Keesokan harinya, Resti sudah menemuiku. Padahal baru saja tiba di Desa. Bahkan, dia belum sempat pulang ke rumahnya.
"Resti … bukannya pulang dulu ke rumah malah mampir ke sini. Nanti kalau Mama kamu khawatir gimana?" ujarku pada gadis berwajah oval. Tinggal di kota wajah Resti semakin terlihat cantik.
"Yeeeeh … justru aku yang khawatir sama kamu. Lagian Mama udah tahu kok, aku ke sini dulu."
Aku terharu mendengar jawabannya. Resti memang sahabat yang penuh solidaritas.
Ibu membawakan dua gelas air beserta cemilan ala kadarnya.
"Makasih, Bu," ucap Resti saat Ibu menawarkan minuman.
"Ibu tinggal ke warung dulu ya, Res?"
"Siap, Bu!" katanya sambil nyengir. Bagi kami, orang tua Resti adalah orang tuaku, begitu pun sebaliknya.
"Eh, Cha. Kamu sekarang baik-baik aja kan?"
Selepas kepergian ibu, Resti langsung menanyakan keadaanku. Terus terang sebenarnya aku belum sepenuhnya baik. Terkadang jika ingat kalau ibuku sendiri pernah melakukan kawin kontrak, ada rasa nyeri. Kadang juga ada keinginan untuk jumpa dengan ayah kandungku.
"Alhamdulillah aku baik." Dia beringsut ke sofa yang kududuki. Tangannya melingkar ke bahu.
"Kebenaran kadang pahit, tapi itu menjadi manis kalau kita ikhlas dan mencari hikmah dibalik peristiwa tersebut. Iya 'kan?"
Masya Allah, Resti sangat bijak. Aku mengusap punggung tangan Resti seraya tersenyum.
"Makasih, Res."
"Masama. Kamu juga jangan benci Erin. Dia berkata kayak gitu, ya mungkin karena dia banyak beban atau memang sayang sama kamu. Kamu kan pernah bilang, kita gak tau isi hati manusia. Mungkin niatnya baik tapi cara penyampaiannya kurang baik." Aku menjawil dagu lancip Resti. Apapun yang aku katakan padanya, ternyata ia mencerna segala ucapanku.
Bahagia rasanya punya sahabat yang selalu bisa menenangkan.
"Kamu benar, Res. Ah, aku jadi salah sangka sama Erin. Aku emang kesel banget. pas dia ngomong kayak gitu. Tapi, benar katamu, Res …."
"Benar apanya?"
"Katamu tadi …."
"Yang mana?"
"Dih, itu yang bilang, kadang kita gak tau isi hati orang. Mungkin niatnya baik, cuma penyampaiannya kurang baik."
"Emang kamu ngerti maksudnya?"
"Dih, ngeledek kamu!!" kataku memanyunkan bibir.
"Bukan ngeledek, Cha … kamu juga kan suka gitu kalau habis ngenasehatin aku. Ngerti gak? Ngerti yang mana? Ngerti apa?" ucap Resti menirukan gayaku. Aku tertawa terpingkal-pingkal.
"Huuhh … dasar!!"
Kami pun tertawa bersama walaupun ada yang terasa kurang, yaitu kehadiran Erin.
Mengingatnya, mataku mulai berkaca-kaca. Kenangan persahabatan kami seolah menari lincah di alam sadarku. Tentang ketawanya, tangisannya bahkan nasihatnya. Air mata tak bisa dibendung. Tawaku perlahan menjadi tangisan.
"Eh, Cha, kok nangis? Ih, kamu aneh deh, tadi ketawa sekarang nangis. Ada apa?" Resti mengubah posisi duduk, lebih menghadapku. Aku menyeka air mata yang membasahi sudut mata.
"Aku inget Erin, Res … dulu kan ... kita sering bersama. Ketawa bersama, bahkan waktu kamu jatuh dari sepeda, dia ikutan nangis. waktu kakiku berdarah, ke kena paku, Erin juga ikutan menangis. Huks, huks, ... terus, kamu inget gak, Res? waktu adegan Upin Ipin, huks, huks ... dan teman-temanya dikejar lebah sampai tercebur di sungai, kita tertawa bareng. Aku ingat, saat itu Erin ketawa sampai perutnya kesakitan. A, a, aku, aku, merasa kehilangan dia, Res," kataku pilu di sela tangisan. Bulir air mata Resti pun perlahan membasahi pipinya. Kami berpelukan satu sama lain.
"Iya, Cha, aku juga kangen. Kangen kita bersama lagi."
Pelukan kami semakin erat. Merasakan sesak, mengingat nasib persahabatan yang terjalin sedari kecil.
Sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Erin, selalu berusaha menjauhi kami.
***
Sore hari, aku dan Resti berkunjung ke rumah Erin. Aku ingin mencoba mengerti akan apa yang dia katakan padaku beberapa waktu lalu.
Tiba di depan rumah, aku ragu untuk menemuinya. Bagaimana kalau dia masih marah padaku?
"Hei, Cha … Ayo kita masuk!" ucapan Resti menyentakku.
"Aku takut, Res …."
"Takut kenapa? Udah, tenang aja."
Resti menggengam telapak tanganku, kami melangkah bersama hingga depan pintu rumah yang sederhana.
Setelah mengucapkan salam, tampak Ibu Laksmi keluar.
"Eh, kalian. Tuh, Erinnya ada di kamar. Masuk aja," tutur Ibu Laksmi.
"Erinnya lagi tidur gak, Bu? Takut ganggu soalnya," timpal Resti tersenyum simpul.
"Kayaknya gak tidur, barusan ibu lihat dia dari kamar mandi. Udah masuk aja, Ibu mau ke warung dulu."
"Iya, Bu." Aku menoleh ke arah Resti.
"Langsung masuk aja ini, Cha?"
"Aku terserah kamu aja."
"Ya udah deh, masuk yuk?!"
Setelah mengetuk pintu dan memanggil namanya beberapa kali, akhirnya Erin keluar. Tanpa memakai cadar. Sangat terlihat bentuk tulang pipinya. Benar-benar tirus.
"Salamualaikum, Erin," sapa Resti sambil memeluk tubuh ringkih Erin.
"Waalaikumsalam." Dia melepaskan pelukannya, kemudian menatapku tajam, dan menyunggingkan senyum sinis.
"Tuh, lihat, Res. Si Icha sekarang udah anti meluk aku." Aku terbelalak mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya. Aku berusaha memeluk Erin namun ia tepis.
"Gak perlu, Cha. Aku tahu kamu takut tertular kan?"
"Astaghfirullah … Enggak, Rin. Bukan gitu."
"Sudahlah, lebih baik kalian pulang. Aku mau istirahat."
BRUKKK!!
Suara pintu dibanting. Resti mengusap dada. Aku hanya merunduk. Memimpin ujung jilbab. Air mata kembali tak dapat aku cegah. Mengalir begitu saja.
"Jangan nangis lagi. Udah, Cha, mendingan kita pergi dari sini."
***
Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam. Alhamdulillah Resti sudah mempunyai mobil pribadi walaupun katanya masih kredit. Bahkan, Resti juga sudah begitu mahir mengendarainya.
"Res, kita mau ke mana?' tanyaku heran, sebab bukan menuju arah jalan pulang.
"Kita ke Mall dulu. Jalan-jalan …."
"Eh, tapi aku gak bawa uang banyak. Ke rumah aku dulu aja deh."
"Gak perlu, udah nanggung," katanya sambil menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah ayu Resti.
"Nanti kalau aku laper mata, gimana bayarnya?"
"Jiaaahhh … laper mata, mulut kali …." Aku hanya terdiam. Melihat lampu jalanan yang mulai menyala. Karena matahari beberapa jam lagi akan kembali ke peraduan.
"Kalau laper mata, kamu tinggal pilih, nanti aku yang bayarin."
"Hmmm … percaya deh, yang lagi banyak duit." Resti tertawa renyah. Tangannya menekan tombol di bawah samping kiri stir. Alunan musik dangdut mulai terdengar. Resti pun ikut bernyanyi.
"Hai, sayangku … hari ini aku syantik, syantik bagai bidadari, bidadari di hatimu. Hai, sayangku, perlakukanlah diriku, seperti seorang Ratu, kuingin dimanjakanmu. Eeeaaa, obaahh …."
Geli aku melihat tingkahnya. Dari dulu tetap centil. Badannya digoyang-goyang. Aku cuma geleng kepala.
"Eh, hati-hati nyetirnya. Kalau mau dance nanti di rumah."
"Oke, Mak Icha!!"
Sahabat sejati, tidak menuntut untuk ingin dimengerti.
Sebab, hatinya telah menuntunnya untuk saling memahami. Satu sama lain.