Aku baca ulang pesan Kahfi. Tidak percaya kalau dia seperti itu.
[Yaaah … salah ketik. Padahal aku suka kamu mikirin aku. (emot sedih)]
Aku tekan titik tiga pojok kanan, lihat kontak. Memastikan itu nomor Kahfi. Iya benar, Kahfi. Tapi, masa sih dia bilang gitu? Masih tidak percaya dengan pesan tersebut.
Kurebahkan tubuh di atas spray bermotif Frozen. Melihat langit-langit kamar. Ish, enggak, enggak boleh geer!! Aku menepis segala pikiran bahwa Kahfi mencintaiku.
Gawai ditanganku bergetar. Kahfi, lagi.
[Kasian deh dikacangin (emot nangis)]
Hadeeeuhh ... Gimana nih? Elah, nih hati malah deg-degan. Bales jangan, bales jangan. Bales deh,
[Maaf]
[Gak akan dimaafin!]
Apaan sih? Orang minta maaf malah gak dimaafin. Bibirku mengerucut beberapa centi sambil mengetik balasan untuk Kahfi.
[Dih, kenapa?]
[Lebaran masih lama. Nanti aja maaf-maafannya]
Astaghfirullah ... Aku terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata Kahfi bisa humor juga.
[Terserah, yang penting udah minta maaf] balasku lagi, kali ini dengan senyum yang terukir.
[Dimaafin, dengan syarat ….]
Wah, pake syarat segala. Kalau syaratnya memberatkan gimana? Aku berpikir sejenak, lalu mengetik balasan lagi.
[Apa?]
[Kalau aku kirim pesan, jawab jujur, mau?]
[Mau.] Balasku singkat.
Kok mau? Kalau dia nanyain perasaanku bagaimana? Masa harus bohong? Tapi, kalau jujur? Dih, malu-maluin. Masa cewek bilang duluan? Eh, tapi kan belum tentu dia nanya masalah perasaanku.
Masih mengetik. Beuh, lama amat sih? Penasaran. Tak lama,
[Aku suka kamu, apa kamu punya perasaan yang sama?]
Kahfi suka sama aku? Apa dia Cuma becanda? Jangan geer, Cha!
[Boong ah] Kukirim pesan. Mengelak untuk tidak terlalu kegeeran.
[Aku suka kamu, Cha. Seriu!]
Kan, kan, kan … Kutepuk-tepuk jidat. Enggak mimpi, ini nyata. Bentar, bentar mikir dulu. Cha, tenang … tarik napas, embuskan perlahan.
[Kamu becanda?]
[Aku serius, Icha. Kamu gak punya perasaan yang sama ya?]
Satu detik, dua detik hingga satu menit, baru kuberanikan membalas pesan Kahfi.
[Aku juga suka kamu.]
Send.
Aaargghhhh ... kututup wajah dengan bantal. Aduh ...
[Thank's (emot senyum)]
[Hmm]
Data langsung aku matiin. Gak sanggup kalau sampe Kahfi WA lagi.
****
Hari ini, acara maulid Nabi Muhammad SAW. Seluruh panitia disibukkan dengan tugas masing-masing.
Setelah acara santunan anak yatim dan jompo. Tiba saatnya penampilan anak-anak. Mereka aku rias dengan aksesoris beraneka ragam.
Untuk anak lak-laki cukup dengan selendang bertuliskan Santri Miftahul Jannah. Sedangkan, anak-anak perempuan, aku kenakan bando bunga warna warni di atas jilbabnya. Cantik, seperti princess Muslimah.
"Kak Icha, bandonya nanti buat aku ya?" Belum sempat aku menjawab. Yang lain ikutan berseru.
"Aku juga mau! Aku juga mau!!" Suara anak lain saling bersahutan.
"Iya boleh. Tapi ada syaratnya, kalian harus tampil dengan baik. Jangan takut, jangan malu. Oke? semangat!!" kataku memberi semangat pada anak-anak yang usianya tujuh tahun.
"Semangat!!!" jawab mereka kompak.
Aku duduk di sebelah panggung. Melihat mereka menari, mengingatkanku pada masa kecil.
Dulu, aku pun sering sekali menari di atas panggung. Bersama Erin dan Resti. Koreografi tentu Resti yang mahir menciptakannya. Jiwa seni Resti sejak kecil memang sudah tumbuh. Dia anak yang ceria dan enerjik. Tetapi, terkadang Erin sering protes jika ada gerakan bergoyang. Mengingat masa kecil senyumku mengembang. masa kecil yang bahagia dan indah.
Aku melihat barisan para Jamaah.
Ternyata di sana ada Erin duduk di sebelah Bu Laksmi. Akhirnya ia mau hadir juga. Mudah-mudahan acara ini dapat menghiburmu, Rin.
Lamunanku buyar, saat kurasakan ada sesuatu yang melingkar di kepala. Aku meraihnya, Bando? menoleh ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Lalu, ke kiri.
"Astaghfirullah, " pekikku menutup mulut. Mataku membulat, mengetahui sosok yang berdiri tegap di sisi kiriku.
"Hei, kenapa dicopot bandonya? Pake lagi. Perlu aku yang pakein?"
"Ish, apaan sih?" Yakin, wajahku pasti memerah. Malu.
Dia mengambil kursi, duduk di sebelahku.
"Maaf, gak bisa bantuin," katanya santai. Wangi parfum langsung menyeruak. Aku suka sekali wanginya, terlebih lagi orangnya. Eh!
"Gak apa-apa. Kamu kapan dateng? Katanya gak bisa pulang," tanyaku mengalihkan debaran yang tak menentu. Dia membetulkan tempat duduknya. Kemudian, wajahnya ia dekatkan, setengah berbisik.
"Kangen kamu." Aku sedikit menjauh, mengalihkan pandangan.
"Idih gombal!!" ucapku, mengerecutkan bibir. Dia tertawa. Aku cuma tersenyum bahagia. Bahagia pokoknya!! Pengen meluk, tapi belum halal.
Selanjutnya, kami saling terdiam. kadang beradu pandang. dia tersenyum, aku kikuk. Pengen pergi, masih kangen.
Ya Allah, kenapa hati aku jadi genit gini?
Sampai tiba acara inti, tausyiah yang disampaikan oleh Ustad Badru Zaman dari Bekasi. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan. Mengenakan celana hitam, baju takwa biru muda, dan kofeah hitam.
"Para hadirin yang dirahmati Allah," suara Pak Ustad setelah memanjatkan puji syukur dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.
"Kita hidup di akhir zaman. Di mana, segala hal yang berbau kemaksiatan kerap kali kita jumpai. Salah satu contohnya apa? Nikah mut'ah atau kawin kontrak."
Aku dan Kahfi terlonjak. Kami saling pandang. Kulihat Erin, dia masih duduk dengan menyandarkan tubuhnya di kursi. Namun, kepalanya merunduk.
"Apa itu nikah mut'ah? Nikah mut'ah atau kawin kontrak adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan dengan mas kawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya waktu yang disepakati.
Hadirin rahimakumullah ….
Perlu diketahui, nikah mut'ah hukumnya haram. Bila mana ada orang yang melakukan pernikahan semacam ini maka pernikahannya batal. Seperti halnya sholat, jika kita sholat tanpa berwudhu, apa sah sholatnya Bu, Ibu?"
"Tidaaakkkk .…" jawab para Jamaah yang didominasi oleh Ibu-Ibu Majlis Taklim.
"Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya, 'Dari Ali bin Abi Tholib r.a ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Muhammad SAW melarang nikah mut'ah atau kawin kontrak dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang khaibar' hadits ini diriwayatkanoleh Al-Bukhori.
Jadi, Pak, Bu, jaga anak kita, saudara-saudara kita, sahabat kita, dari hal tersebut.
Karena, ditinjau dari dampak negatifnya, bahwa hukum mut'ah bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam. Pertama, Nikah mut'ah merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita."
Lagi, aku perhatikan Erin dari kejauhan. Dia masih merunduk. Wajahnya tak bisa kutebak karena tertutup oleh cadar.
Apakah Erin akan berburuk sangka padaku? Karena akulah yang menyuruhnya hadir di acara ini.
"Dua, nikah mut'ah dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin. Tiga, nikah mut'ah sangat potensial merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia, jadi …."
Bu Laksmi berdiri, memapah Erin. Erin beranjak pergi.
Apa mungkin Erin tersinggung? Aku melihat Kahfi, yang khusyu mendengarkan tausyiah.
Sedangkan aku? Ya Allah, semoga Erin baik-baik saja. Amin ….