Mama Kania juga membacakan pesan dari Ervin untuk Ervan, agar ia menjaga bahkan menikahi Prisa jika Ervin tidak panjang usia, sengaja Mama Kania membacakannya di hadapan Ervan, agar ia mengetahuinya, mungkin saja setelah itu hatinya akan luluh dan bisa mencintai Prisa.
"Kamu sudah dengar kan apa yang Mama bacakan?" Tanya Mama Kania.
"Iya."
Bagi Ervan, tidak penting Mama Kania membacakan curahan hati Ervin pada buku harian milik Ervin tersebut, karena orangnya telah tiada jadi untuk apa dibacakan? Hanya akan menambah kesedihannya saja.
"Ya sudah, coba kamu perlakukan istrimu ini dengan lembut. Prisa ini wanita baik-baik, Van." Ucap sang Mama.
Ervan membuang pandangannya dari Mama Kania, ia tidak suka di nasihati masalah seperti ini.
"Walau baik, tapi aku nggak cinta!" Tekan Ervan, lalu ia keluar dari kamar Ervin.
Prisa pun menundukkan kepalanya. Memang cinta tak bisa dipaksa, tapi cinta juga bisa tiba-tiba hadir dengan sendirinya melalui kenyamanan, tapi jika dari awal Ervan sudah tidak nyaman dengan Prisa, apa mungkin bisa ia jatuh cinta dengannya?
"Ma, biarkan buku harian itu, aku yang simpan ya. Jadi, jika aku merindukan Ervin, aku bisa selalu membacanya." Ucap Prisa.
"Iya, silahkan kamu simpan!" Ucap Mama Kania sambil memberikan buku harian pada menantunya itu. Prisa pun memeluk buku berwarna biru tersebut sambil menangis rindu. Ia sangat merindukan Ervin.
Drrttt ... Drrttt ...
Benda pipih milik Ervan bergetar, Ervan pun keluar dari kamar Ervin, lalu ia menerima panggilan telepon tersebut.
"Pris, maafkan Ervan ya, karena sikapnya yang seperti itu!" Ucap Mama Kania.
"Iya Ma, memang sikapnya Ervan dari dulu cuek seperti itu."
"Tapi kamu harus berusaha mencairkan hatinya. Mama yakin kamu bisa."
"Iya, semoga saja."
Tugas berat yang harus Prisa jalani yaitu meluluhkan hati Ervan, ia akan berusaha bagaimanapun caranya untuk bisa membuat hati pria yang sudah menjadi suaminya itu bisa luluh olehnya.
Tak lama kemudian, Ervan kembali masuk ke dalam kamar Ervin. "Ma, aku mau pergi dulu!" Pamitnya, lalu ia mencium punggung tangan Mama Kania.
"Lho, kamu mau kemana?"
"Mau ketemu teman-teman."
Mama Kania menghela nafas. "Tapi, kita kan masih berduka. Masa kamu sudah mau bersenang-senang?"
"Bukan mau bersenang-senang. Aku hanya mau bertemu teman-temanku yang justru itu bisa menghiburku."
Mama Kania melihat Prisa yang dari tadi hanya menunduk terdiam, di tepi ranjang. "Ajak Prisa ya?!"
Ervan mengernyitkan keningnya. "Apa? Ajak Prisa?"
"Iya, dia kan istrimu. Nggak ada salahnya kan kalau kamu mengajak dia."
"Nggak! Aku mau pergi sendiri, Ma."
"Mungkin saja dengan kamu mengajaknya, Prisa akan sedikit terhibur dari rasa sedihnya."
Semakin Mama Kania memaksa, Ervan semakin tidak ingin dekat dengan wanita berambut sepundak itu.
"Nggak Ma, aku nggak mau ikut sama Ervan. Biar aku di rumah aja." Sahut Prisa.
Ervan pun berlalu dari hadapan Mama Kania, ia mengeluarkan kendaraan roda empatnya, lalu pergi.
Prisa memilih untuk bantu-bantu menyiapkan makanan untuk acara pengajian nanti malam.
"Prisa, keluarga kamu sudah datang tuh, temui dulu sana!" Titah Mama Kania. Prisa pun menghentikan pekerjaannya, lalu ia menghampiri keluarganya yang sedang berada di ruang tamu.
Prisa bersalaman pada Mama dan kedua adiknya, lalu ia menyuguhkan minuman dan makanan di meja.
"Ervan kemana?" Tanya sang mama.
"Lagi pergi."
"Oh."
Sang mama masih melihat raut wajah putri sulungnya yang bersedih. Memang sulit untuk bangkit kembali jika kehilangan orang yang tersayang, apalagi ditinggal pergi selamanya. Namun Mama Mitha tak ingin Prisa terus-terusan bersedih memikirkan Ervin yang telah pergi, ia harus membuka hatinya pada Ervan, suami sahnya saat ini.
Di waktu yang sama, Ervan baru saja sampai di Cakrawala Restaurant, ia memarkirkan kendaraan roda empatnya, lalu masuk ke dalam Restaurant. Ervan menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu lebih dulu. Ia pun menyapa ketiga orang sahabatnya itu. Ketiga sahabat Ervan ini kemarin sempat datang ke rumahnya untuk mengucapkan rasa bela sungkawa atas kepergian Ervin, lalu mereka juga mengucapkan selamat kepada Ervan atas pernikahannya dengan calon istri Ervin.
"Istri lo mana, kok nggak diajak?" Tanya Galih.
Ervan pun mengerucutkan bibirnya. Ia tak suka jika ada yang bertanya tentang Prisa.
"Gue belum punya istri!" Jawab Ervan. Sampai kapanpun ia tidak ingin menganggap Prisa sebagai istrinya, karena ia tidak suka dengan wanita itu.
"Parah lo, nggak mau menganggap wanita yang sudah lo nikahi itu sebagai istri lo!" Ujar Fian.
"Kalian kan tau, tipe yang gue inginkan bukan seperti itu! Prisa itu gadis kampungan, penampilannya biasa aja, kecantikannya juga biasa aja!"
"Jangan bicara seperti itu, nanti suatu saat lo jatuh cinta sama dia, baru tau rasa lo!" Tutur Pandu.
"Ih amit-amit." Lanjut Ervan sambil bergidik geli. Ervan sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mencintai Prisa. Pada saat nanti ia menemukan wanita lain yang dicinta, Ervan akan menceraikannya.
Ervan memesan makanan dan minuman untuknya, lalu ia kembali berbincang dengan teman-temannya. Ervan masih sangat sedih karena kehilangan saudara sekaligus teman dan rekan kerjanya selama ini. Biasanya jika bepergian, Ervan dan Ervin selalu bersama. Mereka selalu kompak, karena sama-sama tidak mempunyai kekasih pada saat itu. Setelah pertemuannya dengan Prisa, Ervin jadi sering pergi dengannya, karena Ervan tidak mau menemaninya.
Di waktu yang sama, Prisa dan Mama Mitha sedang berada di dalam kamarnya yang juga kamar Ervin. Prisa sedang memberitahukan buku harian milik Ervin yang tadi sudah sempat ia baca, kebanyakan isinya tersebut tentang kerinduannya pada Prisa.
"Sudah Prisa, jangan menangis lagi!" Ucap sang mama sambil memeluk putri sulungnya itu.
"Sekarang, kamu harus berusaha melupakan Ervin dan mencoba mencintai Ervan." Lanjut sang mama.
"Sulit, Ma. Yang aku cintai dan yang aku inginkan hanya Ervin bukan Ervan. Ervan dari dulu selalu kasar sama aku."
"Kasar? Kasar gimana?"
"Iya, dia selalu berkata yang menyakiti hati aku. Dari dulu, dia selalu seperti itu."
"Sabar ya Pris, Mama selalu berdoa yang terbaik untuk kamu, termasuk hubungan kamu dan Ervan. Semoga hati kalian bisa bertemu suatu hari nanti."
Ketika sudah tak ada lagi yang bisa diperbuat untuk meluluhkan hati seseorang, doa adalah satu-satunya senjata untuk meluluhkannya.
"Tapi sampai kapan Ma? Sampai kapan aku harus bersabar untuk meluluhkan hati Ervan yang membeku?"
Mama Mitha menghela nafas, "ini baru satu hari pernikahan kalian lho, jadi wajar aja kalau hati Ervan masih dingin, kamu berusaha untuk terus baik sama dia. Kamu tunjukkan kalau kamu seorang wanita yang layak untuknya."
Prisa tidak terlalu yakin bahwa dirinya bisa meluluhkan hati Ervan, ia juga tidak ingin menjadi orang lain untuk meluluhkannya, ia akan tetap menjadi dirinya sendiri. Jika memang suatu saat Ervan menerimanya, ia bersyukur, tapi jika tidak–itu artinya ia harus pergi meninggalkannya.