"Kehadiran anak memang perlu dan penting tapi bukan itu yang terpenting," terngiang kembali khotbah Pendeta Lucas 5 tahun yang lalu saat pemberkatan pernikahan Cindy. "Mempunyai anak bukan satu-satunya tujuan pernikahan…."
Kepala Corry mulai berdenyut lagi. Kali ini lebih nyeri. Ia menyandarkan seluruh berat badannya di sandaran sofa. Ah, andai hidup ini segampang ngomong, pikirnya.
"Kita akan menikah, punya anak yang banyak dan bahagia," Corry menggelengkan kepalanya mengingat perkataan Hendra setiap kali mereka bertemu.
Dan pemuda itu sudah melamarnya, sudah menetapkan tanggal pernikahan, sudah menentukan negara tempat berbulan madu, dan segudang rencana masa depan. Bahkan Bu Maria, calon mertuanya, sudah menyiapkan hadiah kejutan untuk mereka yang akan diberikan pada saat hari pernikahan.
"Tante berharap banyak sama kamu, Nak," Bu Maria memandang Corry lekat-lekat. "Kalau sudah menikah, jangan tunda untuk punya momongan, ya!"
"Tapi, Tante… aku…"
"Nggak usah takut," potong Bu Maria. "Tante akan membantu kalian. Kamu tetap bisa bekerja. Tante dan Hendra bukan penganut filsafat bahwa perempuan itu harus di rumah. Kamu lihat, kan, Tante aja masih bekerja kok walaupun online. Hehehe…" Bu Maria terkekeh-kekeh.
"Tante, bukan itu. Aku… maksudku…."
"Sayang," Bu Maria langsung memeluknya. "Semua akan baik-baik saja. Kamu nggak usah takut. Kamu satu-satunya perempuan yang Tante izinkan dinikahi Hendra. Tante sayang sama kamu."
Corry terdiam dalam pelukan Bu Maria. Otaknya berkecamuk dengan berbagai pikiran yang tidak bisa diungkapkannya.
"Ah…" Corry menjatuhkan badannya ke sofa dan berbaring terlentang. Ia menatap nanar lampu kristal yang menggantung di atasnya. Lalu ia memejamkan mata sambil memijat keningnya.
"Sayang, udah pulang?" Bu Hanna, ibunya, muncul dari dalam. "Kok pulang nggak rame kayak biasanya?" Bu Maria tersenyum jahil sambil duduk di dekat kaki putrinya. "Capek, ya?"
"Iya, Ma. Pusing," jawab Corry.
"Ya, udah, kamu istirahat dulu, ya," Bu Hanna memijat kaki Corry. "Gimana tadi di sekolah? Aman?"
"Biasa, Ma. Tapi tadi ada 2 siswa baru. Kakak beradik kelas 7 dan 9."
"Dua-duanya laki-laki?" tanya Bu Hanna.
"Sepasang, Ma. Yang lebih tua laki-laki dan kelihatannya sombong. Mungkin orang kaya. Mukanya datar banget."
"Tapi nggak ada masalah, kan?"
"Sejauh ini aman, Ma." Corry duduk. "Ma, aku ke kamar aja, ya. Nanti jam 5 tolong bangunin."
"Kamu nggak makan dulu?"
"Udah tadi di sekolah, Ma, sama teman-teman."
"Ok, gih sana, istirahat." Bu Hanna memandangi kepergian putrinya sampai hilang di ujung tangga.
Tapi Corry tidak bisa istirahat. Tak sedetik pun ia bisa memejamkan mata. Pernikahannya tinggal 2 bulan lagi. Tapi sesuatu yang sangat mengganjal hatinya membuatnya ragu-ragu. Tiba-tiba HP-nya berderirng mengagetkannya. Hendra menelepon. Panjang umur.
"Ya, Hen? Halo?"
"Kamu di mana, Sayang? Udah di rumah?" tanya Hendra. Seperti biasa, lembut dan penuh kasih sayang.
Kerongkongan Corry tercekat. "Iya, aku baru sampai. Kenapa?"
"Ini, si Erwin mau ngerayain 1 bulan anaknya. Kita diundang besok malam ke rumahnya. Kamu bisa, kan?"
"Erwin teman kantormu?"
"Iya, tapi kita cari kado dulu, ya,"
"Ok, bisa."
"Bisa apa" goda Hendra. "Ke acaranya atau nyari kadonya?"
"Dua-duanya, Pak Hendra," seru Corry gemas.
Hendra tertawa. "Ok, Sayang. Nanti sore aku jemput, ya."
***
Mereka bergandengan memasuki mall dan langsung menuju counter perlengkapan bayi dan anak. Mereka berpencar mengelilingi toko.
"Cantik, ya," Hendra mendekati Corry dan menunjukkan sepasang sepatu bayi berwarna pink. "Pasti makin cantik kalau anak kita yang pake."
"Hen," darah Corry tersirap. "Udahlah, toh kita belum punya anak, kan,"
"Segera, Sayang." Hendra menjawil pipi kekasihnya. "Kan tinggal 2 bulan lagi kita menikah."
Inilah saatnya. Ini harus dihentikan, tekad Corry. Ia meletakkan sepatu bayi itu di tempatnya semula.
"Hendra…!"
Hendra menoleh. "Ada apa, Sayang? Udah dapat?"
"Aku… aku mau ngomong sama kamu."
Hendra membuka telapak tangannya. "Silakan."
"Tapi jangan di sini," Corry mengedarkan pandangannya ke sekeliling mall. "Berisik."
"Serius? Tapi kita belum pilih kadonya, lho."
"Iya, aku mau ngomong serius. Kita keluar, yuk! Kadonya nanti aja."
"Ke mana?" Hendra berpikir. "Gimana kalau kita ke taman dekat danau?"
"Danau?" ulang Corry. "Ok, setuju."
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di danau. Mereka duduk di bangku menghadap danau. Masih banyak pengunjung di sana dan rata-rata masih muda. Mungkin mereka mahasiswa yang kuliah di kampus dekat danau itu.
"Aku harus nanya atau kamu mau cerita?" tanya Hendra setelah mereka terdiam cukup lama.
Corry memandang wajah tampan di hadapannya lalu ia menunduk. "Kita nggak usah menikah, ya. Kita batalkan saja pernikahan kita."
Hendra tersentak. Sangat terkejut. Mungkin kalau bom yang meledak di hadapannya, ia tidak akan seterkejut itu.
"Corry? Apa… apa maksudmu? Kamu jangan bercanda deh!"
Corry tetap menunduk. "Lebih baik kita batalkan rencana pernikahan kita!"
Hening sejenak. Hendra berjongkok di hadapan Corry lalu mengangkat wajah gadis itu. "Kamu bercanda, kan?"
Corry menggeleng. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Kamu mungkin kena sindrom pra nikah," Hendra tersenyum.
Lagi-lagi Corry menggeleng. Matanya basah.
"Lalu kenapa?" suara Hendra agak meninggi.
"Aku nggak bisa jadi istri kamu," airmata Corry yang menggenang sejak tadi akhirnya meluncur turun dan jatuh membasahi tangan Hendra yang masih memegang dagunya.
"Kenapa?" tanya Hendra.
"Aku… aku pasti akan mengecewakan kamu."
"Tidak, Sayang," suara Hendra melunak. "Kamulah yang terbaik. Selama ini kamu nggak pernah bikin aku kecewa."
"Tapi aku nggak bisa, Hen!"
"Tapi kenapa? Ada yang lain?"
Corry menggeleng lagi sambil terisak.
"Kamu nggak mencintaiku dan baru sadar sekarang?"
"Bukan… bukan begitu." seru Corry. "Kamu laki-laki yang paling aku cintai dan paling aku inginkan di dunia ini."
"Jadi kenapa? Apa masalahnya?" tanya Hendra.
Corry mengelap wajahnya sampai bersih dari airmata dan menatap Hendra lekat-lekat. Tekadnya sekuat baja sekarang.
"Karena aku nggak bisa melahirkan anak untuk kamu!"
Plong. Itulah yang dirasakan Corry setelah mengucapkan kalimat itu. Cengkeraman Hendra di pundaknya mengetat dan perlahan melemah.
"Apa…apa kamu bilang? Apa maksudmu?"
"Lima tahun yang lalu, aku pernah mengalami kecelakaan dan rahimku terluka parah. Dan untuk menyelamatkan nyawaku, dokter mengangkat rahimku."
Corry bicara dengan tenang tapi sedikit terbata bata karena airmatanya tak berhenti mengalir di pipinya. Hendra terkulai lemas di tanah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Maafkan aku, Hen," isak Corry. Selesai sudah, pikirnya.
"Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita?" seru Hendra.
"Aku takut, Hen. Selama ini kamu selalu bicara tentang keluarga bahagia, keluarga besar dengan banyak anak. Impian kamu itu. Dan itu nggak akan mungkin bisa terwujud kalau aku yang jadi istri kamu," jelas Corry. "Aku mencintaimu, Hen. Aku nggak mau pisah dari kamu makanya selama ini aku nggak bilang sama kamu. Tapi akhirnya aku sadar, kebahagiaanmu bukan sama aku. Jadi sebelum terlambat, kita harus membatalkan semua rencana kita."
"Jadi nggak ada lagi harapanku untuk membina keluarga bahagia, punya anak dan hidup damai?" keluh Hendra.
"Tentu aja kamu bisa, Hen. Tapi bukan dengan aku. Aku nggak bisa memberi kamu kebahagiaan itu. Maafkan aku," kata Corry.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanya Hendra lemah.
"Aku melepaskanmu, Hen. Carilah gadis lain yang bisa mewujudkan semua impianmu itu. Gadis yang bisa memenuhi harapanmu." kata Corry pedih. Suaranya sengau.
"Aku mencintaimu, Corry," seru Hendra.
"Aku tahu, tapi kita nggak harus bersatu. Ingat itu! Aku mau kamu bahagia." kata Corry.
Keduanya diam membisu. Hanya isak tangis Corry yang terdengar sesekali. Tiba-tiba Hendra berdiri.
"Kita pulang!"
"Hen, tapi…"
"Aku bingung. Kepalaku rasanya mau pecah," Hendra langsung berjalan ke mobilnya. Hal yang tak pernah dilakukannya. Biasanya ia selalu menggandeng Corry.
Corry mengikuti Hendra dengan hati pedih dan hancur. Tadi ia separuh berharap Hendra akan memeluknya dan berkata "Aku menerima kekuranganmu. Apa pun yang terjadi kita akan tetap menikah."
Harapannya sia-sia. Mereka membisu sepanjang perjalanan. Dan setelah sampai di rumah Corry, Hendra tak bergeming dari duduknya.
"Nggak masuk dulu, Hen?" tanya Corry sebelum membuka pintu mobil. Biasanya Hendra yang membukakan pintu mobil untuknya.
Hendra hanya menggeleng. Mulutnya terkunci rapat.
"Maafkan aku, ya, Hen,"
Tapi Hendra tetap diam seolah tak mendengar apa-apa. Corry keluar. Sebelum Corry sempat melambaikan tangannya, Hendra sudah menutup kaca mobil dan segera melesat pergi meninggalkan Corry.
Corry termangu-mangu menatap kepergian kekasihnya, mantan kekasihnya. Eh, mantan kekasih? Corry terlonjak memikirkan itu.
***
"Lho, Hendra mana?" tanya Bu Hanna yang sedang duduk sambil merajut di samping suaminya, Pak Candra, yang juga langsung menurunkan koran yang sedang dibacanya saat Corry masuk.
Corry memeluk Bu Hanna erat-erat. Tangis yang sedari tadi ditahannya akhirnya meledak.
"Mama, semuanya udah selesai."
"Selesai? Apanya yang selesai?" tanya Bu Hanna. "Kalian bertengkar?"
"Mama, Hendra udah tahu semuanya, Ma," isak Corry.
"Tahu apa?" Pak Candra mendekat dan membelai bahu putri bungsunya.
"Hendra udah tau kalau aku nggak bisa hamil, Pa," Corry terguguk.
"Astaga!" Pak Candra dan istrinya berseru kaget.
"Dari mana dia tahu?" tanya Pak Candra.
"Aku yang ngasih tahu, Pa. Aku nggak mungkin menyembunyikan itu, kan?"
"Kenapa kamu harus cerita?" tanya Bu Hanna.
Corry melepaskan dirinya dari pelukan ibunya. "Ma, Hendra itu anak tunggal. Dia selalu bilang dia pengen punya banyak anak, keluarga besar. Nggak seperti dia. Tante Maria juga berharap begitu. Aku nggak bisa, Ma. Rahimku udah nggak ada."
"Corry, Sayangku," Bu Hanna kembali memeluk putrinya dan menangis.
"Hendra bilang apa setelah dia tahu?" tanya Pak Candra berusaha tenang.
"Dia marah, Pa. Dia diam terus. Aku tahu dia kecewa berat. Aku rela pernikahan kami gagal. Aku nggak mau dia tahu setelah kami menikah."
"Papa akan ngomong sama dia," kata Pak Candra.
"Jangan, Pa," Corry menyusut airmatanya. "Biarkan dia berpikir jernih. Aku terima dan rela kalau dia memutuskan hubungan kami. Dia pantas mendapatkan yang terbaik."
"Kamu juga, Nak!" kata Pak Candra.
"Nggak, Pa. Wanita yang nggak punya rahim adalah wanita yang tidak sempurna. Aku bukan wanita yang diharapkan laki-laki."
"Jangan ngomong begitu, Sayang," potong Bu Hanna.
"Ma, Pa, kenapa dulu aku harus hidup? Kenapa aku harus selamat kalau aku harus hidup tanpa rahimku?"
"Karena kamu sangat berharga bagi kami, Nak. Kamulah nafas kami," Pak Candra memeluk putrinya dengan mata basah.
"Tapi aku nggak berharga bagi orang lain, kan, Pa? Seumur hidup aku akan tetap sendirian."
"Jangan putus asa, Sayang," kata Bu Hanna. "Percayalah, akan ada laki-laki yang akan mencintaimu dengan segala kekuranganmu."
Corry menatap ibunya lekat-lekat. "Mama nggak usah menghiburku. Aku nggak apa-apa kok."
"Benar kata Mama, Sayang," tukas Pak Candra. "Saat satu pintu tertutup, percayalah, Tuhan sudah menyediakan pintu terbuka yang lain untukmu."
"Andai aku masih bisa percaya," keluh Corry.
"Udah, jangan menangis lagi," kata Pak Candra berusaha tegar padahal hatinya juga hancur berkeping-keping.
***