"Ya Allah ... hidayahMu begitu mahal. Tetapkan hatiku untuk agama dan ketaatanku pada-Mu, Yaa muqollibal quluubi tsabit qolbii 'alaa diinika wa tho'atika, Aamiin."
Kecewa, sedih, dan iba melebur jadi satu. Tak sanggup lagi aku berlama-lama di rumah Erin. Aku harus bertemu Ummi Hana, beliau adalah guru ngaji kami sedari kecil.
Sebenarnya Ummi Hana pun sudah lama mengenakan busana seperti Erin. Akan tetapi, Ummi Hana tak pernah mengatakan dirinya hijrah.
Pernah suatu ketika, Resti bertanya tentang penampilan Ummi Hana, dengan lembut ia menjelaskan.
"Cadar hukumnya mubah. Mengenakan atau tidak, itu tidak masalah."
Aku pikir, mungkin Erin mengikuti penampilan Ummi Hana. Ah, Erin sungguh memalukan. Nikah mut'ah kau jadikan kehalalan dalam berhubungan suami istri. Dan berniqab kau jadikan alasan untuk menutupi penyakit yang mematikan.
Di depan rumah berdinding hijau motorku berhenti. Aku seka air mata yang sedari tadi mengalir.
"Assalamua'laikum."
"Wa'alaikumsalam." Seperti ada magnet, tubuhku langsung memeluk Ummi Hana erat. Air mataku tumpah membasahi kerudung lebarnya. Pelan Ummi mengusap punggungku.
"Ada apa, Icha ....?" Aku melepaskan pelukan. Ummi membimbingku duduk di sofa berwarna biru langit.
"Minum dulu, sayang ...."
Ummi Hana sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Tempatku untuk berkeluh kesah dan meminta pendapat tentang banyak hal.
Ummi Hana, istri Ustad Rahman. Kehadiran mereka di Desa Karang Mulya membawa banyak perubahan.
Dulu, Desa kami sangat jauh dari pemahaman agama. Judi, mabuk-mabukkan dan pelacuran menjadi pemandangan yang biasa.
Masih kuingat, dua pasangan berhati malaikat ini datang ke Desa kami saat aku kelas 2 SD. Mereka sangat ramah dan mudah sekali mengambil hati masyarakat dengan tutur kata yang baik dan sikap sopan santun. Sehingga dakwahnya sangat mudah diterima.
Alhamdulillah, sekarang Desa Karang Mulya sudah tidak ada lagi perjudian dan perzinahan.
"Icha, mau cerita sama, Ummi?" Tanyanya sambil mengelus kepalaku lembut.
"E-Erin, Ummi ... hiks, hiks, dia se-sekarang ...."
"Kenapa Erin, Cha? Dia sudah pulang?"
"Sudah, Ummi ... tapi Erin, Erin ...."
"Icha, laa tahzan, inna Allaha Ma'ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita." Ummi menguatkanku. Aku menyeka air mata dengan ujung jilbab.
Ummi beranjak, lalu tak lama membawa segelas air dan kotak tissue.
"Minum dulu, supaya kamu lebih tenang." Kuambil gelas, meneguknya hingga setengah, lalu meraih beberapa lembar tissue, membersihkan sisa air mata dan cairan yang keluar dari hidung.
"Udah lebih tenang?"
"Sudah Ummi."
"Apa kamu sekarang mau cerita?" Aku mendongak, menatap kedua mata Ummi Hana.
"Iya, Ummi." Aku merunduk, menarik napas panjang.
"Ummi tau kan? Selama ini aku selalu bilang, ingin sekali bertemu dengan Erin. Allah telah mengabulkan doaku, Mi. Tadi kami telah bertemu setelah lima tahun tidak berkabar." Ummi menyimak dengan serius.
"Alhamdulillah, Ummi juga senang. Akhirnya Allah ijinkan kalian berjumpa."
"Tapi, Ummi ... pertemuan ini membuatku kecewa dan bersedih." Sebulir air mata luruh kembali tanpa bisa aku cegah.
"Memangnya kenapa, Cha?"
Kupejamkan mata, mengingat kembali pertemuanku dengan Erin. Mengingat kembali kondisi kesehatan Erin. Mengingat kembali sikap Erin yang telah berubah. Berubah tidak sesantun dahulu.
"Aku sedih, karena sekarang Erin sakit, Ummi. Aku kecewa dengan ucapan dan pemikiran Erin," jawabku terisak. Air mata seolah berlomba-lomba membasahi pipiku kembali.
"Kalau Ummi boleh tahu, Erin sakit apa, Cha?"
Ya Allah, sungguh tak kuasa aku menjawab pertanyaan Ummi. Penyakit yang katanya hingga kini belum ada penawarnya itu membuatku bergidig ngeri membayangkan kehidupan Erin. Belum lagi busana niqab yang Erin kenakan hanya untuk menutupi keburukannya.
"HIV, Ummi ...." Terlontar jua kalimat itu. Aku mendekap Ummi. Beberapa kali terdengar istighfar dari mulut wanita yang aku segani.
"Kenapa itu bisa terjadi, Nak?" suara Ummi terdengar parau. Ummi menangis.
"E-Erin ... mela-lakukan ni-nikah mut'ah. Huks ... huks ...." Tangisku semakin pecah. Ruang tamu Ummi dipenuhi oleh suara tangisanku yang tak mampu lagi aku tahan.
Ummi melepaskan pelukan, menatapku lekat.
"Le-lebih parahnya lagi, E-rin mengenakan niqab, agar penyakitnya ti-tidak diketahui o-orang. Dan di-dia masih dianggap orang ba-baik." Terbata-bata, ditengah isak tangis, aku coba meneruskan cerita.
"Asatghfirullah ...." ucap Ummi merunduk, sembari memegang dada.
"Sayang ... jangan membenci Erin. Mungkin dia belum paham tentang apa itu nikah mut'ah. Mungkin, dia memakai pakaian seperti ini karena memang ingin memperbaiki dirinya. Memang, ada beberapa di antara mereka yang hanya menjadikanya sebagai kedok tapi percayalah, itu hanya sebagian kecil." Ummi kembali memelukku. Aku lihat ada air mata yang mengalir di balik cadarnya. Kami menangis.
"Sekarang, antar Ummi bertemu dengan Erin, mau?"
Aku mengangguk.
"Tunggu sebentar, Ummi pamit sama Abi dulu."
"Iya, Ummi."
***
Hanya beberapa menit kami sudah sampai di rumah Erin. Setelah menguruk salam Bu Laksmi menjabat tangan Ummi sambil memeluknya.
"Apa kabar, Bu Laksmi?"
"Alhamdulillah sehat. Ummi mau ketemu Erin ya?"
"Iya,"
"Ummi, sekarang Erin penampilannya kaya Ummi. Dia pakai cadar dan pakean lebar. Alhamdulillah, Erin makin soleha. Tapi ... sekarang Erin jadi sering sakit-sakitan."
Oh, Ya Allah ... sepertinya Bu Laksmi belum mengetahui tentang penyakit yang dialami Erin. Tapi, apakah Bu Laksmi tahu kalau anak pertamanya melakukan nikah mut'ah? Telah bersuami beberapa kali?
"Do'akan, Bu Laksmi ... semoga Erin cepat sembuh. Ingat, do'a orang tua kepada anaknya tidak ada penghalang, begitupun sebaliknya. Bu Laksmi, boleh, saya bertemu dengan Erin sekarang?" tanya Ummi penuh kelembutan dan sopan.
"Iya, boleh Ummi. Langsung ke kamarnya aja."
Aku dan Ummi berjalan menuju kamar Erin. Di depan pintu kamar, aku dan Ummi melempar pandang.
"Bismillah," ucap Ummi. Aku pun mengetuk pintu kamar sambil memanggil namanya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.
Terlihat Erin memakai cadar. Mungkin dia telah mengetahui kedatangan kami.
"Assalamualaikum, Erin," sapa Ummi sambil memeluk tubuhnya, Erin menjawab salam dengan pelan. Matanya beralih memandangku.
"Silahkan, duduk ...." Erin mempersilahkan kami duduk. Kami pun kembali ke ruang tamu yang hanya berjarak dua meter dari pintu kamar sahabatku.
Aku duduk berhadapan dengan Erin, sedangkan Ummi di sebelahnya.
"Diminum airnya, Ummi, Icha ...." Bu Laksmi menyodorkan dua gelas air putih di hadapanku dan Ummi Hana.
"Tak usah repot-repot, Bu Laksmi ...."
"Gak apa-apa, cuma air aja. Ummi maaf ya, ini saya mau beli lauk nasi dulu, soalnya tadi gak keburu masak, repot bikin kue kesukaan Erin. Untung aja ada Icha datang ke sini, jadi ada yang bantu." Tutur Bu Laksmi sumringah.
"Oh, iya, gak apa-apa ... silahkan, Bu Laksmi."
Aku melihat Bu Laksmi semakin menjauh. Hilang dari pandanganku.
Ummi masih memandang Erin. Erin menyandarkan tubuhnya ke sofa. Dia merunduk. Aku sudah tak sabar mendengar nasihat-nasihat Ummi. Semoga tanggapan Erin tidak seperti kepadaku, cuek dan tak peduli