"Bawa gadis itu hidup-hidup, " perintah pria itu dingin.
Sontak Mada langsung menarik Sitta merapat padanya dan menatap pria itu waspada. Entah sejak kapan pasukan pria itu sudah berada di belakang mereka, salah satu dari mereka yang berbadan besar pun mendekat dengan santainya. Sepersekian detik Mada kembali teringat kejadian aneh sebelum sampai di tempat ini. Karena panik Mada pun mendorong udara kosong berharap benar-benar ada keajaiban dari tangannya, dan tanpa disangka laki-laki berbadan besar itu pun terlempar jauh. "Lari!," sergah Mada sepintas menggandeng Sitta dan membawanya lari ke dalam hutan yang gelap—tanda-tanda hujan akan menyerbu. Mimpi buruk itu seperti berubah jadi kenyataan. Atau jika ini mimpi yang berulang, Mada ingin segera bangun ke dunia nyata.
Orang-orang menyeramkan itu pun mulai mengejar mereka. Ketika mereka merasa pasukan itu sudah tertinggal jauh, mereka menemukan sebuah pohon besar dengan akar berongga yang menciptakan ruang di bawah pohon tersebut. Mada pun buru-buru menyuruh Sitta masuk. Suasana sunyi berkabut dengan langit yang gelap membuat mereka semakin kalut.
"Bagaimana denganmu?" tepis Sitta terengah.
Mada tidak menjawab dan sibuk menutup lubang itu dengan tumbuhan merambat. Tak cukup dengan tumbuhan dia menghalangi lubang tersebut dengan batu pipih yang cukup lebar.
"Mada!" sergah Sitta sebelum remaja itu menutup jalan masuk dengan muka cemas, bukan karena cemas jika ia tidak bisa keluar, namun ia mencemaskan remaja itu.
"Lubang ini tidak muat untuk Kita berdua, jangan keluar atau bersuara apa pun yang terjadi, jika situasi sudah aman Aku akan kembali ke sini, mengerti?"
Sitta pun mengangguk dengan ragu. Setelah itu Mada pun menutup lubang tersebut.
Belum jauh Mada masuk ke dalam kabut tiba-tiba tubuhnya terpelanting kembali menghantam pohon tempat Sitta bersembunyi lalu jatuh ke tanah. Karena syok nafasnya sempat tersendat sampai sesak dan batuk-batuk, tangannya langsung menghantam akar-akar di belakangnya tempat Sitta bersembunyi untuk memperingati gadis itu agar tidak bersuara. Gadis itu pun membungkam mulutnya agar suaranya tidak bocor. Samar seekor Badak bertaring muncul dari kabut dan 4 sosok hewan yang berbeda juga mendarat dengan mulus. Di antara hewan-hewan berukuran besar itu, seekor Naga Perak beserta laki-laki yang menungganginya terlihat paling menonjol.
Mada pun bangkit sambil memegangi dadanya yang sesak. Seorang laki-laki berambut gondrong berwajah beringas turun dari Badak bertaring yang tadi menghantam Mada.
"Lihat apa yang Kita temukan hari ini? Kita kesulitan berburu, tapi si Maha Akai justru menampakkan diri dengan sendirinya?" tepis laki-laki gondrong itu dengan senyuman bengis.
Seorang laki-laki lain berambut kemerahan ikut turun dari punggung seekor burung berkepala anjing, memiliki 2 pasang sayap, dan dua pasang cakar singa.
"Bukankah ini Maha Akai paling dewasa yang pernah Kita temukan?" gumam si Rambut kemerahan dengan tatapan penuh minat.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki yang terlihat sebaya dengan Mada dan paling energik dari yang lain meloncat dari punggung seekor Griffin dengan lincah.
"Bukankah Maha Akai sekarang semakin pandai bersembunyi, dia pantas mendapatkan hadiah istimewa."
Mada menatap setiap wajah mereka satu persatu, begitu pandangannya berhenti pada laki-laki penunggang Naga ia tercenung, ia baru menyadari bahwa ia mengenali wajah itu sekarang, sedangkan laki-laki itu hanya menatap datar ke arah Mada dengan wajah dinginnya.
"Bermainlah, Aku sudah tak berminat," sahut yang seluruh tubuhnya putih seputih salju dengan ogah-ogahan sembari bermalasan di atas punggung burung hantu raksasa yang juga seputih salju.
"Kau memang yang selalu membosankan, Aron," ujar si Gondrong seraya berjalan mendekati Mada dengan gumpalan logam yang bergerak di ujung tangannya yang menjuntai, perlahan logam itu meruncing membentuk parang tajam.
"Tibra!" Panggil pria penunggang Naga dengan suara rendahnya yang dalam. Laki-laki yang dipanggil Tibra itu pun sempat berhenti dan menoleh ke arah Tuannya. "...Jangan terburu-buru," titah si Penunggang Naga dengan nada datar.
Seketika parang yang semula sudah terbentuk berubah menjadi knuckle.
..........
Di tempat lain Raga, Airiya, dan para pengungsi menunggu Mada dan Sitta dengan harap-harap cemas. Pembantaian yang marak dilakukan Kaum Dosebteus selama berabad-abad dan telah terjadi di desa asal mereka membuat mereka trauma, apalagi keberadaan Maha Akai selama periode ini belum berhasil mereka temukan membuat perburuan dan pembantaian yang mereka lakukan makin gencar.
Sementara menunggu Kutai yang terlihat bermeditasi di antara lumut dan rumput yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya, Airiya terus menggigiti kuku jarinya sembari menatap ke arah hutan, Raga merenung sambil mengetukkan sebelah kakinya dengan gelisah. Selain mereka ada lagi seorang anak laki-laki yang terlihat seperti om-om karena perawakannya yang tinggi besar berotot, dan seorang perempuan lain berkulit eksotis yang juga tampak cemas.
Di luar hujan deras dan langit sangat gelap. Tak tahan, Raga pun bangkit dari tempat duduknya dan beranjak keluar. Namun tiba-tiba beberapa pohon bambu tumbuh rapat di depan pintu sebelum ia melewatinya.
"Tidak ada yang boleh pergi mencari Yang Mulia Maha Akai, itu sama saja dengan melanggar ucapan dewa," gumam Kutai masih menutup matanya dengan tenang.
"Lalu apa Kita harus tetap menunggu dengan duduk manis di sini?" tepis Raga sarkastis.
"..." Kutai tidak menjawab dan terus fokus mencari keberadaan Mada dengan menyebar komunikasi pada tumbuhan di seluruh hutan. 3 orang lain di sana termasuk Airiya pun merasa keberatan dengan ucapan Kutai namun mereka juga tidak berani melawan.
"Inilah mengapa para Maha Akai terdahulu tidak ada yang selamat sebelum mereka dewasa." Ketus Raga seraya menendangi bambu yang menutup pintu keluar-masuk itu.
"Raga tenanglah," tepis Airiya kalut.
"Berhentilah, sialan!" seru Eartha yang selalu sentimen pada Raga sejak dulu.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari luar, suara heboh para penduduk dan seekor hewan yang terdengar tidak asing, lalu sahutan-sahutan kalut para separuh jiwa. Ke 5 remaja di dalam ruangan itu pun terpaku sesaat sampai mereka pun segera menghambur keluar dan mendapati seekor Naga Putih tanpa tuanya tengah melenguh dengan gelisah. Hal itu menandakan bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi. Begitu Naga tersebut melihat Kutai, ia segera menghampiri pemuda itu dan menarik tubuh pemuda itu dengan moncongnya, sesekali menarik pemuda itu dengan menggigit jubahnya.
..........
Beberapa waktu sebelumnya...
Suara debam keras di tanah terus berulang di barengi dengan tubuh Mada yang terhempas ke tanah, mungkin saja beberapa tulangnya sudah patah. Kini kaos dan jaket Mada sudah tidak berbentuk, lusuh, robek di sana sini dan terbakar. Wajah dan tubuh pemuda itu dihiasi luka, memar, dan juga luka bakar, tenaganya sudah habis namun mereka masih tidak berhenti menghajarnya.
"Aku tahu Kau sedang bersembunyi, jika tidak ingin temanmu mati keluar sekarang dan ikut Kami dengan tenang!" ujar sang Penunggang Naga yang lebih dikenal sebagai Pangeran Rama, Pemimpin Bangsa Dosebteus yang berdarah dingin.
Sitta pun tertegun diserang kebimbangan. Ia menggigit bibirnya dengan kalut, ia berniat menampakkan diri ketika tiba-tiba suara Mada menggema di dalam kepalanya.
"Jangan keluar..., tunggu sedikit lagi...," batin Mada berharap Sitta mendengarnya, dan Sitta benar-benar mendengarnya, ia bisa melihat apa yang terjadi dari celah-celah akar, mati-matian ia menahan tangisnya. Sampai tiba-tiba ia menyaksikan leher seniornya itu terjerat rantai dan melayang di udara, pemuda itu meronta sambil memegangi rantai di lehernya.
Rama menyaksikan kejadian itu dengan tenang, dan Mada terus menatap wajah dingin itu dengan tenggorokan tercekat, ia ingin mengatakan sesuatu namun tentu saja ia tidak bisa. "Kakak..." Ujar Mada dalam hati sembari menatap Rama tidak berdaya. Pria itu masih bergeming mungkin tidak mendengar telepati Mada. Ia tetap menunggu Sitta keluar dari tempat persembunyiannya dengan raut wajah yang tidak berubah.
"Yang Mulia, Kita selesaikan saja sekarang," gumam Tibra bersamaan dengan itu rantai logam di leher Mada melesat ke tangannya, otomatis Mada pun jatuh ke tanah, dengan cepat rantai tersebut berubah menjadi pedang besar yang melayang di udara.
Melihat itu Sitta pun panik, tidak mau menunggu lama lagi dia bergegas keluar, mendorong batu yang menutup lubang sekuat tenaga. Di saat itu Mada beringsut duduk bersandar pada pohon dengan pasrah ketika pedang besar itu melesat ke arahnya. Tibra sudah tersenyum jahat melihat Mada sudah di ambang maut, namun senyumnya pudar ketika pedang itu tidak berkutik tepat di depan dada Mada.
"Apa Aku menyuruhmu membunuhnya?" ucap Rama dengan aura dingin mencekam. Suara dingin itu berhasil membuat Tibra mematung ketakutan bahkan tidak berani menoleh.
Sitta berhasil mendorong batu yang menghalanginya dan keluar dari persembunyian. Dengan wajah sembap dan penuh air mata ia berlutut memohon-mohon di hadapan Naga yang ditunggangi Rama.
"Yang Mulia! Ku mohon ampuni Kami! Kumohon! Hiks hiks," sergah gadis itu panik sambil bersujud-sujud. Begitu melihat wajah gadis itu, entah mengapa raut wajah Rama sedikit berubah, tatapannya berbeda, tidak bisa ditafsirkan. "Kumohon bawa temanku juga bersamamu, Aku akan ikut denganmu," pinta Sitta tersedu-sedu.
"Kenapa Aku harus membawanya juga?" tanya Rama kembali beraura dingin.
Sementara itu dengan sisa-sisa tenaganya Mada berusaha bangkit menghampiri Sitta, dengan suara ter menyuruh Sitta lari.
"Aku tidak bisa berpisah dengannya! Huhuhu," isak Sitta pedih, namun melihat wajah Rama yang tampak tidak suka Sitta buru-buru mengubah ucapannya. "Setidaknya biarkan dia hidup! Kumohon...jangan bunuh dia...hiks, beri Aku sedikit kesempatan untuk bicara dengannya...,"
Rahang Rama mengeras, secepat kilat tangannya terulur ke arah anak panah dan busur yang tergantung di tubuh burung berkepala anjing, secara ajaib busur serta anak panah itu melesat ke dalam genggamannya, dalam kedipan mata pria itu melepaskan bidikan panahnya ke arah Mada dan langsung menancap di dadanya. Pemuda itu pun terhenyak dengan nafas tersendat lalu memuntahkan cairan pekat.
"Mada!!!" pekik Sitta histeris seraya berlari menghampiri seniornya yang terkapar sekarat.
Rama beranjak turun dari Naganya, ia mendekati Sitta dengan langkah lebar dan aura mencekam, pandangannya lurus menatap Sitta dengan berang.
Mada berusaha mengucapkan sesuatu dengan susah payah sambil menatap pria itu, namun lidahnya seakan keluh, suaranya tercekat di tenggorokan, rasa sakit yang luar biasa seakan merenggut semua energinya bahkan mungkin bisa merenggut jiwanya.
Sitta pun menghampirinya dengan tangis pecah dan tubuh bergetar hebat. Cairan pekat mulai mengucur dari luka yang masih tersumbat anak panah. Sitta berniat mencabut anak panah itu ketika tiba-tiba Rama sudah berada di sampingnya dan menggelandangnya. Gadis itu berusaha memberontak, tangannya tak ingin melepas cengkeramannya pada bahu Mada, namun apa daya Sitta jelas kalah tenaga.
"Tinggalkan anak lemah itu, Aku yang akan menjagamu mulai sekarang," gumam Rama.
Tubuh Mada pun sampai ikut terseret beberapa kaki hingga akhirnya cengkeramannya terlepas. Mada sendiri sudah tak punya tenaga sama sekali untuk mempertahankan Sitta. Hal terakhir yang ia lihat hanyalah tetesan air yang semakin membesar dalam jumlah banyak dengan gemuruh keras, serta Sitta yang diseret menjauhinya. Teriakan Sitta yang memanggil namanya terus berdenging di daun telinganya, semakin menjauh terus menjauh dan hilang, namun ia tak mampu berbuat apa-apa.
Mada kesulitan bernafas dengan paru-paru yang semakin sesak dan berat, belum lagi rasa sakit yang menjalari seluruh bagian tubuhnya, ia rasa inilah akhir hayatnya. Dalam hati ia ingin mengejar Sitta namun untuk menggerakkan jarinya saja ia seakan tak mampu. Hujan turun semakin deras, mengguyur tubuhnya yang terkapar di tanah. Pandangannya mulai sedikit redup.
Sebelum mata Mada tertutup, pemuda itu sempat melihat moncong kuda berwarna putih mengendus wajahnya dan mendorong bahunya, Mada pun merintih lemah. Hewan tersebut pun melenguh sedih ke langit. Lenguhan itu terdengar menakutkan bagi Mada, ia pikir ia akan dimangsa. Remaja itu pun berusaha membuka mata lebih lebar, ternyata yang ia lihat bukanlah kuda, melainkan naga putih yang ia temui sebelumnya, setidaknya sekarang ia tak sendirian ketika menemui ajalnya. Binatang tersebut tampak ingin membawanya dengan mulut atau cakarnya, namun melihat Mada mengernyit dan merintih setiap ia menyentuhnya, binatang itu tampak tak berani. Akhirnya ia terbang meninggalkan Mada, begitu naga itu pergi Mada pun merasa putus asa dan kesepian menahan rasa sakitnya, perlahan ia menutup matanya yang berat.
****************