"Erin, Ummi sudah tau sebagian ceritamu dari Icha. Tapi, Ummi ingin mendengar langsung dari kamu, bisa?" Ummi Hana mengawali pembicaraan setelah sebelumnya keheningan menyelimuti ruang tamu rumah Erin.
Aku melihat Erin masih duduk dengan tenang, bersandar pada sofa berwarna ungu tua.
"Apa yang perlu diceritakan, Ummi? Tentang penyakitku?" tanya Erin sembari menyondongkan sedikit tubuhnya ke arah Ummi. Ummi hanya terdiam.
Erin menarik napas, lalu.
"Aku mengidap HIV, Um ... Kata dokter sih, karena aku keseringan gonta ganti pasangan. Iya, Ummi, aku nikah mut'ah." Tanpa berdosa Erin menceritakan perihal penyakit dan penyebabnya.
Allahu ... sahabatku telah berubah seratus delapan pulub derajat. Erin yang dahulu sangat santun, kini berubah sebaliknya.
Erin menatap Ummi dan aku bergantian.
"Kenapa kamu melakukan nikah mut'ah, Nak? Bukankah kamu tahu hukumnya?"
"Aku Cuma tahu hukum nikah, Um. Apapun jenis pernikahannya menurutku gak masalah. Yang penting kan nikah, bukan zina."
Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka kalau jawaban Erin seperti itu.
"Kamu benar, Nak. Lebih baik menikah dari pada berzina. Tapi kalau nikah mut'ah atau nikah kontrak itu hukumnya haram. Karena hal itu bertentangan dengan tujuan mulia pernikahan dalam islam yaitu untuk membina rumah tangga yang langgeng dan diridhoi Allah." Papar Ummi Hana panjang lebar. Aku tak dapat melihat reaksi wajah Erin karena tertutup cadar.
Apakah hatinya terketuk? Apakah pemikirannya telah berubah?
"Aku baru tau kalau nikah mut'ah haram hukumnya." Erin menghela napas sejenak.
"Ya ... tapi udah terlambat, Ummi. Aku sudah melakukannya hampir lima tahun. Setiap tahunnya aku bisa menikah dua sampai lima kali menikah."
"Astaghfirullahalzhim ...." Aku dan Ummi mengucap istighfar secara bersamaan.
"Untungnya ya, Um. Aku gak pernah hamil! Gak pernah punya anak! Coba, kalo aku dikasih anak, bisa berabe. Anak dengan fisik yang beraneka ragam, dan capek juga ya aku ngurusinnya? Udah gitu, tiap anak berbeda-beda warna kulit karena dari benih banyak lelaki. Hahahahahaha ...." Tawa Erin berderai. Bahunya sampai berguncang, saking kerasnya Erin tertawa.
Astaghfirullah ... lagi, bathinku menangis.
Kulihat Ummi mengusap punggung tangan Erin. Kemudian, memeluk tubuh ringkihnya.
"Jangan kau tutupi, kesedihan dan pilu oleh tertawamu, Nak ...." suara Ummi bergetar.
Sesaat kemudian, tangan Erin memeluk Ummi erat. Dia menangis, bahkan terdengar keras.
Air mataku tak bisa terbendung. Entah mengapa aku seperti melihat begitu banyak beban yang dihadapi Erin. Aku pun menghambur, ikut memeluk Erin.
"Maafkan aku Erin ... maafkan aku ...." Mohonku di tengah isak tangis. Erin melepaskan peluknya. Dia menatapku lekat.
"Gak ada yang perlu dimaafkan, Cha ... ini karena kebodohan aku, kurangnya pengetahuan agamaku. A-aku hanya tahu hukum nikah."
"Erin ... Sudah, Nak. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu sekarang tidak sendirian, ada Ummi, Icha dam Ibu kamu. Kamu harus kuat. Harus optimis dan harus yakin, kalau kamu bisa sembuh." Ummi terus menerus menghibur Erin. aku lihat matanya nanar ke depan. Seolah menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu.
"Sejujurnya, Um. Ada beban yang berat. Selama ini tak pernah aku cerita pada orang lain. Aku takut." Tangisan Erin mulai reda. Ummi membelai lembut kepala Erin.
"Kalau kamu mau cerita, ceritalah. Ummi dan Icha akan mendengarkan."
Erin menatapku dan Ummi bergantian. Kemudian tatapannya beralih ke depan.
"Lima tahun lalu, aku bekerja di Villa." Erin mulai cerita. Matanya masih menatap lurus ke depan.
"Awalnya, cuma bantuin Mang Indra beres-beres di Villa itu. Di sana aku berkenalan dengan tuan Mozghan. Ia dari Iran. Karena, aku bisa bahasa Inggris, akhirnya Tuan Mozghan memintaku agar menjadi penterjemah." Erin menjeda cerita. Ia menyandarkan tubuh pada sofa. Kedua matanya menerawang ke langit-langit ruangan.
"Semakin hari, kami semakin dekat. Walaupun saat itu usiaku terpaut jauh dari usianya, tapi tidak menjadi penghalang bagi kami untuk melangsungkan pernikahan setelah saling mengenal selama dua bulan kemudian. Sejujurnya, aku memang telah jatuh hati sejak pandangan pertama. Tuan Mozghan berusia dua puluh delapan tahun, tapi pemikiran dia sangat dewasa. Bahkan bisnis yang dia kelola menyebar di berbagai Negara. Belum lagi kesolehannya. Ia selalu tepat waktu dalam menjalankan sholat, Um." Dapat kulihat binar bahagia dari kedua mata Erin.
"Tuan Mozghan adalah cinta pertamaku, Um, Icha. Ketika menikah, ia memberiku mahar 25 juta. Hatiku benar-benar bahagia. Merasa dihargai dan dicintai olehnya dengan tulus."
"Apakah Bu Laksmi tahu pernikahanmu, Rin?" Ummi menyela dengan pertanyaan.
Binar matanya berubah sendu. Lalu ia menggeleng lemah.
"Kenapa tidak diberitahu?"
"Tuan Mozgha dan Mang Indra yang melarang. Mang Indra bilang, Ibu cukup tahu kalau aku bekerja dan mengirimkan uang saja."
Astaghfirullah ... kasihan sekali Bu Laksmi.
"Jadi, selama ini Ibumu tidak tahu, kalau kamu menikah mut'ah?"
"Enggak, Um. Aku mohon Ummi, Icha, jangan cerita apapun pada Ibu. Aku gak mau kalau Ibu bersedih dan menanggung malu atas sikapku. Aku mohon ...." Erin mengiba. Aku tak mengerti, kenapa Erin selama ini pandai menutupi semuanya? Kepada siapa ia berkeluh kesah?
"Ya sudah, kami akan merahasiakannya. Hm, kamu mau lanjut ceritanya?"
"Iya, Ummi. Ada satu hal yang sesali hingga kini, sebelum pernikahan kami terjadi, aku menandatangani surat pernyataan di atas materai. Di sana tertulis kalau pernikahanku dengan Tuan Mozghan hanya berlangsung selama empat bulan. Aku tak peduli dengan isi surat itu. Yang terpenting dia telah menjadi suamiku. Selang empat bulan, waktu aku pergi belanja, dia pulang ke negaranya tanpa pamit."
Erin menghentikkan ceritanya, dia merunduk. Aku lihat ada buliran air mata mengalir di sudut kelopak matanya.
"Bodohnya lagi, selama dia bersamaku tidak pernah aku tanyakan alamat lengkap rumahnya. Sejak kepergian Mozghan, dua minggu aku mengurung diri dalam kamar. Mang Indra dan Bi Tarni mulai cemas. Berbagai cara mereka menghiburku, menyemangatiku. Tak tega aku melihat mereka, akhirnya aku mulai bekerja lagi di Villa." Erin menarik napas panjang, Ummi memberinya segelas air putih.
"Minum dulu, Nak ...." Erin menegak air minum yang disodorkan oleh Ummi Hana.
"Makasih, Ummi."
Erin meletakkan kembali gelas yang sisa setengah di atas meja. Ia mengembuskan napas, lalu melanjutkan cerita.
"Di Villa, aku bertemu dengan orang-orang Timur Tengah lagi. Karena aku merasa frustasi, siapapun yang bersedia menikahiku walau hanya satu Minggu aku bersedia. Segala kekecewaan terhadap Tuan Mozghan aku lampiaskan dengan terus-menerus melakukan Nikah Mut'ah. Hingga akhirnya, aku terinfeksi penyakit HIV Aids."
Ummi merangkul kembali pundak Erin.
"Sudah, lupakan yang telah lalu. Sekarang mulailah dari awal lagi, Nak. Bertaubat, dengan taubatan nasuha. Taubat yang sungguh-sungguh. Sesungguhnya Allah mengampuni orang-orang yang memohon ampun pada-Nya dan orang-orang yang menyucikan diri."
Semoga saja Erin mau menerima nasihat dari Umi Hana. Aamiin