"Apa lagi sih?" Ketusnya.
"Kamu udah sholat belum?"
"Aku udah sholat atau belum, urusan kamu apa?" Bentak Ervan.
"Aku cuma tanya aja."
Brukk ~~
Ervan menutup pintunya.
Ervan kesal karena telah dibangunkan oleh Prisa. Ia beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu menunaikan sholat dua rakaat. Sedangkan Prisa kembali ke lantai bawah, ia membantu Mbak Darti menyiapkan sarapan pagi. Setelah nasi gorengnya matang, Prisa membawakannya ke ruang makan.
"Ervan belum bangun juga, Pris?" Tanya Papa Malik.
"Tadi sih sudah, Pa."
"Kok masih di kamar aja sih?" Sambung Mama Kania.
"Mungkin masih ngantuk, Ma."
"Coba kamu panggil, Pris. Suruh dia turun ke bawah, untuk sarapan bersama!" Titah Mama Kania.
Sebenarnya Prisa segan untuk memanggil Ervan karena sikapnya yang menyebalkan itu, tapi karena saat ini ia sudah menjadi istrinya, jadi ia harus bisa mendekati Ervan.
Prisa berdiri dari tempat duduknya, lalu ja kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.
Tok ... Tok ... Tok ...
Prisa mengetuk pintu kamar Ervan. Ervan pun membukakannya.
"Sarapan sama-sama yuk!" Ajak Prisa.
"Duluan aja, sana!"
Brukk ~~
Ervan kembali menutup pintu kamarnya dengan suara keras. Prisa mengelus dada, ia harus bersabar menghadapi laki-laki seperti Ervan.
Prisa kembali ke ruang makan, lalu ia duduk di hadapan kedua mertuanya.
"Ervan menyuruh aku untuk sarapan duluan, Ma."
"Yaudah, yuk kamu sarapan duluan!"
Prisa mengambil piring, lalu menyendokkan nasi goreng ke atas piringnya tersebut.
"Kamu masih kerja atau sudah resign, Pris?" Tanya Papa Malik.
"Masih kerja, Pa."
"Oh. Lebih baik kamu kerja sama Ervan aja di perusahaan Papa. Kamu bisa jadi asisten pribadinya dia."
"Nggak--nggak Pa, biar saya meneruskan pekerjaan saya di restaurant karena saya sudah nyaman bekerja disana." Prisa menolak karena ia tidak mau bekerja di bawah tekanan Ervan, laki-laki yang selama ini membencinya itu.
Papa Malik pun tidak memaksa Prisa, jika memang Prisa tidak mau bekerja di perusahaannya, tidak masalah baginya.
"Atau, kalau memang kamu capek kerja, kamu juga boleh menjadi ibu rumah tangga, tanpa harus bekerja."
Prisa kembali berpikir, Ervan menikahinya hanya untuk menggantikan posisi saudara kembarnya, jika Prisa tidak bekerja, belum tentu ia betah tinggal di rumah megah ini, belum tentu juga Ervan memberikannya nafkah berupa materi yang ia butuhkan. Prisa tidak ingin dikatakan menumpang hidup dengan orang lain, makanya ia harus bisa mandiri secara finansial walaupun ia sudah bersuamikan seorang CEO di perusahaan ternama.
Tak ada kebanggaan dalam hati Prisa karena sudah berhasil menikah dengan Ervan Putra Byantara, satu-satunya pewaris tunggal keluarga Byantara. Karena dari setahun yang lalu, saat Prisa kembali bertemu dengan Ervin, Ervin lah yang sangat Prisa inginkan untuk menikahinya. Walaupun saat itu Prisa sempat merasa minder karena ia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, tapi Ervin kembali meyakinkan Prisa, bahwa kedua orang tua Ervin tidak memandang wanita dari status sosialnya. Yang terpenting, wanita itu baik dan bisa membahagiakan Ervin.
Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga, laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itulah yang turun dari tangga, lalu ia duduk di samping Prisa.
"Prisa, tolong buatkan Ervan secangkir teh hangat!" Titah Mama Kania.
Prisa yang sudah selesai makan pun beranjak ke belakang, lalu ia membuatkan secangkir teh hangat untuk menghangatkan hati Ervan yang masih membeku. Setelah selesai membuatkan secangkir teh manis hangat, Prisa membawanya lalu meletakkannya di atas meja makan.
"Nanti, kita masih mengadakan pengajian disini ya, sampai tujuh hari." Ucap Mama Kania.
"Iya, Ma." Sahut Prisa.
"Keluarga kamu undang untuk datang kesini, Pris." Lanjut sang mama mertua.
"Iya, Ma. Nanti aku beritahu Mamaku dan yang lainnya."
Ervan meminum teh manis hangat buatan Prisa, lalu tiba-tiba bibirnya terasa panas. Ervan pun membanting cangkir itu di atas meja. Suara cangkir yang beradu dengan meja yang terbuat dari kaca membuat terdengar nyaring, sontak saja Prisa, Mama Kania dan Papa Malik pun kaget. Mata mereka tertuju pada Ervan.
"Ini tuh bukan teh hangat tapi teh panas. Bisa kerja nggak sih? Bikin teh manis hangat aja nggak becus!" Sembur Ervan, lalu ia bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya.
Prisa memegang cangkir tersebut. Memang air yang ia tuangkan masih panas, ia jadi merasa bersalah pada Ervan.
"Maafkan sikap Ervan ya Prisa. Nggak seharusnya dia seperti itu." Ucap Papa Malik.
"Iya, Pa. Ini memang salah aku, jadi wajar aja kalau Ervan marah seperti itu."
"Tapi kan nggak seharusnya dia membanting gelas dan bicara seperti itu pada kamu." Sambung Mama Kania.
"Kamu sabar ya menghadapi Ervan. Mama yakin, suatu saat hatinya bisa luluh." Lanjut Mama Kania.
Prisa menganggukkan kepalanya, sambil berkata. "Iya, Ma."
Prisa tidak yakin kalau dirinya bisa meluluhkan hati Ervan karena memang dari dulu Ervan tidak suka pada Prisa. Ervan selalu menyakiti Prisa dengan kata-katanya. Prisa pikir saat ini Ervan sudah berubah menjadi baik, tapi ternyata ia belum berubah, sikapnya dengan Prisa masih sama seperti dulu.
Ervan memang masih membenci Prisa, apalagi saat di jodohkan dengannya secara mendadak seperti kemarin, hatinya malah tambah memberontak untuk menjauhi wanita itu. Prisa bukan wanita impiannya karena Prisa berasal dari keluarga yang jauh berbeda dengan keluarganya. Ervan juga heran pada Ervin, mengapa ia mau dengan Prisa yang tidak ada kelebihannya sedikitpun, padahal saat itu banyak wanita yang suka pada Ervin. Ervin juga sering mengatakan bahwa Prisa adalah wanita yang baik hati, tapi bagi Ervan, bisa saja Prisa hanya berpura-pura baik agar Ervin mau menikahinya, Prisa hanya melihat harta keluarga Byantara, bukan karena cinta.
Mama Kania menaiki anak tangga, lalu ia masuk ke kamar Ervin, Prisa mengekor di belakangnya. Mama Kania membuka lemari, lalu mengambil buku harian milik Ervin yang sempat ia baca sebelum Ervin meninggal.
"Tolong kamu panggilkan Ervan, suruh dia kesini!" Titah sang mama mertua. Prisa keluar kamar Ervin, lalu ia mengetuk pintu kamar Ervan.
"Ada apa lagi sih?" Tanya Ervan dengan nada bicara yang cukup keras.
"Mama menyuruh kamu ke kamar Ervin!" Jawab Prisa dengan bibir gemetar menahan tangis.
Ervan pun langsung beranjak ke kamar saudara kembarnya yang sudah meninggal dunia itu.
"Duduk!" Titah Mama Kania. Ervan pun duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Prisa.
Mama Kania membuka buku harian milik almarhum Ervin, lalu membacakannya di hadapan Ervan dan Prisa. Tulisan Ervin di buku harian tersebut, sangat di dominasi oleh Prisa, ia sangat merindukan Prisa. Tak terasa air mata Prisa menetes saat Mama Kania membacakannya. Ia tak sanggup lagi mendengar untaian kata yang Ervin tulis khusus untuknya.