"Ada apa sih?" Widya langsung bertanya setelah upacara selesai dan mereka berjalan menuju kelas.
"Sabar dong, Bu. Nanti deh pas istirahat," kata Corry.
"Aku makin heran aja. Tadi Tante Hanna nelpon, beliau nyuruh aku untuk jagain kamu."
"Mama nelpon kamu? Ya, ampun," Corry menepuk jidatnya. "Mama ada-ada aja deh"
"Ok, nanti, ya," akhirnya Widya harus menahan rasa penasarannya karena kelasnya sudah di depan mata.
Corry melanjutkan langkahnya ke lantai dua menuju ruang kelas IX-A.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Corry.
"Selamat pagi, Bu," koor seluruh siswa.
Corry tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Wajah-wajah remaja itu tampak memerah terkena matahari pagi saat upacara tadi.
"Bagaimana libur kalian kemarin? Seru, nggak?" tanya Corry.
"Nggak, Bu,"
"Seru, Bu,"
"Biasa aja, Bu,"
Masing-masing anak menyampaikan jawabannya. Suasana sedikit ramai.
"Baiklah," Corry menenangkan. "Apa pun itu kalian harus tetap bersyukur karena masih bisa menikmati libur dan kembali lagi ke sekolah hari ini."
"Iya, Bu…"
"Oh, ya, Jumat kemarin ada anak baru di kelas ini, kan? Boleh Ibu tahu yang mana?"
Seorang siswa laki-laki dari deretan sebelah kanan berdiri. Orangnya tinggi, kulitnya sawo matang dan tampan. "Saya, Bu."
"Siapa nama kamu, Nak?"
"Saya Fajar Johnatan. Umur 14 tahun. Saya pindah dari Bandung."
"Terima kasih, Fajar. Silahkan duduk lagi."
Fajar kembali duduk. Beberapa siswa perempuan masih memandanginya kagum tapi sikapnya tetap tenang dan terkesan angkuh.
"Baiklah, anak-anak. Sekarang kita lanjutkan pelajaran kita, ya."
"Iya, Bu…"
***
"Ada apa, Corry?" Widya langsung menyeret Corry ke sebuah café di seberang gedung sekolah setelah jam sekolah selesai. Corry menghela nafas panjang dan berat. "Aku sudah putus dengan Hendra."
"Hah?" mata Widya terbelalak. "Kok bisa? Bukannya dua bulan lagi kalian akan nikah?"
"Bisalah," jawab Corry. "Apa sih yang nggak bisa terjadi di dunia ini?"
"Iya, tapi kenapa?" tanya Widya.
"Begini, tapi kamu jangan ngomong apa pun kepada siapa pun terutama rekan-rekan kita di sini. Bisa rame nanti. Biar aja mereka tahu sendiri,"
Widya mengangguk tegas. Corry akhirnya menceritakan semuanya kepada sahabat akrabnya itu. Awalnya dia kelihatan tabah, tapi kemudian ia mendapati dirinya menangis terisak-isak dalam pelukan Widya.
"Coy," Widya memeluk sahabatnya sambil ikut menangis. "Kamu yang sabar, ya,"
Lama keduanya berpelukan tanpa kata-kata. Hanya airmata dan isak tangis mereka yang terdengar di cafe yang masih sepi pengunjung itu.
"Tapi belum ada kata putus dari dia, kan?" tanya Widya memutus keheningan.
Corry menggeleng. "Kami belum bicara sejak malam itu."
"Mungkin dia masih terkejut, Coy. Tenang aja, kalau dia benaran cinta sama kamu, dia akan kembali sama kamu," hibur Widya.
"Benarkah aku masih ada harapan, Wid?"
"Tentu aja ada." jawab Widya. "Coba aku telpon dia?"
"Eh, jangan, Wid," sergah Corry.
Tapi Widya sudah menempelkan handphonenya di telinganya. Ia melambaikan tangannya mengisyaratkan supaya Corry diam. Tapi panggilannya dijawab oleh operator. Diulanginya lagi tetap jawaban operator yang terdengar.
"Kok nggak aktif, sih?" gerutu Widya.
"Udah dari kemarin-kemarin nggak aktif, Wid. Kamu pikir aku nggak berusaha mencoba?"
"Nggak bisa begitu dong. Dia harus ngasih kamu penjelasan. Jangan kabur gitu aja"
"Dia nggak kabur, Wid. Aku yang menyerah."
"Kamu yang menyerah, harusnya dia nggak."
"Wid, udahlah. Seperti kamu bilang, kalau memang dia mencintaiku seutuhnya dan dia adalah takdirku, dia pasti kembali, kan?"
"Seharusnya Hendra nggak picik gitu dong. Kalian kan bisa mengadopsi anak?"
"Hendra nggak salah, Wid. Dia benar. Sangat wajar dia berharap punya anak sendiri karena dia anak tunggal," kata Corry.
"Kamu masih aja membelanya," sungut Widya.
"Aku mencintainya, Wid. Dan kesalahan ada di pihakku," Corry menunduk. "Dia bilang dia juga mencintaiku."
"Cinta itu tanpa syarat, Coy. Apa cinta namanya kalau dia nggak bisa menerima kekurangan kamu yang jelas-jelas bukan salah kamu?"
"Cinta nggak harus memiliki katanya, Wid."
"Kata siapa?" seru Widya. "Justru karena ada cintalah makanya bersatu. Kalau nggak cinta, ya, begini ini."
"Entahlah, Wid. Tapi sekarang hatiku hancur sekali. Firasatku bilang kami sudah berakhir," Corry menangis lagi setelah mengucapkan kalimat itu.
Widya kembali memeluknya.
"Aku mencintainya, Wid. Aku pengen dia bahagia walaupun itu didapatnya dari wanita lain makanya aku mengakui semuanya."
"Jadi, misalnya kalian menikah dan dia punya wanita lain untuk meneruskan keturunannya, gimana? Kamu mau dimadu? Kamu mau membesarkan anak suamimu dari wanita lain?"
Pertanyaan Widya menyentakkan Corry. "Kamu jangan berandai-andai, Wid. Agama kita melarang poligami, kan?" kata Corry. "Udahlah, jangan salahkan dia. Mungkin ini sudah takdirku."
"Corry," Widya mempererat pelukannya. "Kamu yang kuat, ya. Semoga suatu hari nanti ada pria hebat yang datang mencintaimu apa adanya."
"Aminnn…" Corry tersenyum. "Kamu kayak mama deh. Tahu, nggak, mama juga ngomong gitu lho." Corry terkekeh.
"Nah, kalau udah bisa senyum, berarti udah mendingan nih."
"Iya, Wid. Makasih, ya, udah jadi sahabatku. Kamu selalu ada untukku. Kalau aja kamu laki-laki, aku pasti udah menikahi kamu."
"Gomballl…." Widya tertawa.
"Btw, ini off record, ya."
"Sip…"
***
Sebuah mobil mewah berhenti di gerbang sekolah. Corry yang baru sampai di sekolah berhenti melangkah dan melihat siapa yang keluar dari dalam mobil itu. Ternyata Fajar dan adiknya. Keduanya melambaikan tangan sebelum mobil itu berlalu meninggalkan sekolah.
Keluarga bahagia, gumam Corry. Ia ingat bahwa dulu ia dan kakak-kakaknya juga selalu diantar dan dijemput ke sekolah. Ayah dan ibunya akan bergantian melakukan hal itu. Mungkin hal seperti itu juga yang diinginkan oleh Hendra.
"Selamat, pagi, Bu."
"Eh, selamat pagi," Corry tergagap tapi ia segera menguasai dirinya dan tersenyum. Di depannya sudah berdiri Fajar dan adiknya.
"Apaan sih, Ra?" Fajar menarik tangan adiknya dan mengajaknya pergi.
Senyum Corry langsung memudar melihat sikap Fajar yang tidak bersahabat. Jangankan menyapanya, memandangnya pun tidak. Padahal tadi ia masih sempat melihat Fajar tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya kepada siapa pun yang di dalam mobil mereka.
***
Seminggu, dua minggu, bahkan sebulan sudah berlalu sejak malam pengakuan Corry kepada Hendra. Dan sejak saat itu tidak ada kabar dari lelaki itu. Hendra menghilang bagai ditelan bumi.
"Nggak bisa gitu dong," Widya uring-uringan. "Dia jangan menggantung kamu gini."
"Dia nggak menggantung, Wid. Dia nggak menghubungi dan nggak bisa dihubungi artinya semua udah selesai." Kata Corry sendu.
"Nggak nyangka banget ternyata dia sepicik itu." Kata Widya.
"Dia nggak picik, Wid. Dia realistis." Kata Corry.
"Ah, kamu selalu saja membelanya," sungut Widya kesal.
"Tahu, nggak, Wid? Sebenarnya aku juga pengen memaki dia tapi aku mencintainya, Wid," Corry menatap sendu sahabatnya. "Salah, ya?"
"Coy, betapa beruntungnya sebenarnya si Hendra bajingan itu memiliki kamu yang mencintainya sepenuh hati. Laki-laki nggak tahu diri,"
"Udahlah, Wid. Mungkin kami memang nggak berjodoh."
"Sabar, ya, Coy," Widya memeluk sahabatnya.
Memang benar kata pepatah bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Apa sih kekurangan Corry? Dia cantik, sangat cantik. Lembut? Jangan ditanya lagi. Membunuh semut pun dia takkan tega. Keluarga? Dia dilimpahi kasih sayang oleh kedua orang tua dan tiga saudaranya. Tapi jika semua laki-laki tidak bisa menerimanya karena kondisinya, mungkin disitulah letak kekurangannya.
***
Corry sudah bersiap-siap pulang ketika tiba-tiba Siska datang menghampirinya dengan nafas terengah-engah.
"Bu…Ibu…"
"Lho, kenapa, Siska?" Corry meletakkan tasnya lagi.
"Bu, Fajar berkelahi sama Roy, Bu," kata Siska. Nafasnya memburu.
"Berkelahi?" Corry dan beberapa guru yang belum pulang menyahut bersamaan.
"Iya, Pak, Bu, di sana, di belakang kantin," Siska menunjuk sembarangan ke luar kantor dewan guru.
Corry bergegas ke belakang kantin. Dan benar saja. Roy berbaring tiarap di tanah dan Fajar duduk di punggungnya sambil memuntir tangan Roy. Di sekeliling mereka siswa yang lain cuma bisa menonton.
"Fajar! Hentikan!!" bentak Corry.
"Tidak. Sebelum dia minta maaf," suara Fajar tegas.
"Bu, sakit…" rintih Roy kesakitan.
"Fajar!" Corry menarik tangan Fajar tapi tak disangkanya tangan itu begitu kuat tak bergeming.
"Bu," suara Roy memelas.
"Fajar?" bentak Corry sambil menarik paksa tangan Fajar. Ia menatap telak ke bola mata Fajar. Bagai disihir kekuatan magis, perlahan Fajar melepaskan tangan Roy dan berdiri sambil berkacak pinggang. Dagunya terangkat tinggi. Angkuh.
Corry membantu Roy berdiri. "Apa-apaan kalian, hah?"
"Dia duluan, Bu," telunjuk Fajar menuding Roy.
"Saya cuma main-main, Bu. Bercanda," sergah Roy.
"Bercanda kamu bilang?" Fajar bergerak ke arah Roy tapi Roy dengan sigap bergeser ke belakang Corry. Gadis itu heran. Roy, si Jagoan Sekolah takut kepada Fajar?"
"Ayo, kalian ikut Ibu ke kantor BK." Perintah Corry.
Keduanya berjalan di belakang Corry dengan jarak yang berjauhan.
"Dihukum yang berat, Bu." Kata Pak Iwan. "Sok jagoan. Paling juga jago kandang."
"Duduk!" perintah Corry sambil menunjuk bangku di hadapannya. Ia sendiri menarik kursi yang biasa diduduki Pak Basuki, guru BK, yang sudah pulang.
Mereka berdua duduk di masing-masing ujung bangku sehingga ada celah di tengah mereka. Kalau salah satu berdiri, yang lain pasti akan jatuh terjengkang.
"Kenapa kalian berkelahi?" tanya Corry.
"Dia mengganggu adek saya, Bu." jawab Corry.
"Maksud kamu Clara?"
"Iya, Bu," Fajar mengangguk.
"Apa benar, Roy?" tanya Corry.
"Saya cuma menggoda sedikit, Bu," Roy membela diri.
"Sedikit apaan? Clara sampai nangis gitu," sergah Fajar.
"Kenapa kamu mengganggu Clara, Roy?" tanya Corry.
"Nggak kenapa-kenapa, Bu. Dia kan siswa baru di sini jadi saya godain," jawab Roy malu-malu. Ia menunduk.
"Clara cantik. Kamu suka, ya, sama dia?" tebak Corry.
Wajah Roy memerah. Ia tampak kelabakan. Di sampingnya Fajar menatapnya dengan bengis.
"Kalian tahu, kan, semua siswa di sini bersaudara. Masa sesama saudara berkelahi begini?" kata Corry.
"Saya nggak bersaudara dengan orang yang suka mengganggu adek saya, Bu," kata Fajar ketus.
"Berkelahi itu nggak baik. Kalian harus bisa mengontrol diri," lanjut Corry. "Ayo, Roy, minta maaf sama Fajar."
Roy memandang Corry yang dibalas anggukan oleh gurunya itu. Akhirnya Roy berdiri dan menghadap Fajar. Ia mengulurkan tangannya. "Maaf, ya."
"Awas kalau kamu ulangi lagi," Fajar menjabat tangan Roy.
"Ok, Roy, kamu boleh keluar. Ibu masih mau bicara dengan Fajar."
"Baik, Bu," Roy menurut dan melangkah ke luar ruangan.
"Ada apa lagi, Bu?" tanya Fajar tak senang.