Chapter 5 - Tersesat

Matahari tampak sudah condong ke barat. Namun sudah beberapa waktu lalu Raga beserta regunya tak menemukan petunjuk selanjutnya. Dengan kata lain mereka tersesat di tengah hutan. Semua orang sudah mulai gelisah tapi tidak dengan Raga dan Airiya.

"Semalam Aku gak sengaja melukai lengan kanan Mada, Aku ingin memeriksanya tapi gak bisa," bisik Raga pada Airiya di sebelahnya sambil menatap Mada di barisan depan dengan cemas.

"Lagi?!" desis gadis itu mendelik tajam, Raga pun langsung menciut dan merasa bersalah. "Kurasa tanganmu harus dipotong, sialan." "Apakah ia berhasil mendapat ingatannya kembali?" tambah Airiya penasaran.

Raga pun menggeleng putus asa, "Lihatlah sekarang, bahkan sepertinya ia menganggap kejadian semalam hanya mimpi, apalagi separuh jiwa Kita masih belum bangkit itu artinya Mada pun belum kembali."

Tanpa sepatah kata gadis berambut platinum itu pun berjalan mendekati Mada di barisan depan meninggalkan Raga. "Hei Airiya! Kamu mau apa hah?" panggil remaja itu setengah berbisik panik.

Gadis itu sedikit berlari kecil menyusul Mada lalu dengan sengaja memegang lengan kanannya yang Raga bilang terluka. Pemuda itu pun menoleh dengan muka cemasnya membuat gadis itu heran karena ia tampaknya baik-baik saja.

"Oh Airiya? Sepertinya Kita melalui jalur yang salah," ujar Mada memperlambat langkahnya. Melihat teman-temannya sudah kelelahan dan kebingungan, Mada pun mengajak Raga untuk mengistirahatkan regu karena langit akan semakin gelap. Dalam kesempatan itu Raga pun menyetujuinya dan mengarahkan mereka ke suatu tempat untuk beristirahat. Hingga akhirnya salah satu dari mereka menemukan beberapa patung hewan yang aneh.

"Wah apa ini, kenapa bisa ada patung di sini? Padahal letaknya kan jauh dari pemukiman penduduk," ujar seorang dari regu yang menemukan jajaran patung hewan dibalik semak-semak. Semua orang pun mendekat dengan dihinggapi rasa penasaran, tak terkecuali Mada. Pemuda itu terkejut bukan main, patung-patung itu sangat mirip dengan patung-patung yang muncul dalam mimpinya, mulai dari bentuk, ukuran, dan formasi patung, semuanya sangat mirip. Mada pun mulai mengucurkan keringat dingin.

"Jika dilihat, patung-patung ini seperti makhluk mitologi bukan? Jangan-jangan ini tempat persembahan sekte!"

"Tunggu, kemarin Kita melewati patung-patung ini bukan? Berarti di sekitar sini pasti ada jalan raya," tepis salah seorang anggota regu lainnya dengan antusias. Semua orang pun saling pandang keheranan.

"Tapi kemarin bus Kita gak melewati patung apa pun, Aku yakin itu," elak salah satu dari mereka yang disetujui semua selain anggota tersebut, dan membuat Raga serta Airiya tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

Ketika semuanya tengah sibuk berdebat dengan anggota tersebut, perhatian Mada sepenuhnya tertuju pada patung naga dengan posisi seakan tunduk pada tuannya itu, Mada seperti tersihir oleh patung misterius itu. Pemuda itu pun berdiri tepat di hadapan patung tersebut, posisi kepala naga itu sejajar dengan kepalanya, membuat Mada tak kesulitan menggapainya. Remaja bermata amber itu mengangkat tangannya tanpa sadar, menyentuh kepala patung naga, saat itulah sebuah gambaran peristiwa-peristiwa aneh berkelabat dalam kepalanya, seperti potongan-potongan film yang diputar secara acak, seperti de javu. De javu itu muncul dimulai ketika ia seperti melihat orang lain berdiri di hadapan patung itu; mengangkat tangannya; dan menyentuh kepala patung itu seperti apa yang ia lakukan sekarang. Semuanya seperti de javu yang sangat misterius, seakan ia pernah melakukannya di masa lalu.

Raga dan Airiya menyadari gerak-gerik aneh Mada dan mereka hanya diam mengawasinya. Mereka tampak begitu menantikan sesuatu. Sayangnya ketika Mada mulai menutup mata, tiba-tiba Sitta mengguncang lengannya. Raga dan Airiya pun membuang nafas kecewa.

"Mada, Bima mendengar aliran sungai di sekitar sini, ayo bergegas sebelum langit gelap," tepis Sitta membuyarkan lamunan mata tertutup Mada.

"Oh..., yeah..., a-ayo pergi," sahut Mada linglung. Sebelum meninggalkan patung itu Mada kembali menoleh menatap mata patung naga tersebut. Begitu ia mengalihkan wajahnya, tiba-tiba mata patung itu terbuka dan memancarkan cahaya putih.

.

Akhirnya kumpulan remaja itu memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon besar di tepi sungai. Mada kembali dari sungai dengan menenteng beberapa botol yang sudah ia isi dengan air, dan saat itu ia menggulung lengan jaketnya hingga memperlihatkan lengannya yang baik-baik saja. Namun bukan itu yang membuat Raga serta Airiya tercenung.

"Bukankah tanganmu terluka?!" sergah Arga seraya menyambar tangan kanan Mada dan membuka perban yang sudah lusuh. Raga dan Airiya pun terdiam tak percaya melihat tangan itu sudah mulus tanpa bekas luka. Mada pun tergagap tak bisa menjawab, ia pun menarik tangannya dan menyembunyikannya, hal itu membuat Raga dan Airiya makin bertanya-tanya.

.

Setelah membuatkan api unggun, Raga beranjak turun ke sungai dan menanggalkan pakaiannya di tepi sungai. Ia sudah gerah dan mencoba menghangatkan tubuhnya. Ketika ia sedang asyik berendam, tiba-tiba ia di kejutkan oleh suara seorang anak laki-laki yang sedang berkamuflase di bawah pohon di tepi sungai bersama macan kumbangnya.

"Airnya sangat dingin dan Kau berendam di sini malam-malam?" tegur anak laki-laki yang bertarung bersamanya kemarin malam, mata hijaunya yang menyala dalam gelap menatap Raga acuh tak acuh.

"Uwaa-ebh!" Raga terperanjat hingga tubuhnya ambruk dan masuk ke dalam air sungai yang cukup dalam.

Anak laki-laki bermanik mata emerald dan berambut ikal itu pun menghela nafas dan menarik Raga dengan akar-akar tumbuhan yang ia kendalikan, lalu menurunkannya di seberang sungai tempat Raga menanggalkan pakaiannya. Setelah itu Raga buru-buru memakai pakaiannya sembari bersungut tak jelas.

"Ada perlu apa Kau menemuiku, dasar penguntit! Mengganggu saja!" dengus Raga sambil mengancingkan celananya. Hening cukup lama hingga Raga menyadari sesuatu, ia pun menghentikan kegiatannya dan melihat seekor Harimau putih duduk di kegelapan di belakang anak laki-laki itu. "Tunggu, kenapa Motta bisa ada di sini? Bagaimana dengan Zaku?"

"Aku datang untuk memberitahukan beberapa hal. Seperti yang Kau lihat sekarang, ini pertanda jiwa sang Maha Akai telah bangun," ujar laki-laki itu serius, Raga pun terdiam dan berpikir itu artinya separuh jiwanya dan separuh jiwa Mada juga tengah berkeliaran. "Tapi Aku tak yakin apakah ingatannya juga sudah kembali, saat ini separuh jiwa Maha Akai dan para abdi lainnya tengah berkeliaran mencari pemiliknya. Yang Aku takuti adalah banyak orang biasa di sekitar Maha Akai, Aku takut jika jiwa-jiwa itu menyerang mereka karena mengira mereka adalah musuh, untuk sementara Aku akan membawa Motta," jelas anak laki-laki itu sambil mengelus punggung separuh jiwanya, yaitu macan kumbang di sebelahnya.

"Apakah malam ini sang Maha Akai akan kembali?"

"Aku tak yakin, kuharap Kau tak jauh-jauh dari Maha Akai dan abdi lain, Aku akan mencoba mengumpulkan para jiwa yang berkeliaran itu. Dan satu lagi, Aku bisa merasakan ada energi abdi lain di antara orang-orang itu, tapi kurasa ia tak tahu bahwa dia adalah salah satu abdi, mungkin... ia memiliki kemampuan penyembuhan atau penghancuran..., Aku tak begitu yakin."

"Bagaimana Aku bisa menemukannya?"

"Saat jiwa sang Maha Akai bangun, para abdi akan mendapat simbol mereka masing-masing–,"

"Raga," tiba-tiba muncul suara Mada dari arah belakang punggungnya, Raga pun menoleh secepat kilat karena terkejut. Dan ketika ia kembali menatap laki-laki bermata emerald tadi, dia sudah menghilang. "Apa yang Kamu lakukan di sini? Kamu sedang bicara dengan siapa?" serbu Mada penasaran.

Jika ia memberi tahu Mada yang sebenarnya, ia takut semuanya akan menjadi kacau. Mada terdiam sejenak sambil menatap punggung Raga dengan alis berkerut, "Ada sesuatu di punggungmu."

Raga terkejut dan baru ingat perkataan anak laki-laki tadi tentang simbol di tubuh para abdi. Raga pun berbalik dan memakai baju untuk menutupi simbol di punggungnya. "Gak ada, ini hanya kotoran, Aku hanya berendam sebentar, dan mungkin tadi Kamu salah dengar. Sebaiknya Kamu jangan jauh-jauh dari yang lain," tepisnya gugup seraya menarik Mada menuju kerumunan.***