"Kamu bahkan engga mau nunggu sekedar untuk sarapan?"
Duduk dari pinggir ranjang tempat mereka menikmati cumbu tadi malam, Eri masih tidak bisa benar-benar setuju dengan ide sang wanita untuk pergi begitu pagi. Baginya, wanita itu terlalu cantik untuk dilepas sepagi ini. Dia masih terus duduk sambil mengamati sosok menawan yang empat menit lalu baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk hijau toska. Rambut panjangnya yang basah kini terlihat jauh lebih lurus dari kemarin malam. Bulu mata lentik, alis mata yang tipis, dan wajah ovalnya yang masih dihiasi oleh sedikit tetes air yang belum jatuh sempurna. Warna kulit almond dan bentuk tubuh yang dapat memancing hasrat banyak pria, bahkan hanya dengan sekali pandang. Meski menurut Eri, buah yang menghiasi dada wanita itu sedikit terlalu kecil untuk memenuhi genggaman tangan besarnya.
"Clare, kamu memang engga dengar atau pura-pura engga dengar?" tanya Eri sekali lagi, tanpa menaikkan sedikit pun nada bicaranya.
"Aku engga lagi pura-pura engga dengar," balas sang wanita tak acuh. Setelah merasa tubuhnya cukup kering, sekarang dia mulai mengenakan pakaian dalam serba hitam, lalu setelan santainya yang sudah disiapkan. Blus biru langit dan celana dengan warna senada.
"Tapi, kamu engga jawab pertanyaanku."
"Engga kayak kamu, aku bukan orang kaya yang bisa terus santai sambil nunggu uang mengalir dengan sendirinya ke rekening." Binar memberi jawaban dengan nada yang luar biasa datar. "Ada pekerjaan lain yang juga harus aku beresin."
Tersenyum dengan salah satu bibirnya terangkat lebih tinggi dari sisi lain. "Jadi, artinya kita akan sarapan bareng?"
Kali ini Binar memutuskan untuk menoleh dan memandangi mata hitam yang menatapnya dengan sorot penuh harap. Menurutnya, sorot mata itu sendiri sudah cukup aneh. Biasanya, orang-orang tidak akan berhenti memandang dengan tatap penuh hasrat. Akan tetapi, Eri tidak menunjukkan tatapan tersebut. Atau mungkin, pria itu bisa menyembunyikannya dengan baik.
Dalam langkah-langkah yang begitu lembut, Binar menghampiri pria itu. "Aku engga paham, kenapa orang sebodoh kamu bisa punya kekayaan sehebat ini?"
Dengan kalimatnya, sang wanita yang mengenakan blus biru itu bermaksud memancing sedikit emosi yang mungkin sedang Eri sembunyikan. Namun, bahkan fokus dari mata hitam pria itu tidak sedikit pun bergerak. "Aw! Kalimatmu rasanya nyelekit banget, Nona Clare."
"Dan cara kamu ngomong terlalu dibuat-buat." Keduanya masih terus bertatapan untuk beberapa degupan jantung. "Sekarang, apa kamu mau balikin ponselku yang dari tadi entah sembunyi di mana?"
Senyuman Eri terlihat semakin lebar. "Lihat, di sana ada cermin yang bisa kamu pakai untuk berias. Apa kamu engga mau tunjukin ke aku kecantikanmu semalam? Make up tipis kamu … the best i've ever seen."
Untuk sejenak Binar terdiam dan memikirkan tawaran tersebut. Eri benar, bahwa dia belum sempat merias wajahnya karena bangun kesiangan. Pria itu menuntut jauh lebih banyak dari orang-orang yang sebelumnya juga pernah Binar layani. Tidak aneh jika pada akhirnya sang wanita yang belum sempat merias diri itu bangun kesiangan. Dia melihat jam tangan yang sudah sempat dipakai di tangan kiri. "Sayangnya, aku engga punya waktu untuk ngelakuin itu, Tuan Eri. Dalam satu jam aku udah harus ada di kantor."
Tahu bahwa satu-satunya pria di ruangan itu tidak akan langsung memberi ponsel miliknya, Binar memutuskan untuk merapikan lebih dulu seluruh barang yang harus dia bawa. Meski tidak banyak, ada satu flash drive yang pada hari itu sama sekali tidak boleh tertinggal. Setelah memastikan keberadaan barang tersebut, juga beberapa perlengkapan lain yang malam sebelumnya dia bawa, sekarang tinggal meminta baik-baik ponsel yang entah di mana Eri sembunyikan.
"Sekarang, mana ponselku?" Sambil mengucapkan kalimat tersebut, Binar membalikkan badan.
Alih-alih duduk dan memberikan ponsel yang diminta, sang pria justru malah membaringkan badan dan menarik selimut putih untuk menutupi tubuh yang sebelumnya tidak terlindungi sehelai kain pun. Menyembunyikan tubuh kekar dan beberapa bekas luka yang tersembunyi pada tempat-tempat tertentu. "Oke. Kamu boleh ambil. Tapi, gimana kalau kamu ambil sendiri?"
Entah apa yang Eri pikirkan saat itu. Namun, bagi Binar hal tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali tidak lucu, jika memang pria itu menganggapnya sebagai sebuah lelucon.
Langkah-langkah kaki yang lembut mulai berjalan mendekati pria yang berbaring dengan wajah tersenyum. "Jadi, menurutmu hidupku cuma sebuah lelucon."
Kalimat itu bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan. Sebuah pernyataan yang terucap dengan nada sedingin kutub utara.
"Lelucon?" Sang pria tertawa kecil. "Aku engga pernah berpikir kayak gitu. Itu cuma pikiran negatifmu sendiri."
"Kalau memang gitu, serahin aja ponselku sekarang. Kamu udah membuang beberapa menit kehidupanku yang berharga."
"Kamu bisa ambil kapan pun. Aku engga akan larang."
Barulah kali ini Binar melihat senyum yang sedikit berbeda dari senyum-senyum sebelumnya. Sedikit ekspresi nakal yang terbalut oleh rasa percaya diri.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, sang wanita berbaju biru langit itu sudah bisa menebak di mana ponselnya disembunyikan. Namun, mengingat kesepakatan perjanjian yang mereka buat kemarin malam, Eri sudah tidak lagi memiliki Binar setelah melewati pukul enam pagi. Jadi, rasanya lelucon tersebut sangat tidak menyenangkan untuk terus diikuti.
Dengan suara yang cukup kentara, sang wanita menghela napas panjang. "Apa semua cowok akan bersikap sama ke cewek yang bisa mereka beli?"
Setelahnya, dengan satu gerakan yang cukup terlatih, Binar mengangkat selimut yang menutupi tubuh Eri. Memperlihatkan dada bidang, perut rata, dan semuanya hingga ke betis, yang tak sedikit pun tertutupi kain. Tatap mata Binar tidak berencana untuk mencari jauh-jauh di mana ponselnya berada. Langsung tertuju pada satu titik yang berada tepat di perbatasan antara kedua paha. Namun, kenyataannya ponsel wanita tersebut tidak berada di sana. Dan apa yang dia lihat dengan sangat jelas itu membuat memori atas seluruh erangannya tadi malam kembali muncul ke permukaan.
Setelah beberapa detik berlalu, Eri berdeham dengan cukup nyaring. "Kukira kamu udah puas dengan semua yang kita lakuin semalam. Tapi, sekarang kenapa kamu malah cari-cari alasan untuk lihat-lihat aku lagi?"
Ucapan tersebut membuat sang wanita langsung tersadar bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Ponsel yang dicari justru tidak berada di sana. Malah yang terlihat bukanlah sesuatu yang benar-benar mau dia lihat. Hebatnya, dengan perasaan yang teguh seperti baja, Binar sama sekali tidak merasa terganggu dengan kalimat yang telah Eri ucapkan. "Kukira ponselku ada di …. Kamu sembunyiin di mana?"
"Dari tadi aku sama sekali engga pegang ponsel kamu." Pria tak berbusana itu menunjuk ke arah meja bundar yang berada tidak jauh di pinggir pintu kaca. Mengarahkan pandang Binar untuk melihat keberadaan ponsel yang berdiam diri di samping asbak berisi sisa rokoknya tadi pagi. "Tapi, jujur aku engga keberatan kalau kamu menganggap bahwa aku adalah pemandangan yang indah dan engga mudah dilupain."
"Aku engga pernah bilang gitu." Dia mulai berjalan meninggalkan Eri yang sama sekali tidak berusaha menaikkan lagi selimutnya. "Harusnya dari tadi kamu bilang aja kalau memang ponselku ada di sini."
"Kalau gitu jadi engga seru, dong."
Selama beberapa saat waktu berlalu tanpa ada kalimat balasan. Padahal Eri mengira bahwa Binar akan kembali menanggapi. Namun, kelihatannya wanita itu tidak seperti yang sedang dia bayangkan.
"Clare, tinggal di sini aja dulu beberapa menit lagi. Aku akan mandi terus ganti baju. Nanti aku bisa antar kamu ke kantor. Atau ke mana aja kamu mau pergi. Selama aku siap-siap, kamu bisa dandan dulu."
Lagi, Binar mengabaikannya dan berlalu melewati pria itu tanpa bicara. Berjalan dengan langkah-langkah yang sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Melewati sofa hitam yang terlihat mewah. Juga meja kopi yang di bagian bawahnya menjadi sebuah akuarium untuk ikan-ikan hias. Meja-meja seperti itu harganya tidak murah. Namun, mengingat kekayaan yang Eri miliki, Binar memutuskan untuk tidak kagum sedikit pun.
"Clare," panggil sang pria yang merasa dirinya hampir tak dianggap. "Aku belum punya nomor ponselmu."
Tepat di depan pintu, Binar menghentikan langkah kakinya, berbalik, lalu menjawab, "Kamu engga perlu simpan nomor yang engga akan pernah kamu hubungi."
Dalam waktu singkat, pintu dibuka dan kembali tertutup, yang semuanya terjadi hampir tanpa suara. Meninggalkan Eri yang hanya bisa diam dan merasa bahwa hari ini akan menjadi hari yang sulit untuk dilalui.