Anak perempuan di depannya, habis melototi Anak itu dengan wajah serius.
Tatapannya sedikit, menyeramkan. Arato mengeluh. Melihat Anak perempuan yang sempat menertawakannya, "Seperti kepompong yang tergantung." Dia mengejek. Arato menggeram. Tidak dapat membalas satu pun ejekan itu, "Bocah sialan." Gumamnya. Rambut Anak laki-laki itu sedikit menyentuh tanah. Dia berpikir keras kalau, tali ini, pasti bukan tali biasa... Pikirnya. Mereka pasti melakukan sesutau pada tali ini. Arato merasa semakin aneh.
Dia, sepertinya benar. Kata Yamato.
Kemungkinan yang sedang terjadi: Aliran darah yang mengalir keseluruh tubuh, entah bagaimana sedang, di percepat oleh tali itu. Membuat Arato mulai merasa mual, sedikit pusing, dan sepertinya akan pingsan. Di atas kepala, Kata Yamato. Lebih tepatnya, di bawah. Arato membalas. Dia terikat dengan posisi 'Seperti kepompong.' Menggeliat bagaikan cacing,
Lalu berhenti.
"Huh ... sial. Jebakan yang bagus." Arato sangat kewalahan, hanya untuk melepaskan jeratan tali di pergelangan kakinya. "Tentu saja..." Anak perempuan itu membalas. "Karena aku ahlinya." Dia menunjuk kepada dirinya sendiri. Arato mengangkat setengah alis. "Ah. Ya." Dia cukup setuju dengan perkataan itu.
Nenek meliriknya,
Ekspresinya ragu, dia berkata "Oni Putih." Katanya. "Hm..." Arato sedikit bingung untuk menjawab, dan juga mual. "Ada apa Nek?" Anak perempuan itu bertanya kepada Nenek, sebelum Arato dapat membalas perkataan Nenek.
"!"
"Tidak. Bukan apa-apa." Nenek membalas Anak perempuan itu. Dia berjalan maju, memutuskan tali dengan pisau yang dia bawah sesegera mungkin.
ZAPpp!
Setelahnya,
DUK!
"Aduh!" Arato mengelus testa. "Seharusnya Nenek bisa menurunkanku secara perlahan!" Dia mengeluh. Tapi Nenek menghiraukan perkataannya, dia mengulurkan tangan. Arato menoleh ke atas sambil mendengar komentar pedas yang melewati telinganya. "Berterimakasihlah. Dasar Kepompong!" Kata Anak perempuan itu. "Bb-baiklah." Arato meraih tangan Nenek. "Nek!" Anak perempuan itu menoleh ke arah Nenek. "Lain kali aku pasti akan menangkap, um. Kalau bukan kelinci, pasti seekor rubah." Kata Anak perempuan itu. "Apa anak ini serius??" Arato meliriknya dengan rasa heran.
Nenek itu hanya tersenyum lembut mendengar perkataan cucuknya.
Arato cukup terkejut,
Lebih tepatnya syok.
Respon Anak perempuan itu sangat tidak singkron dengan wajahnya. "Kenapa kalau begitu!!" Dia menggeram kepada Arato. Anak perempuan itu, berambut merah seperti api, berwajah manis, memegang pisau yang sepertinya di buat tangan. Serius? Yamato sedikit terheran-heran. "Bukan apa-apa." Arato membalasnya. "Bersyukurlah kami tidak menjadikanmu sarapan pagi kami-." Kata Anak perempuan itu, namun Nenek memotong kata-katanya. "Sudah-sudah. Mai." Nenek mendesah, meminta bocah itu, Pikir Arato. Untuk berhenti.
Dan hanya seperti itu.
Anak perempuan berambut merah itu terdiam dengan wajah memerah. Entah karena malu, atau marah. Arato kurang begitu yakin dengan pengamatannya sebagai seorang Profiler. Bisa jadi kedua-duanya menurut Yamato, bahkan dengan sudut pandang yang hanya asal menebak-nebak.
"Anak muda. Bolehkah aku menawarkanmu sesuatu-?"
"Ah itu-." Arato ingin menolak tawaran itu. "-Sebagai tanda permintaan maaf ... atas perbuatan cucukku ini." Tiba-tiba Nenek membungkuk kepada Arato. Dari sudut pandang itu, sepertinya akan sulit untuk menolak. Jadi, Yamato menyinggung, "Baiklah." Arato mendesah. Walaupun ada sedikit perubahan rencana, tampaknya dia tidak dapat menolak tawaran itu. Desa, dan beberapa Orang penting dapat menunggu. Pikir Arato. Nenek tersenyum lembut mendengarnya. "Baik kalau begitu. Mari ikuti kami." Nenek berbalik. "Jalan menuju gubuk kami lewat sini." Mereka bertiga pun pergi menuju gubuk yang arahnya berlawanan dengan tujuan awal Arato.
Anak perempuan bernama Mai itu, masih melirik Arato dari belakang, tatapannya semakin lama semakin menajam.
"Jadi di mana gubuk ini?" Arato bertanya. "Di sisi barat daya hutan. Jangan khawatir, perjalannya tidaklah jauh." Nenek membalas. 'Jangan khawatir, perjalannya tidaklah jauh.' Kata Nenek sebelumnya, dan itu, Yuppppp, Yamato menyeringai dengan suara datar. Perjalanan yang mereka tempuh sekitar 10kilometer, hal itu tidaklah dekat jika berjalan dengan kedua kaki, secara normal. "Fiuhhh! Serius, tapi. Apa Nenek setiap hari berjalan sejauh ini?" Arato bertanya dengan penasaran. "Tidak juga. Yah, karena hari ini adalah hari yang sangat spesial ... bagi Mai, dan aku sendiri..." Balas Nenek. "Jadi. Kami menempuh jalan yang jauh seperti ini untuk mengambil beberapa, buah." Dia mengatakan itu seperti sedang mengingat sesuatu yang mendalam. Kedengarannya seru. Pikir Arato sambil tersenyum.
Beberapa menit telah berlalu.
Dia menoleh ke bawah, melihat bayangannya yang hampir seluruhnya tertutupi dedaunan pohon. Arah bayangannya masih berada di sudut timur. Cara kuno untuk mengetahui waktu, tapi dia mengecek ponsel dengan cara yang lebih moderen. Waktu yang tertera di layar ponsel adalah 10:00 AM. Sekitar 62 menit mereka berjalan menuju gubuk. Tempat yang mereka sempat bicarakan itu, semakin lama, semakin nampak dari jarak mereka berjalan. Arato mendekati sebuah gubuk, "Woah, gubuk ini kelihatan lebih tua dari pada Nenekku." Gumamnya. Dan perjalanan tadi sangat jauh! Yamato mengeluh.
Tapi intinya, dia benar.
Mai melewati Arato, "Ayo masuk." Dia terdengar seperti, sedang menyuruh seorang pelayan untuk mengikutinya. "Dasar..." Yamato seketika itu muncul seperti percikan api. "Diktator kecil!" Dia mengejek. Walaupun begitu, entah dia berada di situ ataupun tidak, itu tidak menjadi masalah. Karena yang dapat melihatnya,
Hanya Arato seorang. "Ya ampun." Arato menggumam. Ini akan menjadi hari yang panjang. Itu yang terlintas dalam benaknya saat Yamato sedang mencoba untuk mencubit Mai beberapa kali. Jari-jari Yamato menembus telinga Anak perempuan itu bagaikan hantu, menjadi kabut api berwarna biru.
"Ahhhhhh!! Sialan." Yamato teriak. Dia terlihat frustasi, dan sepertinya akan segera menyerah. Arato menggelengkan kepala, memberikan tanda kepada Yamato. Dia mengangguk muram, lalu menghilang kembali. "Hmmmmm??" Mai terlihat bingung. "Anak muda?" Nenek memanggil Arato. "Ya." Arato membalas sesopan mungkin. Dia masuk, lalu duduk dibawah tikar yang terbuat dari kayu."Tunggulah sebentar Anak muda. Aku akan mempersiapkannya dulu-." Kata Nenek. "Eh, mmm ... Huh?" Arato kebingungan. Mempersiapkan apa? Dia sedikit bertanya-tanya. Nenek itu hanya tersenyum lembut kepadanya. Dia duduk bersama dengan Mai. Anak perempuan itu bermain-main dengan tungku api di depan mereka. Arato menoleh, melihat ceret yang di taruh Nenek sebelumnya. Mereka berdua menunggu air di dalamnya untuk segera mendidih, sambil mendengarkan bisingnya suara desisan arus sungai di belakang mereka. Gubuk itu terletak di sisi barat daya hutan, posisinya agak dekat dari sungai, 20meter jauhnya. Jika gubuk itu kebanjiran saat hujan deras, tidaklah mengherankan.
Arato mendengar sesuatu.
Suara air dalam ceret yang mulai bising, sepertinya air sudah mendidih. Pikirnya. Nenek itu duduk, lebih tepatnya di sisi kanan Mai. Dia menuangkan air ke dalam cangkir di bawah Arato, lalu menyeduhkan teh, perlahan-lahan. Membuat Aroma dari daun teh itu menyebar keseluruh ruangan.
Baunya sangat harum.
Sulit untuk dia jelaskan, tapi baunya seperti madu dan lavender, sedikit bercampur dengan dedaunan mint. Daun teh itu sepertinya tidak biasa, dalam arti kata, sangat langkah/aneh. Itu adalah yang pertama kali dia mencium teh beraroma seperti itu. Teh itu sepertinya item rare yang tidak biasa, Yamato berkomentar. Arato sangat setuju dengan perkataannya.
"Hmmmmm..." Anak laki-laki itu menelan ludah. Liurnya membanjiri mulut, dia seperti siap untuk meminum teh itu, bahkan dalam keadaan panas sekalipun. Yup ini gawat, kata Yamato. Dia tahu hal seperti teh dapat membuat Arato kehilangan akalnya, secara harfiah, kehilangannya. Woah-woah-woah! Maniak teh. Kau tidak melupakan tujuan kita bukan? Yamato meneriaki Arato. Anak laki-laki itu tidak mendengarnya. Perkataan itu lebih seperti suara semut yang teriak, tetapi tidak mencapai gajah. "Silahkan di minum Anak muda." Nenek menggeser cangkir ke arahnya. "Baik!" Arato membalas dengan penuh antusias. Membuat Mai terheran-heran dengan balasannya yang, sangat aneh. Mai memikirkan hal itu. Dia sepertinya cukup sarkasis untuk membalas Arato, jika dia bertanya. Arato menoleh kepada Mai dengan senyuman yang lebar, "Hei apa kau tahu daun apa ini sebenarnya?" Arato bertanya dengan sangat penasaran. Mai menyipitkan mata, seperti memberikan tanda kepadanya untuk, jangan BERTANYA!
Anak laki-laki itu tidak terlalu bodoh untuk menyepelekan signyal itu. Dia langsung menghindari tatapannya. Cukup beruntung, dia dapat membaca suasana, mungkin itu adalah pemberian dari Ibunya. "Silahkan di minum Anak muda." Nenek tersenyum lembut, meminta Arato untuk meminum teh itu dengan sopan. Dia pun meminumnya hingga beberapa tegukan, bahkan tanpa ada keraguan pada wajahnya.
"Teh ini ... rasanya sedikit aneh!?" Kata Arato. "Aku rasa-."