Erin.
"Cha? Kenapa diam?" tanya memunggunginya.