Chereads / MALAM-MALAM LIAR TANPA CINTA / Chapter 1 - Part 1. Semalam Bersama Tunangan Sahabatku

MALAM-MALAM LIAR TANPA CINTA

🇮🇩Casparalfa
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 18.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1. Semalam Bersama Tunangan Sahabatku

Jika memang malam dapat berbisik, tentu mereka akan sibuk memperbincangkan seorang wanita cantik yang tengah duduk di balkon salah satu apartemen di pusat Kota Jakarta. Duduk di pinggiran keranda dengan sebuah kursi tinggi melingkar. Dari lantai dua belas tempat dirinya menikmati malam, semuanya terlihat begitu cemerlang. Lampu-lampu jalan yang menyala terang, pusat kota yang tidak mengenal tidur. Pemandangan itu tampak sangat cantik. Namun, angin malam pun tahu bahwa wanita itu bahkan jauh lebih cantik.

Meski angin bertiup kencang, sang wanita memutuskan untuk membalut tubuhnya hanya dengan selimut putih tebal. Membawanya keluar dari kasur tempat laki-laki yang sedang tertidur pulas. Rambut hitam lurus sepanjang bahu terus saja menari bagai para pemain balet dalam perlombaan. Berusaha membuat sang wanita tetap terlihat cantik meski angin dan gelap berusaha membuatnya tenggelam dalam kelam. Dia hanya mampu bertahan menghadapi dinginnya udara dengan sebatang rokok yang sudah hampir habis. Mengepulkan asap-asapnya hingga terberai tanpa jejak tersisa. Menghidu gelap dalam setiap detik yang terus berjalan tanpa meminta izin.

Samar, pintu geser menuju balkon mulai berderik. Langkah-langkah yang kemudian berjalan mendekat bahkan hampir tak terdengar.

"Kukira kamu udah capek dengan semua yang baru aja kita lakuin."

Suara pria itu terdengar kokoh dan tanpa ragu. Memperkuat citra fisik tubuhnya yang gagah dan tampan.

"Dan kukira kamu udah terlalu capek sampai tidur mendengkur kayak kucing."

"Hmm," pria itu sejenak pura-pura memikirkan jawaban. "Itu engga berarti aku engga akan sadar kamu udah engga lagi ada di ranjang."

Memiringkan kepala hingga sebagian rambutnya turun melintasi pipi. "Jadi, kamu mau aku temani di ranjang terus sampai pagi?"

"Daripada kedinginan di sini, kayaknya di dalam jauh lebih enak."

"Kalau sampai pagi kamu bakalan terus nikmatin tubuh aku, balkon ini akan jauh lebih baik. Lebih baik kedinginan daripada mati kejang."

Pria itu tertawa. Suaranya tidak cukup lantang untuk membangunkan para penghuni apartemen lain. Namun, pita suara yang bergetar itu membuktikan kekuasaan yang dimilikinya. "Padahal tadi kamu sendiri juga nikmatin semua yang udah kita lakuin."

Bagaikan kutub utara yang sunyi, balkon itu terasa amat hening untuk sejenak.

"Dan mungkin di lain waktu aku bakalan tetap nikmatin itu, kalau memang kesempatan aneh ini keulang lagi. Tapi, sekarang, aku mau ada di sini. Mikirin hal-hal yang cuma akan muncul kalau waktu udah gelap."

Sebelumnya, pria itu berdiri dengan menyandarkan punggung ke dinding di samping pintu, tepat di belakang wanita yang baru saja dikenalnya. Dengan mata hitam pekat, pria itu memperhatikan wanita yang duduk membelakangi tanpa sedikit pun bergerak ketika tadi memberi jawaban. Ingatan atas lekuk tubuh sang wanita yang baru saja menemaninya bermain di ranjang itu masih terekam hangat. Postur tubuh yang begitu menggoda, wajah cantik yang hanya dilapis make up tipis, juga kulit almond yang menawan. Selimut putih yang wanita itu kenakan jelas tidak akan bisa menutupi segalanya. Bahkan, malah membuat pikiran sang pria mulai bermain ke sudut-sudut yang sangat dia nikmati.

"Memangnya apa yang cuma bisa kita pikirin dalam keadaan gelap?"

"Bukan gelapnya. Tapi, waktu malamnya," balas sang wanita tanpa pikir panjang. "Dan untuk jawab pertanyaan kamu, banyak yang cuma bisa kita pikirin kalau hari udah larut malam. Contoh paling gampang, penyesalan masa lalu."

"Aku engga suka banyak-banyak menyesalkan masa lalu."

"Karena kamu orang kaya yang engga pernah perlu mikirin masalah uang."

"Kenapa dikaitkan dengan uang?"

"Karena kami yang menempati peringkat bawah, engga bisa menikmati hidup mewah kayak kamu. Bahkan mungkin untuk makan aja harus berjuang mati-matian. Dan engga sedikit orang yang lakuin hal bodoh cuma demi uang." Untuk beberapa tiupan napas, sang wanita membiarkan udara menjeda kalimat-kalimatnya.

Merasa bahwa apa pun yang dia ucapkan tidak bisa mengubah cara wanita itu memandang dunia, sang pria memutuskan untuk diam dan ikut menikmati gelapnya malam.

"Aku engga tahu kalau kamu merokok." Kali ini, suara sang pria sudah berada tepat di belakang punggung sang wanita berbalut selimut. Berusaha memandang dan menemukan apa yang sedang dicari wanita itu di tengah keramaian malam.

Puntung rokok yang masih menyala jatuh ke lantai balkon tanpa suara. Setelah hisapan terakhir, sebuah rokok tidak akan lagi ada gunanya. Kepulan asap mulai kembali mengisi udara gelap. Putih bagai awan sendu, lalu hilang dan menyatu dengan kelabu. Masih sambil duduk di kursi yang sama, wanita itu memutar tubuh untuk menghadapi lawan bicaranya. "Dan aku juga engga tahu kalau ternyata Stella itu tunanganmu."

Suara yang keluar dari mulut sang wanita terdengar datar, namun begitu dingin. Jika memang dia merasakan sebuah emosi, jelas hal itu berhasil disembunyikan dengan sangat baik.

Sang pria mengambil beberapa waktu sebelum akhirnya mulai menjawab. "Kamu tahu dari mana?"

"Kamu pikir aku engga akan lihat foto itu?" Dia menunjuk ke arah meja kerja yang letaknya tidak jauh dari ranjang. Di sana terdapat sebuah bingkai foto yang sengaja dibalik agar tidak selalu terlihat. "Bahkan kamu engga benar-benar berusaha nyembunyiin itu, kan?"

Lagi-lagi hening. Lebih dingin dari sebelumnya. Selama belasan detik, pria itu membiarkan sang wanita menatapnya lekat-lekat sambil menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan.

"Kalau kubilang Stella yang ngatur semua ini, memangnya kamu akan percaya?"

"Kepercayaanku kadang bisa dibeli."

"Mungkin aja. Kalaupun bisa, harganya juga pasti engga murah," balas sang pria tanpa sedikit pun keraguan.

Secarik senyum tipis menghias wajah cantik berbentuk oval itu. "Aku yakin orang tajir kayak kamu udah engga lagi peduli sama uang yang harus dikeluarin untuk ngajak aku ke ranjangmu. Uang dengan nilai segitu udah engga ada artinya dalam hidup kamu, kan."

Pria itu balas tersenyum. Akan tetapi, dia memutuskan untuk tidak benar-benar menanggapi apa yang baru saja didengarnya. Alih-alih menjawab, dia maju satu langkah hingga selimut putih yang wanita itu pakai sudah menyentuh kulit tubuhnya yang tidak tertutup sehelai kain pun. Dari tadi membiarkan seluruh bagian tubuhnya dari atas hingga ke bawah, menjadi tontonan liar bagi mata wanita-wanita yang sangat menyukai pria maskulin.

"Omong-omong soal ranjang. Aku yakin kamu tahu kalau ranjangku ada di dalam, bukan di balkon. Dan, mungkin aja, sekarang ranjang itu masih perlu dihangatkan."

Dalam satu gerakan lembut dari tangan kanannya, pria itu menyibakkan sebagian selimut yang menutupi tubuh wanita di hadapannya. Memperlihatkan sebagian kecil dada dengan bentuk yang selalu diidamkan para pria.

Dari sudut pandang dia melihat–yang jauh lebih tinggi dari wanita itu–pemandangan tersebut tampak sangat sempurna. Jika dibuka terlalu jauh, maka kesempurnaan tersebut akan perlahan-lahan menghilang. Layaknya sebuah kado, sensasi menegangkan yang bisa didapat ketika membuka bungkus kado tersebut hanya bisa dirasakan pada waktu dan tempat yang tepat. Dan untuk saat ini, balkon belum menjadi tempat yang tepat untuk melakukannya.

Sang wanita mendongakkan kepala untuk bisa melihat wajah tegas pria yang tadi sudah sempat menikmati tubuhnya. Melihat bagaimana pria itu menatapnya bukan dengan sorotan pemangsa yang siap menerkam buruan. Mata hitam gelap itu menyembunyikan sesuatu yang tidak dapat dia tebak. Sebuah hal yang tersembunyi jauh di dalam peti yang terkunci rapat.

"Jadi, kamu berencana untuk bikin aku mati kejang?"

Lagi-lagi pria itu tersenyum. Dan baru kali ini wanita itu menyadari bahwa senyumannya tidak begitu buruk. Bahkan bisa dibilang senyum pria itu terlihat menarik.

"Engga. Engga akan seburuk itu. Aku cuma perlu seseorang untuk menghangatkan ranjangku yang dingin. Dan kebetulan, ada wanita cantik lagi duduk di balkon apartemenku ini sendirian." Menjeda kalimatnya selama dua tarikan napas. "Kurasa, kita bisa cari solusi untuk hal ini. Dan sebelum kamu bilang 'ya', lebih baik kita kenalan dulu. Namaku Eri."

"Kukira kita akan lanjutin semua ritual ini tanpa perlu saling kenal sampai pagi nanti."

"Bukannya akan lebih bagus kalau pas nanti kamu mengerang kenikmatan, kamu bisa sebut nama aku?"

"Apa kalau aku sebut nama kamu, kamu akan makin senang?" Wanita itu bertanya dengan senyum menggoda menghiasi wajah.

"Mungkin," jawabnya cepat. Eri terus menatap mata sang wanita yang belum mau menyebutkan namanya. "Tapi, aku udah pasti akan senang kalau tahu nama kamu. Bisa jadi ternyata nanti malah aku yang sebut nama kamu pas kita bercinta."

Setelah satu helaan napas yang cukup panjang, akhirnya wanita itu menjawab dengan nada menyerah, "Namaku Clare." Dan tentu saja dia berbohong. Menyembunyikan nama aslinya, Binar Dinata.

Eri sudah berniat untuk menutup perkenalan mereka dengan jabat tangan yang erat. Namun, sejurus kemudian dia menemukan ide yang jauh lebih menarik.

"Menurutmu, kamu sanggup engga masuk ke dalam?" Berhenti sejenak, seolah menunggu jawaban. Meski sebenarnya Eri tidak benar-benar menunggu Binar menjawabnya. Kembali lanjut bicara sebelum wanita yang duduk dengan dada terpeluk angin malam itu sempat membuka mulut. "Karena menurutku, mungkin aja kamu sekarang terlalu kedinginan sampai-sampai kesulitan untuk sekedar jalan ke dalam. Gimana kalau aku gendong kamu masuk? Supaya kamu engga perlu buang-buang energi lebih banyak. Jadi, semua sisa energi kamu bisa dipakai untuk kita bersenang-senang."

Tatap mata binar masih tidak lepas dari sorot pria itu. Baru pertama kali ada seorang pria yang menawarkannya hal yang terdengar romantis. Hanya saja sayangnya, penawaran tersebut tidak datang dari seseorang yang benar-benar dia mau. Namun, bagaimanapun juga, menolak perintah seorang klien bukanlah sesuatu yang bijak. "Dengan senang hati."

Kedua tangan Eri terasa begitu hangat ketika membawa tubuh Binar dalam dekapannya. Kulit mereka yang sama-sama tak berpenutup mulai bertukar kehangatan, rasa nyaman di tengah dinginnya malam. Disengaja atau tidak, satu-satunya selimut yang menutup indahnya tubuh Binar perlahan-lahan jatuh, lalu sepenuhnya tersingkap tepat ketika mereka sudah tinggal beberapa langkah dari ranjang.

Membuka bungkus kado harus berada di tempat dan waktu yang tepat. Barulah kemudian Eri dapat menikmati hadiah yang tersimpan dalam bungkus kado tersebut seperti yang memang dia inginkan. Dan menikmatinya, sampai waktu yang dia mau.