Chereads / Putri Salju & Si Oni Penari / Chapter 7 - CHAPTER VI - Raja Yang Turun

Chapter 7 - CHAPTER VI - Raja Yang Turun

Mereka semua di tempat itu pun terpukau akan tarian Gadis yang pucat itu.

Otsuna di tengah sekerumunan penduduk yang bertepuk tangan disekelilingnya. Membuat dia malu, dan tiba-tiba saja Gadis itu menunduk. "Woah itu menakjubkan!" Mereka bertepuk tangan sekali lagi kepadanya.

Tanpa dia, maupun mereka semua sadari.

"Tuan Putri." Seseorang memanggil dari dalam kerumunan itu. "Tuan Putri Otsuna!" Dia memanggil nama Otsuna sekali lagi. "Hhhh..." Otsuna berbalik. Dia cukup tercengang akan suara yang memanggilnya, dia ragu, jantungnya berdegup kencang. "Jangan-jangan." Gumamnya. Hari itu cukup dingin, namun Gadis itu berkeringat. "Aroma yang sama lagi!?" Arato menoleh kepada Yamato. Dia waspada akan aroma asing yang memasuki indra penciumannya. "Patner." Kata Yamato, lalu menghilang. Jangan menurunkan kewaspadaanmu, lanjutnya. "Sejak kapan aku tidak waspada?" Balas Arato.

Anak laki-laki itu memakai Noh, lalu dia melangkah maju, sekitar beberapa langkah ke depan. "Siapa??" Arato bertanya kepada siapapun di dalam kerumunan itu untuk menunjukan dirinya. Sekerumun penduduk desa melihat satu sama lain, mereka

ikut bingung dengan apa yang tiba-tiba saja terjadi. Keadaan menjadi tegang seketika. "A-apa yang terjadi?" Seseorang bertanya kepada yang lainnya. "Aku tidak tahu. Apa ini acara TV??" Balas seseorang. Sayangnya, "Tuan Putri Otsuna. Akhirnya, aku dapat menemukanmu."Seorang Wanita berpakaian serba putih, berparas cantik, bertanduk satu di sisi kanan dahi, melangkah maju dari dalam kerumunan itu. Tanduknya melingkar ke bawah daun telinga bagaikan rambut. "Tuan Putri." Panggilnya sekali lagi kepada Otsuna.

"..."

Otsuna dengan ekspresi ragu menatapnya(Wanita itu). "Para mahkluk-mahkluk fana ini tidak pantas mendapat tarian itu dari dirimu." Kata Wanita itu dengan sopan. Arato sedang memikirkan situasi mereka, yup dia yang mengikuti kita dari tadi ... dia orang yang beraroma sangat aneh. Dari sudut pandang itu, dia hanya menebak bahwa, Wanita itu memiliki cukup kriteria untuk menjadi, musuh. Kata Yamato.

"Ayo kita kembali Tuan Putri." Wanita itu menundukan kepalanya kepada Otsuna. "Tidak." Otsuna menolaknya. Dan hal itu mengejutkan Wanita itu, dia memandangi Otsuna lagi, kali ini dia terlihat serius. "Kalau begitu..." Dia mengangkat kedua lengannya. "Tidak ada pilihan lain, selain membawamu secara paksa." Kata Wanita itu. "Kirana-sama." Gumam Otsuna dengan penuh keraguan di matanya.

Dalam situasi itu, Otsuna tidak memiliki kemampuan maupun kemauan untuk menolak. Jika tidak... Otsuna menahan diri. Dia melihat wajah orang-orang di sekelilingnya, mereka takut.

Dan Otsuna tahu itu.

Tetapi, sebelum dia dapat mengutarakan apa-pun yang dia pikirkan.

Arato menyela mereka.

"Siapa kau!!" Dia memberi tanda kepada musuhnya untuk segera memperkenalkan diri. "Siapa aku?" Wanita itu tertawa menyeringai. "Aku'lah Dewi." Kirana memperkenalkan dirinya secara anggun. Membuat Arato semakin waspada, dia tidak memahami maksud dari kata 'Dewi.' Tapi dari yang dia tahu

adalah, "Dia berbahaya." Gumam Arato. "Kau sendiri-." Sebelum Kirana dapat menyelesaikan perkataannya, bibir Wanita itu berhenti berucap. "Api itu." Kata Kirana.

Entah apa yang terjadi,

Keduanya saling bertatapan dengan tatapan mata yang saling mengancam. Kirana memakai sebuah Dojutsu yang baru kali pertama Arato lihat secara langsung, Rinnegan. Pikirnya. Wanita itu terbang bagaikan kain, lalu mendarat. Dia dan Kirana berada sekitar 15meter seketika itu terjadi. Arato membuka kedua kaki, menunjukan kuda-kudanya.

Dan,

"Mata yang kau miliki itu. Apakah kau tahu dari mana asal mata itu?" Kirana tersenyum bengis. "Dari?" Arato mengangkat setengah alis. "Tentu saja dari Kami!" Wanita itu mengeluarkan benda-benda hitam yang sama persis dengan Otsuna. Benda apa-pun itu, dalam sekejap mata, dia mengubah bentuknya menjadi kain.

Tebalnya sekitar 5cm,

"Woah-woah!!" Yamato menunjuk benda itu.

Kain hitam menerjang dengan cepat. "Musnah." Gumam Kirana. Kain yang berterbangan itu dari satu, terbelah menjadi tiga. Para penduduk di sekitar tempat itu saling berlarian keluar dari tempat mereka berdiri sebelumnya. "Ayo lari semuanya!!"

Teriak para penduduk. Arato dengan cepat memakai segel tangan yang bentuknya seperti kelinci lagi, namun kali ini ada dua, Inori! Kata Arato sambil menyatukan kedua segel tangan itu. Mulutnya menghirup udara dalam sekejap, membuat mulutnya

terlihat seakan-akan semakin menggumpal. Otsuna menoleh ke arah Arato secepat yang dia bisa.

Di saat itu juga,

Topeng Oni pada tas pembawa pesan di punggung Arato terbang keluar dari pin tempatnya tergantung. Benda itu seperti kerasukan, atau lebih tepatnya dirasuki Api biru milik Arato. Dalam waktu sesingkat mungkin Anak itu menembakan Api yang warnanya hitam sepekat malam, tepat ke arah Topeng itu.

DUUUAARRR!!

Meledak, tetapi, ledakan api itu mengubah bentuknya sendiri. Otsuna mencoba untuk memperingati Arato, "Tsuki-yo!!" Dia memanggilnya. Tapi Anak laki-laki itu tidak mendengar panggilan itu. Dia lebih serius kepada apa yang terjadi

di depannya, secara langsung kain-kain itu membela lantai seperti alat bangunan/gergaji. Ledakan api sebelumnya membentuk sesuatu yang menggetarkan hati mereka yang melihatnya, "Oni!!" Teriak seseorang. Api hitam itu menyelimuti Topeng Oni, dan dari Api itu juga terbentuklah Topeng berapi-api sebesar tokoh mainan anak-anak. "Bhwaaaahhhh!!" Topeng itu membuka mulutnya selebar mungkin, lalu menerjang ke arah kain Kirana.

Jutsu Homura - Aungan Oni!

BANG!!

Ledakan selanjutnya menyapu udara dari tanah hingga langit. "Terbakarlah siapapun kau!" Kata Arato. Saat dia berpikir pertarungan mereka telah usai, dia ternyata, salah besar. "Kemari kau! Mahkluk Fana." Kirana muncul dari belakang Arato dalam sekejap mata. Jutsu Ruang dan Waktu. Kata Yamato, menyebalkan! Lanjutnya. Lengan kanan Arato di tertarik oleh Kirana hingga hampir masuk ke dalam Jutsunya. "Tsuki-yo!! Tunduk!" Otsuna teriak kepada mereka. Gadis itu terbang bagaikan peluru yang baru di tembakan. Arato tidak perlu membantah hal yang cukup logis. Dia menunduk, lalu mengambil celah itu untuk menusuk

tangan Kirana memakai Jarum berwarna ungu yang besarnya hampir seperti pisau, panjangnya, sekitar 30cm. Keadaan di saat itu pun menjadi terbalik. Arato menarik Kirana keluar dari dalam Jutsunya seperti sedang bermain tarik tambang. Anak itu

memakai sesuatu seperti benang Cakra, ungu berapi-api, terkait langsungke tengah gelang di lengan kirinya. Sebelum mereka semua sadari; Otsuna menabrak seluruh targetnya seperti bola bowling. Ketiganya terlempar ketiga arah yang berbeda, Timur, Utara, dan Barat.

Arato terlempar, menabrak gedung hingga beberapa kios tempat jualan. Mengejutkan para pejalan kaki yang melewatinya, "Hati-hati!!" Seorang Pria memberi peringatan kepada beberapa orang lainnya. "Apa dia sudah-." Kata seorang Wanita, namun menahan kata-katanya. Mereka berdua sedikit mendekat.

Melihat tubuh Arato yang terbungkus Api berwarna biru, dia terlihat seperti sedang terbakar menurut mereka. Dua orang lainnya di tempat itu mencoba untuk menutupi tubuh Arato dengan tumpukan salju, berharap Api itu padam namun,

"A-pa!?" Arato terkejut bangun. "D-dia bangun!?" Seseorang lebih terkejut dari pada Anak laki-laki itu. Arato menoleh kebelakang, mendapati beberapa orang yang dia kenali, tapi. Ada sesuatu yang janggal, "Apa yang!?" Arato membangunkan dirinya melihat Sasuke, Sakura, Naruto dan Hinata yang melototi

Anak itu dengan ekspresi yang sama dengan Anak itu sendiri. "Uhhh..." Arato menoleh lagi ke arah patung wajah para Hokage.

Dan semua, Itu masuk akal, Kata Yamato. "Ya ampun. Sekarang..." Arato mendesah dengan ekspresi murung. "Bagaimana." Lanjutnya.

"Uuuuh." Otsuna membangunkan tubuhnya dari balik reruntuhan bangunan. Dia kesakitan, tapi rasa sakit yang luar biasa itu tidak menghentikannya. Gadis yang pucat itu terbang ke arah Barat desa berharap dapat bertemu dengan, Tsuki-yo. Pikirannya

hanya dapat memikirkan Anak laki-laki itu, dia cemas, dan sangat khawatir. "Tuan Putri!!" Kirana teriak dengan kencang. Membuat Otsuna berhenti.

Dia terdiam, hatinya berdegup, dia berkeringat, tapi masih memiliki nyali untuk berbalik. Otsuna menatap Kirana yang

sedang meliriknya dengan ekspresi jijik. "Sudah kuduga kau pasti akan mengkhianati Klan." Kata Kirana, seiring kata demi kata dia naikan nada suaranya sampai terdengar garang. "Tapi orang itu hanya menyuruhku untuk membawamu ... bahkan dengan beberapa luka pun. Aku tidak lagi ragu Tuan Putri-ku." Kirana

tersenyum bengis. Senyuman itu sangat berbeda dari apa yang Gadis itu kenali. Dia tahu, dia tidak akan dapat menghindar lagi,

Otsuna memutuskan diri untuk bertarung dengan Kirana.

Gadis pucat itu memasang kuda-kuda untuk bertarung. Hal itu mengejutkan Kirana, "Dengan tubuh seperti itu? Apa yang sedang kau pikirkan Tuan Putri." Katanya. "Bahkan dengan tubuh seperti ini. Kumohon untuk jangan meremehkan aku. Kirana-sama."

Otsuna dengan tegas mengatakan itu. Kirana tidak menganggap pertarungan mereka serius. Dia lebih seperti sedang bermain-main dengan Gadis itu, "Dapat."

Kirana memegang Otsuna semudah dia membalikan telapak tangan.

"Kirana!!" Teriak seorang Pria yang mendekati mereka.

Dan dari suara itu juga, Kirana tahu, Pria itu masih hidup ya. "Rahmanaya." Gumam Kirana saat berbalik dengan wajah yang ganas. Wanita itu melirik seorang Pria yang berjalan mendekati mereka, wajahnya babak belur seperti habis dikeroyok atau semacamnya. Kirana melihatnya dengan penuh rasa jijik, "Seharusnya kau menyimpan nyawamu dengan penuh hati-hati. Dan pergi selagi bisa." Katanya. "Hahhh." Pria itu tersenyum menyeringai, seolah-olah itu adalah hal terakhir yang tidak akan dia lakukan. "Nyawaku tidaklah penting jika dibandingkan dengan

Tuan Putriku." Rahma melangkah maju. "Paman Rahma! Aku mohon berhenti di sana, aku dapat mengatasi ini." Kata Otsuna. "Hahaha..." Kirana tertawa mendengarnya.

Otsuna sedikit kesal mendengar suara tawa yang nyaring itu. Dia memasang kuda-kuda yang sama, kali ini, hanya ekspresi wajahnya yang tampak berbeda. Tarian Putri Musim Dingin, seketika Gadis pucat itu mengibas kipas tangan miliknya. Kristal pun terwujud di tengah udara yang kosong, menerjang bagaikan ratusan paku yang terbuat dari kristal Es. Kirana terkejut melihat Es raksasa yang menerjang ke arahnya bagaikan air terjun. "Tidak kuduga. Kau masih memiliki cakra sebesar ini." Kirana menghindari serangan Otsuna memakai Justu Ruang dan

Waktu dengan sangat mudah. "Sud-ah ku-bilang." Otsuna terengah-engah dengan sisa tenaga di dalam tubuhnya. Jika Kirana menyerangnya maka, aku akan selesai di sini. Pikir Otsuna.

"Kirana!! Berani-beraninya kau menyerang Tuan Putri Otsuna." Rahma dengan kuda-kuda miliknya memutar tongkat ke atas,

Tarian Anak Musim Kemarau.

Dan dengan itu, Kirana tiba-tiba tercekik. "Ini lagi!!" Kirana geram, kesulitan, kesal, dan sulit untuk bernapas. Tubuhnya seperti sedang tercekik oleh tali tak kasat mata. Kirana melihat sebuah, kesempatan!! di saat itu juga. Dia mengeluarkan Kain miliknya dari dalam tanah, tepat di bawah Rahma, menusuk Pria itu seketika di tengah dadanya beberapa kali. Rahma telah menduga, "Cepat atau lambat." Gumamnya. Otsuna membuka kedua matanya selebar mungkin, tidak dapat mempercayai gambaran apa yang ada di depannya. "Ahhh!! dia!?" Shikadai terkejut melihat Rahma. Dia bersama dengan Sumire Kakkei sedang menjalankan misi yang penting, dan misi itu melibatkan Pria yang tertusuk di depan mereka. "Uhk!" Rahma batuk darah hingga matanya tidak dapat fokus melihat musuhnya, penglihatannya buram. Bau kematian sedang mengintai Pria itu dari belakang. Otsuna segera berlari, tergesah-gesah ke arah Rahma. Sesudah Gadis itu sampai, "Paman Rahma." Dia menggigil, takut akan apa yang telah terjadi kepada Rahma. Sekali lagi, walaupun tidak dapat melihat wajah Tuan

Putrinya. Dia tahu, Gadis itu pasti sedang menangis. Dengan sisa tenaga yang di miliki Rahma, dia keluarkan semuanya hanya untuk menyeka wajah Otsuna dengan lembut, penuh dengan kasih.

"Tuan Putriku. Janganlah khawatir." Kata Rahma kepada Otsuna.

Momen itu cepat,

Tenang.

Rahma berubah menjadi debu sekejap Gadis pucat itu berkedip. "Pa-man Rahma." Dia menangis lagi, kali ini hatinya terasa hancur. Kirana melangkah maju, "Tuan Putri." Dia memanggil Otsuna dengan serius. Otsuna tanpa berkata-kata, mengebaskan kedua kipas tangan miliknya.

"!?"

Kirana pun membeku sebelum dia dapat menghindar. Es seperti badai itu membersihkan beberapa tong sampah, tembok, dan juga Wanita itu sebelum dapat mengelak dari serangan itu. Itu mungkin serangan yang paling mematikan menurut sudut pandang Shikadai Nara.

Setelah itu.

Shikadai dan juga Sumire Kakkei mendekati Otsuna. "Kau pasti Tuan Putri Otsuna." Kata Sumire, sebelum dia mencoba untuk melangkah lebih jauh. Wanita itu memperkenalkan dirinya untuk berjaga-jaga. "Aku Sumire dan dia."Sumire menoleh kepada Shikadai. "Yah, aku Shikadai. Maaf soal ini ... Semua ini adalah

tanggung jawabku."Shikadai berwajah muram, menjelaskan kata-katanya seperti serpihan kaca yang tidak dapat Otsuna pahami. Yang Gadis itu pahami hanya, mereka mungkin sama seperti Tsuki. Itu yang terlintas dalam benak Otsuna. Gadis

itu menangis tiada henti-hentinya. Membuat Shikadai merasa cukup gagal dalam menjalankan misinya sebagai Shinobi desa Di Balik Daun. Tugas dan tanggung jawab untuk memastikan Tuan Putri Otsuna, masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Pria itu tidak melupakan apa yang telah mereka janjikan kepada Rahmanaya. Dia merenung akan hal itu, membuat Shikadai semakin menguatkan tekadnya.

"Apa-apaan ini!??" Arato terkejut dengan semua kekacauan yang terjadi. Dia berdiri dari atas sebuah tiang melihat pemandangan yang cukup, gila. Kata Yamato. Arato menghela napas, "Setelah membohongi keluargaku, sekarang ini." Anak laki-laki itu baru saja kehilangan moralnya, jatuh sedikit demi sedikit seperti pasir. Hei apa Otsuna tidak apa-apa? Yamato bertanya kepada Arato. Setelah dia menyinggung hal itu, "Ya kau benar!" Arato kembali serius, mengingat Es itu, sudah pasti Teknik milik Otsuna. Pikirnya. Anak laki-laki itu lanjut mencari Gadis yang pucat itu.

Tapi,

Dia cukup beruntung.

Arato dapat melihat Gadis itu dari kejauhan, kali ini dia merasa cukup gugup untuk mendekat. "Itu tidak bagus." Yamato muncul. "Yup. Itu benar-benar tidak bagus." Balas Arato. "Menurutku kau berpura-pura joging. Kau tahu kan, seperti hanya sedang lewat saja. Dan secara tidak 'sengaja' bertemu dengan Otsuna." Yamato mengatakan idenya yang, "Bodoh." Arato membalas. "Bukankah sudah jelas joging di saat seperti ini akan terlihat seperti aku memakai pakaian renang di tengah kolam yang membeku!" Katanya.

Itu cukup masuk akal.

Walaupun cara mereka berdua berpikir hampir mirip.

"Lebih baik aku berjalan mendekat dan bilang kalau aku bagian dari kepolisian. Yah, kan profesiku semacam itu." Arato mengutarakan idenya. "Huh, Itu juga bisa." Yamato setuju.

"Baik-baik. Sekarang."Arato memakai segel tangan Inori, pada satu tangannya. Memanggil Topeng Oni yang terhempas beberapa ratus meter jauhnya. Dan topeng itu, mendengar panggilan Api. Bagaikan sonar pelacak, jari-jari Arato bekerja seperti GPS remote yang dapat memanggil bagian dari Apinya sendiri.

Topeng Oni itu berada di beberapa puing-puing bangunan Ichiraku Ramen.

Seketika itu pun,

Topeng itu terbakar, lalu melayang ke arah pemiliknya. Mengejutkan beberapa penduduk yang mencoba untuk menyelamatkan diri dari tengah-tengah reruntuhan bangunan. "Apa-apaan itu!!" Seorang Shinobi desa terkejut dengan pemandangan yang aneh itu.

Arato masih menunggu Topeng miliknya. Topeng itu bukan hanya sebagai tanda profesinya, tetapi juga salah satu bagian dari baju zirah miliknya. Dia tidak dapat kehilangan Topeng itu sekarang, atau dia tidak dapat mengeksekusi taktiknya.

BBBBRRRRRRR!!

Topeng Oni melayang ke arah tangan Arato, dan dia menangkapnya. Anak laki-laki itu memegang Topeng Oni, lalu dipakainya seakan-akan itu adalah hal yang normal. "Oke-oke sekarang tinggal melangkah maju." Gumam Arato, mencoba

untuk memotivasi dirinya. Anak laki-laki itu mengumpulkan keberanian. Dia berjalan ke tempat di mana, Sumire, Shikadai, dan Otsuna berada. Mereka bertiga, terlihat serius. Dan kelihatannya masih, berjaga-jaga. Pikir Arato saat dia semakin

mendekati mereka.

"Yo-yo-yo Whassup!" Arato memanggil mereka bertiga. "Uh!?" Shikadai bingung untuk merespon. "Ha-hai." Sumire menyapa Arato. Lalu, Wanita itu menunduk kepada Shikadai, "Shikadai-kun Anak itu jangan-jangan." Sumire berbisik. "Ya.

Mungkin." Kata Shikadai.

"Tsu-!" Otsuna terkejut.

Sebelum Gadis pucat itu dapat menyelesaikan kata-katanya, Arato memberi tanda,

Stop.

"Oke-oke aku tadi mendengar beberapa percakapan di kantor kepolisian. Kata Arato. Dia menjelaskan situasinya, yah yang tadi dia sadap, Yamato berkomentar. Mereka berdua sebelumnya memakai,

Hitomi Tomoe.

Benda yang lebih pendek 5cm dari pada Jarum ungu milik Arato. Peralatan Ninja yang dia gunakan sebagai alat multi tasking yang sangat berguna. Saking bergunanya, alat itu dapat digunakan sebagai pengganti Kunai.

Tapi kembali lagi-.

"Kira-kira seperti itu yang kudengar." Arato telah selesai menjelaskan situasinya. Dan, Shikadai cukup terkesan dengan hasil informasi yang dia dengar. "Itu kedengarannya ... yah, cukup akurat." Kata Shikadai. "Baik." Balas Arato. "Tapi..." Shikadai menahan kata-katanya. "Baiklah, kami di sini mungkin membutuhkan keahlian Anbu-." Shikadai menoleh. "Uhum." Arato mengangguk setuju sebelum Shikadai dapat menyelesaikan kata-katanya. Arato memberi tanda kepada Otsuna, tenang saja aku dapat mengatasi ini. Seperti itu.

"..."

Otsuna tidak melihat tanda itu, namun hanya diam mendengar pembicaraan keduanya. Sumire tadinya cukup terkejut dengan Anak laki-laki bersweter putih dengan Topeng Oni pada wajahnya. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan

Anak itu, begitu pula Shikadai Nara. "Jadi siapa namamu?" Shikadai bertanya kepada Arato. "Aku, yah. Aku Oni

Putih." Arato membalas dengan santai. Mencoba untuk mengendalikan situasi yang sebenarnya, membuatnya hampir ngompol di tengah-tengah tempat itu. "Oh ... begitu ya." Balas Shikadai. Dia tidak ingin membuat situasi yang, merepotkan bisa jadi lebih merepotkan kalau aku bertanya lebih dalam. Pikir Shikadai. Dia menahan dirinya, dan bertindak, biasa-biasa saja.

Arato menoleh ke sebelah kanan.

Melirik sesuatu yang membuatnya cukup terheran-heran, "Apa itu Wanita gila yang tadi?" Yamato muncul, menunjuk sebuah bongkahan Es di sekitar tempat itu. Tampaknya, Otsuna membekukannya. Balas Arato. Lebih baik kau berjaga-jaga patner, Balas Yamato. "Roger." Arato mengangguk. Dia melihat Kirana yang membeku di tengah bongkahan Es itu seperti mahkluk prasejarah di dalam museum. Anak itu mendekat di samping Otsuna, lalu berbisik. "Tenang saja." Arato mengedipkan mata. Hal itu tampak konyol dengan Topeng Oni yang dia pakai. Hal itu tidak selaras, membuat Gadis pucat itu sedikit terhibur, dan tersenyum.

Tetapi, senyuman itu tidak berlangsung lama.

"Itu apa!?" Shikadai dengan tampang yang serius melihat ke atas mereka. Keempat orang itu berada di tengah-tengah desa Di Balik Daun, sedang memulihkan tenaga dan Cakra selagi bisa. "Raja." Sumire menggumam. "Ya." Shikadai mengangguk. "Jadi itu yang dibicarakan Rahma sebelumnya." Lanjutnya.

Arato dan Otsuna melihat seseorang yang turun perlahan-lahan dari atas langit yang gelap di atas mereka, "Sial." Gumam Arato. Dia tahu hal yang merepotkan akan segera terjadi, dan tampaknya tidak ada pilihan selain bertarung. Pikir Arato. Cepat atau lambat, setelah pertemuannya dengan Kirana. Firasatnya berbisik kalau yang lebih buruk akan segera datang. Di sisi kanannya, Otsuna tampak sangat ketakutan setengah mati. Kulitnya semakin berkeringat, hanya dengan melihatnya saja Arato dapat mengedentifikasi fobia Gadis itu.

Di saat yang semakin lama, semakin menegang, begitu pula dengan strategi mereka. Shikadai memberitahu rekan-

rekannya kalau musuh telah memasuki desa. Hal itu membuat beberapa Shinobi desa Di Balik Daun dengan segera membuat peringatan kepada seluruh penduduk desa.

Mereka dalam situasi siaga darurat,

Para Shinobi desa berusaha untuk menolong penduduk ke sebuah pengungsian. Bunyi sirene memecah di seluruh penjuru tempat itu, hal itu sungguh menakutkan. Tangisan anak-anak dapat Arato dengari. Anak laki-laki itu sedikit ragu dengan kemampuannya. Satu kesalahan saja dan semuanya, game over. Kata Yamato. Dia tahu tentang apa yang dia katakan. Apa yang sedang turun dari atas sana juga sudah menandakan bahaya yang nyata menurut Yamato. "Tidak ada pilihan, selain kau memakai Kesepuluh Tarian." Yamato menoleh kepada Arato.

Dari ucapannya, ya. Aku tahu maksudmu. Balas Arato. Anak itu sedang dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Tapi dia tidak dapat mengeluh tentang keadaannya, dan hanya mengikuti apa yang terjadi. Otaknya sedang berputar kencang, namun solusinya dapat kacau kapan saja. Strategi apa-pun, akan dia

pakai. "Otsuna. Tenang saja..." Kata Arato kepada Otsuna. Membuat Gadis itu menoleh kepadanya,

Dia melihat seorang Anak laki-laki yang berpura-pura kuat di depannya. Aku berharap tidak mati di tempat ini. Arato menggigit rahangnya, mencoba untuk menghilangkan rasa takut yang bergejolak di dalam dirinya. Yamato hanya bertaruh kepada keberuntungan. Dia seperti penjudi yang memasukan seluruh koin, dan berharap akan jackpot yang bahkan sepenuhnya akan meleset.