"Res? Hallo, Resti?"
Kupanggil Resti karena ia tidak menanggapi saranku.
"Apa?" sepertinya Resti tidak setuju akan saranku.
Dapat bermain film merupakan impiannya sejak kecil. Dia pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Bukan melarang, aku hanya takut Resti bernasib sama dengan Erin.
"Kok diam?"
"Aku masih bingung, Cha."
Aku tak dapat memaksa Resti untuk menerima saranku. Keputusan tetap ada di tangannya.
"Apa kamu tahu hukum kawin kontrak atau nikah mut'ah?"
"Bukannya diperbolehkan? Kan sama-sama nikah."
Ya Allah ternyata Resti berpikiran sama dengan Erin.
"Kawin kontrak atau nikah mut'ah hukumnya haram. Gini aja, kalau kamu sempat, besok pulang. Kita obrolin persoalan ini secara langsung." Lebih baik kami bertemu langsung. Nanti aku ceritakan tentang Erin.
"Tapi, itu Cuma buat sensasi aja. Dan aku Cuma dikasih waktu seminggu buat berpikir. Kalau lewat dari seminggu aku belum ambil keputusan, peran itu akan diberikan pada pendatang baru lainnya."
Ya Allah ... bagaimana ini? Resti pasti sedang bimbang .
Aku mendesah. Bingung harus bersikap bagaimana. Resti bukan anak kecil, ia tidak bisa dipaksa, berhak mengambil keputusan. Kalau keputusan Resti menyetujui persyaratan produser, aku bisa apa? Hanya sahabatnya yang Cuma bisa sekadar mengingatkan.
"Keputusan ada ditanganmu, Res. Aku kan udah kasih saran. Kamu terima atau tidak, ya terserah." Akhirnya aku menyerah juga. Kini yang dapat aku lakukan adalah memohon pada Allah. Agar Resti diberi petunjuk yang baik dan dilindungi Allah dari segala hal-hal yang merugikannya nanti.
"Iya, Cha. Makasih. Nanti aku coba pikir matang-matang."
"Oh iya, Erin sekarang udah pulang. Kemarin aku ketemu sama dia ...." Menyebut nama Erin suaraku melemah. Teringat kembali kondisi dan cerita Erin.
"Erin udah pulang??? Ya ampun ... hampir lima tahun kita gak ketemu. Gimana kabar dia, Cha?" Resti bertanya dengan antusias. Aku tak dapat membayangkan keterkejutan Resti jika mengetahui cerita dan kondisi kesehatan sahabat kami itu.
"Dia lagi sakit. Memangnya besok kamu gak bisa usahakan pulang?"
Tanyaku memastikan. Aku berharap pertemuan dua sahabatku itu dapat membuat Resti menolak tawaran bermain film.
"Oke deh, beres pemotretan aku langsung pulang." Senyumku mengembang saat Resti menyanggupi permintaanku.
"Oke. Aku tunggu ya?!"
"Sip. Cha, makasih ya udah dengerin curhatan aku, udah kasih saran juga."
"Iya sama-sama."
"Udahan dulu teleponnya. Besok kan kita mau ketemu." Resti hendak memutuskan sambungan telepon.
"Oke. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Klik!
***
Hari ini, aku mengajar anak-anak ditemani oleh Kahfi. Kulihat dirinya yang sedang menerangkan ilmu tajwid. Aku sendiri giliran mengajarkan anak-anak yang masih tahapan iqro. Biasanya ada Ummi Hana, tapi sekarang beliau tidak bisa masuk karena mendapat undangan mengisi pengajian di Majlis Ta'lim Desa sebelah.
Setelah anak-anak pulang, tinggallah aku dan Kahfi yang berada di ruangan. Bergegas aku keluar ruangan tanpa pamit. Takut timbul fitnah.
"Eh, Cha, Cha, tunggu!" Suara Kahfi menghentikan langkahku yang sudah di ambang pintu. Sedikit berlari ia menghampiri, tangannya masih memegang buku tajwid.
"Hmmm ... nomor Erin yang semalam kamu kirim, belum sempat aku hubungi. Aku bingung mulainya. Bisa gak, Sekarang anter aku ke rumahnya? Aku pengen ketemu." Aku mengedarkan pandangan, ragu. Ragu mengantar Kahfi bertemu dengan wanita yang sudah lama ia sukai karena aku ... aku cemburu.
Ah, kenapa harus cemburu? Aku bukan siapa-siapa Kahfi. Hanya seorang wanita yang tidak sadar diri. Siapanya dia?
"Iya bisa." Binar kebahagiaan langsung terpancar pada bola mata Kahfi. Mataku mulai memanas, seperti ingin menangis.
Tanpa banyak kata, aku mempercepat langkah menuju motor matic. Kahfi mengikuti. Ia pun menaiki motornya sendiri.
Tiba di rumah Erin, ada Bu Laksmi sedang mengangkat jemuran. Setelah menguruk salam dan mencium tangan Bu Laksmi, aku menanyakan Erin.
"Lah, Erinnya baru aja pergi ke rumah sakit. Dianter Indra." Aku dan Kahfi saling pandang. Kemudian beralih kembali pada Bu Laksmi.
"Kalo boleh tau, Erin sakit apa ya Bu?" tanya Kahfi, wajahnya begitu penasaran.
Ya Allah, apa Bu Laksmi sudah tahu perihal sakitnya Erin? Kalau sudah tahu, bisa gawat.
"Itu, sakit ...." Bu Laksmi berpikir, tampak mengingat-ingat. Dalam hati aku berdoa agar Bu Laksmi tidak mengingat penyakit Erin.
"Apa sih ya? Lupa Ibu. Penyakit apa sih, Cha?" Aku bernapa lega. Akhirnya doaku dikabul Allah.
"Cha, Erin sakit apa?" Kahfi bertanya padaku. Duh, aku harus jawab apa.
Belum sempat aku menjawab, Bu Laksmi mempersilahkan kami menunggu di rumahnya.
"Oh, gak usah Bu, mau Maghrib juga. Insya Allah nanti ke sini lagi. Kami pamit pulang dulu, Salamualaikum."
"Waalaikumsalam,"
Aku dan Kahfi tidak beriringan lagi, karena tujuan rumah kami berbeda.
Sampai di rumah, ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Resti.
[Cha, aku udah di rumah nih. Setelah Isya ke rumah ya? Aku capek banget. Katanya Kahfi mau ke rumah aku juga. Tadi dia Wa]
[Iya, Insya Allah]
***
Beres Shalat Isya, aku pamitan kepada Ibu untuk ke rumah Resti.
"Jangan malem-malem pulangnya, Cha." Aku mengiyakan dan mengucapkan salam.
Karena rumah Resti tidak terlalu jauh, aku memutuskan untuk berjalan kaki.
Sepanjang jalan mulutku komat-kamit melafazkan doa. Mataku mengedarkan pandangan. Takut ada orang jahat, sekaligus takut hantu, iiihhh....
Astaghfirullah ... Manusia kan derjatnya lebih mulia dari setan. Gak boleh takut, gak boleh takut. Ingat ada Allah Icha.
A'udzubillahiminas syaithonir rojiim. Kataku pada diri sendiri.
Di depan gerbang rumah Resti, aku melihat Kahfi dan Idris. Idris adalah kekasih Resti saat SMA, entah Sekarang. Aku tak pernah menanyakan soal itu.
"Assalamualaikum." Mereka menjawab salamku hampir berbarengan.
Aku bingung duduk di mana. Karena kursi depan rumah Resti Cuma ada dua. Tapi bentuknya panjang. Akhirnya aku memilih kursi yang di tempati Idris.
"Geseran dris, duduk di sebelah Kahfi gih!"
Titahku menyenggol lengan Idris.
"Dih, enak aja. Aku yang dateng duluan!" Rese emang nih anak! Disuruh pergi malah tidak mau.
"Ya udah, tapi jangan deket-deket!" Ancamku, melotot ke arah Idris.
"Iya kagak!"
Tak lama kemudian, Resti keluar membawa empat gelas air dan cemilan.
"Nih, pada diminum dulu airnya!" Seru Resti, meletakkan jamuan untuk kami.
"Jadi repotin, Res."
"Gak apa-apa. Cha, pindah dong duduknya, gue pengen deket si Idris." Resti menyenggol bahuku.
"Ish, genit!"
"Yey, biarin!"
Mau tak mau akhirnya aku duduk di samping Kahfi. Sejujurnya aku salah tingkah dan gemetaran.
"Kata Kahfi, Erin sakit Cha, sakit apa sih?" tanya Resti tanpa basa-basi.
Kenapa pula Resti tanya soal penyakit Erin? Aku kan jadi bingung.
"Ayolah, Cha ... Jangan buat kita penasaran." Suara Kahfi dengan nada sedikit memelas. Aku menoleh padanya. Tatapan kami bertemu. Jantungku langsung berdebar. Kutarik napas dalam-dalam agar suaraku tidak terdengar gugup. Lalu memandang mereka satu persatu.
"Sebenarnya, Erin sakit ..."
Paattssh!!
Mati lampu.
"Aaaaaarrghhh .... !!!" Aku terlonjak kaget, tanpa aku sadari memeluk tubuh Kahfi.
Dia terkejut, hampir terjengkang
"Astaghfirullah, Icha!!"