"Ok, anak-anak," Frans menatap ke empat anaknya. "Untuk sementara kita tinggal di rumah ini menunggu rumah kita yang di Sentosa selesai direnovasi."
Ke empat anak itu memandang biasa saja pada rumah megah di hadapan mereka.
"Ini rumah siapa, Dad?" tanya Fajar.
"Ini punya Daddy, tapi udah lama kosong," jawab Frans.
"Ayo, masuk," ajak Frans. Ia yang masih menggendong si bungsu melangkah menuju pintu.
"Ini besar kok, Dad. Walaupun rumah di Bandung jauh lebih besar," kata Fajar.
"Kenapa kita tinggal sementara?" tanya Clara.
"Karena anak Daddy ada empat orang jadi rumahnya harus besar dan luas," jawab Frans sekenanya. Ia tidak mengatakan hal sebenarnya bahwa itu adalah rumah kenangannya bersama mantan tunangannya yang meninggalkannya begitu saja.
"Kamar kami di mana, Dad?" tanya Clara.
"Kamu sama Fajar di atas. Eddy sama Didi di kamar bawah aja biar Mbak Neni nggak capek naik turun ngurusin mereka," jawab Frans.
Mereka semua memasuki rumah. Selain mereka berlima ada juga Pak Amir, supir keluarga, dan Neni, baby sitter untuk Didi dan Eddy, serta Bi Sari, asisten rumah tangga yang mengikuti dari belakang sambil mengangkat barang-barang.
"Pak Amir, Mbak Neni dan Bi Sari, selamat datang di rumah baru kita. Semoga kalian senang dan betah tinggal di sini." kata Frans.
"Iya, Pak. Kami pasti akan betah kok," jawab Bi Sari.
Perempuan yang sudah berusia pertengahan empat puluh itu adalah janda yang sudah lama ditinggal mati oleh suaminya tapi dia tidak mau lagi menikah. Dia sudah bekerja di rumah Frans selama dua puluh tahun. Entah kenapa dia tidak mau menikah lagi. Padahal dia cantik, orangnya sederhana, lembut, cekatan, pintar memasak dan berbenah rumah.
Sedangkan Neni adalah baby sitter untuk Didi yang masih berusia empat tahun dan Eddy berusia delapan tahun. Dia putri tunggal Bi Sari. Dia bergabung dengan keluarga itu dua tahun yang lalu saat ia selesai wisuda dari sekolah perawatnya. Sebenarnya Frans menyuruhnya bekerja profesional di rumah sakit atau di klinik tapi ia menolak. Ia lebih memilih mengurus keluarga majikannya yang sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri.
"Saya akan memakai pakaian seragam, Pak, biar profesional," katanya saat itu membuat Frans tersenyum dan akhirnya menyetujuinya. Dan sejauh ini Frans puas dengan hasil kerjanya. Anak-anak terutama Eddy dan Didi cukup dekat dengannya.
Pak Amir orang terlama yang bekerja di rumah itu. Umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun tapi pekerjaannya sebagai supir dan tukang kebun tidak usah diragukan lagi. Walaupun umurnya sudah tua tetapi badannya masih tegap dan kuat. Bapak yang satu ini lebih aneh lagi. Ia malah tidak pernah menikah.
"Udah dapat kan kamarnya?" tanya Frans melihat Fajar dan Clara menghampirinya.
"Udah, Dad, kamar Rara cantik banget," Clara memeluk ayahnya. "Kapan Daddy menata itu?"
"Bukan Daddy, Sayang," Frans mengecup kening putrinya. "Ada teman Daddy design interior yang mengurus itu semua."
"Makasih, Daddy," Clara mencium pipi Frans.
"Demi bikin kamu betah, Daddy rela deh nyewa orang bikin kamar kamu cantik."
"Ummm, Rara makin sayang sama Daddy deh." kata Clara.
"Fajar suka kamarnya, nggak?" tanya Frans kepada anak sulungnya.
"Suka, Dad," jawab Fajar. "Om Wawan kok nggak jadi datang? Bukannya Daddy udah bilang kita pindah hari ini?"
"Udah, tapi dari tadi hp-nya mati, nggak bisa dihubungi," jawab Frans.
"Gimana sih? Katanya Om Wawan bakalan bawa kita jalan-jalan keliling Jakarta," sungut Clara.
"Mungkin dia sibuk. Biarin aja, nanti juga bakalan datang," kata Frans.
"Sibuk apaan? Lebih sibuk dari Daddy?" seru Clara. "Ini kan hari Minggu,"
"Berarti dia lagi ibadah di gereja. Dia kan anak baik," Frans tersenyum.
"Atau kencan," sambung Clara.
"Nah, itu kamu tahu," Frans menjentikkan jarinya. "Om kamu kan udah mau nikah."
"Dad, kami ke belakang dulu, ya. Ada kolam ikan di sana," kata Fajar.
Frans mengangguk.
"Ayo, Ra, Ed!" ajak Fajar.
Fajar, Clara, dan Eddy berlalu dari hadapan Frans. Sedangkan Didi sudah dari tadi dibawa Neni ke kamarnya. Frans duduk di sofa. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Wawan dan kali ini HP sepupunya itu berdering.
"Wan, kamu di mana?" cecar Frans sebelum orang yang ditelponnya menyapa.
"Maaf, Mas, aku lagi di Bandung nih." jawab Wawan dari seberang.
"Di Bandung?" seru Frans terkejut. "Kami datang ke Jakarta kamu malah pulang ke Bandung. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, Mas," jawab Wawan.
"Om dan Tante nggak apa-apa, kan?" tanya Frans. Seingatnya kemarin saat mereka pamit, kedua orang tua itu baik-baik saja.
"Mama sama Papa baik kok, Mas." kata Wawan.
"Syukurlah," kata Frans. "Kapan kamu balik?"
"Secepatnya, Mas," jawab Wawan.
"Iya, udah, nanti kalau kamu udah balik ke sini, kamu jangan lupa main ke rumah," pesan Frans.
Frans menyandarkan tubuhnya ke sofa. Pandangannya tertumbuk lama ke foto pernikahan abangnya yang dipajang di dinding ruang tamu itu. Abang dan kakak iparnya tersenyum bahagia. Ia sengaja menaruh foto itu di sana.
Bayangan empat tahun lalu berkelebat di otaknya. Ia melihat sendiri kecelakaan itu. Tubuh abang dan kakak iparnya hancur terjepit di dalam mobil yang juga hancur akibat tabrakan itu. Dan mereka berdua meninggal di tempat saat itu juga.
Cepat-cepat Frans mengenyahkan bayangan buruk yang masih sangat menyakitkan itu. Ia segera bangkit dan menyusul anak-anaknya ke belakang.
***
Setelah memarkir mobilnya, Corry melangkah gontai menuju ruang dewan guru. Ia berusaha bersikap tegar menutupi gundah hatinya. Ia tetap memakai kacamata_yang biasanya hanya dipakainya untuk membaca saja_untuk menyamarkan matanya yang sembab dan sedikit bengkak.
Sejak malam minggu kemarin, malam pengakuannya kepada Hendra, belum sekali pun pria itu menghubunginya. Tidak ada sms, pesan whatsapp, email, atau komunikasi apa pun. Mungkin ia benar-benar sakit hati dan kecewa karena selama dua tahun menjalin hubungan, Corry baru sekarang terbuka tentang kondisinya. Di saat puncak hubungan mereka di ambang pernikahan.
Corry meletakkan tasnya di atas meja. Teman sejawatnya sudah banyak yang datang dan mengobrol.
"Hai, Bu Corry," sapa Bu Indah. "Apa kabar?"
Kening Corry berkerut. Kok dia bertanya apa kabar? Apa dia tahu sesuatu?. "Hai, Bu. Saya sehat, Bu."
"Hei, kenapa suaramu sengau begitu?" Widya yang duduk di sampingnya menyikut lengannya. "Sakit?"
Corry mengangguk. Ia menghindari tatapan sahabatnya itu. Ya, ia memang sakit. Bukan cuma sakit hati tapi badannya juga lelah. Sudah dua malam ia tidak bisa tidur nyenyak memikirkan Hendra, kisah cintanya, dan dirinya sendiri.
"Kalau sakit kenapa harus kerja?" tanya Widya.
"Biar nggak dipecat," jawab Corry seadanya.
Widya menarik wajah Corry sehingga tepat ada di hadapannya. Ia mengamati wajah Corry yang murung dan matanya yang merah dan sembab.
"Pasti ada yang nggak beres. Aku lihat tadi kamu bawa mobil sendiri. Hendra nggak ngantar kamu?"
Mendengar Widya menyebut nama Hendra, airmata Corry hampir jatuh lagi. Hendra memang biasanya mengantarnya setiap hari Senin. Corry menengadah untuk mencegah airmatanya turun.
"Coy, ada apa sih?" bisik Widya pelan, takut ada yang menguping pembicaraan mereka. Bisa jadi gosip seantero sekolah. Ia mengedarkan pandangannya tapi para guru itu asyik mengobrol satu sama lain, sama seperti mereka.
Tiba-tiba bel berbunyi menandakan upacara akan segera dimulai. Guru-guru mulai beranjak ke luar ruangan menuju lapangan upacara.
"Kayaknya aku nggak sanggup berdiri, Wid. Kepalaku pening. Aku di sini aja, ya,"
"Iya, tapi kamu harus janji, kamu bakalan cerita nanti"
"Ok." Corry mengangguk.
***