Kedua pemuda itu berjalan bersama menyusul rombongan mereka dengan rasa curiga satu sama lain. Mada yakin barusan Raga tengah berbincang dengan seseorang yang ia duga telah bertarung semalam bersama Raga dan ia makin curiga bahwa sebenarnya kejadian malam lalu bukanlah mimpi atau halusinasinya, melainkan kejadian nyata yang sulit dinalar.
Sementara itu remaja dengan tubuh berotot di belakang Mada tengah berpikir keras mencari tahu siapa seorang abdi yang berada di antara mereka, apakah abdi tersebut kawan atau lawan karena Kutai mengatakan abdi tersebut kemungkinan memiliki kemampuan penyembuhan atau penghancuran. Seketika Raga termenung menyadari sesuatu yang mungkin berhubungan dengan abdi yang dimaksud Kutai. Ia pun memanggil Mada, adik kelasnya itu menoleh dan ikut menghentikan langkahnya.
"Adakah orang yang Kamu temui pagi ini secara terpisah?" tanya Raga tiba-tiba.
"Kenapa Kamu menanyakan itu?" Mada balas bertanya dengan heran.
"Luka di tangan dan lenganmu tiba-tiba hilang, bukankah itu aneh-."
"Luka di lenganku?" sela Mada terhenyak dan bergidik hingga ia refleks mundur dengan wajah syok, apakah mimpi semalam nyata adanya? Bagaimana bisa Raga tahu ada luka di lengannya, bahkan Mada meyakinkan dirinya bahwa luka itu ia dapat hanya dalam mimpi aneh yang ia alami semalam, siapakah Raga sebenarnya, bagaimana ia bisa mengeluarkan api secara misterius. Hal itu membuat Mada teringat juga dengan mimpi mengerikkan semalam sebelum ia berangkat camping, ia takut bahwa mimpi-mimpi itu saling berhubungan dan akan terjadi di masa mendatang.
Mulut Raga pun langsung terbungkam dengan sendirinya setelah tidak sengaja mengatakan hal itu.
"Apakah kejadian semalam bukan mimpi? Apakah yang di tenda pagi ini juga nyata?!" Mada pun makin melangkah mundur tertatih.
Dalam hati Raga mengutuki dirinya sendiri, mengapa ia bisa seceroboh ini. Ia bingung bagaimana harus berdalih dan menenangkannya, Raga mencoba mendekatinya, "Mada-, dengarkan Aku..., bukan itu maksudku."
Sontak Mada pun mundur dengan waspada, "Siapa Kamu sebenarnya? Diam di sana dan jangan ikuti Kami!" seru Mada ketakutan lalu berlari meninggalkan Raga.
Mada mendesak teman-temannya untuk segera berkemas dan meninggalkan tempat itu bagaimana pun caranya. Semua orang pun ikut panik dan kebingungan termasuk Airiya yang berusaha menenangkannya.
"Tenanglah, Mada! Kenapa Kamu seperti ini?" tepis Airiya cemas.
"Airiya!" Sebuah suara mengalihkan perhatian semua orang.
Melihat Raga sudah berdiri di hadapan mereka, Mada pun langsung menarik Airiya ke belakang punggungnya dengan waspada.
"Apa Kamu bisa mendengarku?"
Spontan Airiya pun menutup mulutnya dengan mata membelalak, terlihat jelas mulut Raga tertutup rapat namun Airiya bisa mendengar suaranya. Gadis berambut platinum itu pun menoleh ke arah Mada dan menarik bahunya untuk melihat lehernya. Semakin terkejut lagi ketika ia melihat bercak hitam berpola muncul di leher pemuda itu.
"Airiya, dia bukan Raga jangan percaya padanya. Selain itu ada yang gak beres dengan tempat ini, Kita harus segera pergi dari sini!" sergah Mada panik.
"Airiya, jiwa sang Maha Akai telah kembali, tapi entah mengapa Maha Akai masih tidak ingat apa-apa. Kutai bilang ada satu abdi lagi di antara orang-orang, Kita harus menemukan abdi itu, dan Kita harus bersiaga karena portal Artenia benar-benar tidak stabil. Sejauh ini Kita beruntung karena Kutai berhasil menghalau penyeberangan dari Artenia."
Tanpa mengirahkan racauan Mada, Airiya pun memerintahkan teman-temannya untuk tetap tenang dan singgah di sana.
"Mada tenangkan dirimu, Kamu mungkin salah paham, Aku bahkan gak mengerti apa yang Kamu bicarakan," sergah Raga pura-pura tak mengerti.
"Mada jelaskan pada Kami apa yang sebenarnya terjadi, kendalikan dirimu," pinta Airiya hati-hati.
Mada pun hanya bisa terdiam, ia tak berani menceritakan apa yang ia alami dan ia bingung bagaimana cara meyakinkan semua orang ketika ceritanya hanya akan terdengar seperti bualan semata. Tak lama kemudian keadaan pun kembali kondusif, semua orang menikmati makan malam apa adanya dan meminum minuman hangat. Setelah terjadi kegaduhan tadi Mada tak melepaskan perhatiannya pada Raga
"Kira-kira apa kemampuan yang dimiliki abdi tersebut," ucap Airiya melalui telepatinya dengan Raga.
"Menurut Kutai abdi tersebut memiliki kemampuan penyembuhan atau penghancuran. Setelah kuingat lengan dan tangan Maha Akai tiba-tiba sembuh dalam semalam," bisik Raga tanpa menatap Airiya, matanya sibuk mengawasi anggota regu dengan tatapan tajam.
"Bukankah sudah jelas itu kemampuan penyembuhan berarti dia adalah kawan, mengapa Kutai bisa ragu?" balas Airiya masih sibuk meneliti setiap orang dari tempat duduknya.
"Entahlah Aku akan mencoba memeriksa setiap anggota, Kamu dekati Maha Akai," Raga bangkit dari tempat duduknya berpura-pura melihat keadaan sekitar namun diam-diam mencari tanda-tanda aneh di antara anggotanya.
"Senior, Kamu sedang apa di sana? duduklah Kamu pasti lelah," ujar Sitta sambil membagikan minuman hangat pada seluruh anggota, hingga berhasil membuyarkan konsentrasi Raga.
"Ah, iya," sahutnya beringsut duduk dan memikirkan sesuatu, kemudian ia mendapat ide untuk mengirimkan telepati secara acak ke semua orang di sana. Raga mengirimkan pesan telepati pada orang-orang di sana secara acak hingga seseorang dari anggota P3K tiba-tiba menoleh ke arah Raga "Kamu mengatakan sesuatu?" tanyanya ragu.
Raga yang masih tidak menyadarinya hanya mengatakan "Gak ada," dan kembali mengirimkan pesan telepati secara acak berharap abdi lain akan menerimanya. "Hei! kemarilah!"
"Apa Kamu memanggilku?" tanya seseorang yang sama kedua kalinya pada Raga.
"Bukan," jawab Raga tak menggubris hingga orang itu kembali sibuk pada pekerjaannya lagi, sampai akhirnya Raga pun tersadar dan terdiam, ia pun menoleh ke arah anggota P3K itu, ia pun mencoba mengirimkan pesan telepati lagi pada orang tersebut.
"...Sitta, boleh kuminta minumnya lagi?" panggilnya dalam hati dengan ragu.
Gadis supel itu pun menoleh, "Tentu," dengan tersenyum ramah sambil membungkuk menuangkan minuman hangat ke gelas Raga, mata Raga pun membulat. Tiba-tiba ia mencekal gadis tomboy itu hingga punggungnya menghantam pohon. Gadis bernama Sitta itu pun memekik terkejut.
"Ap-apa yang Kamu lakukan? Apa salahku..?" tepis Sitta dengan suara bergetar karena ketakutan, semua orang pun terkejut. Sementara Raga seperti orang yang sedang kesetanan menyingkap kerah jaket Sitta yang sedikit terbuka beserta kaosnya hingga memperlihatkan bahunya yang putih dengan sebuah simbol tersemat di sana. Sitta pun memberontak dan berteriak ketakutan.
"Aku menemukannya-!" seru Raga kegirangan.
Melihat itu Mada bangkit dengan langkah cepat menghampiri mereka, meninggalkan Airiya yang terperangah sambil menepuk jidat, "Dasar bodoh," gumamnya. Sebuah tinju pun mendarat di wajah Raga. Mada mencekal jaketnya dengan sorot mata murka, suasana semakin tegang, semua orang tidak berani melerai mereka.
"Apa yang Kamu lakukan, huh?!" geram Mada murka. Saat itulah kabut tebal mulai menyelimuti tempat itu, lagi-lagi Mada terpaku.
Sebelum semuanya tak terlihat, Sitta pun menarik Mada ke belakang punggungnya. Sementara Airiya langsung menghampiri mereka "Gak ada waktu untuk bertengkar, Kita harus segera memisahkan diri dari orang-orang," tukasnya buru-buru.
Raga pun menarik tangan Mada dan Sitta menjauh dari anggota regu lain, "Lepaskan tanganku?!" tukas Mada berusaha melepas tangannya, namun Raga mencengkeramnya dengan kuat dengan pikirannya yang masih berputar-putar.
"Tetaplah diam di belakang Airiya, tetaplah bersama Sitta dan jangan menjauh dari Kami," gumam Raga seakan tak peduli bahwa wajahnya habis kena pukul. Entah mengapa Mada langsung diam dan berhenti memberontak.
Saat itu memang Sitta yang mengobati luka Mada ketika insiden kemarin terjadi namun Raga dan Airiya sama sekali tidak menduga bahwa ia yang menyembuhkan luka-luka Mada tanpa bekas, dan gadis itulah satu-satunya anggota regu yang sempat menyadari terbukanya portal Artenia saat mereka dalam perjalanan menuju perkemahan.
Kabut yang semakin tebal berhasil menghipnotis Mada, membuatnya melupakan amarahnya. Beberapa saat, Mada tersadar, ia pun terkejut mendapati suasana ini begitu mirip dengan apa yang ia lihat dimimpinya. Mada pun disergap kepanikan. "Sitta! Airiya! Raga!" panggilnya kalap.
"Kami di sini, Tuan," sahut Airiya dan Raga waspada.
"Senior, jangan jauh-jauh dariku, situasinya berbahaya," ujar Sitta yang ternyata telah bersiaga walau setengah takut.
"Semuanya jangan berpencar! Saling gandeng teman di sebelah Kalian! Pastikan teman Kalian berada di samping Kalian!" seru Raga selaku ketua regu. Semua anggota pun saling merapat ketakutan karena tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Hingga beberapa saat kemudian, ada sebuah getaran di tanah, seperti langkah kaki raksasa yang tengah mendekat. Semua orang pun makin tegang. Tak lama kemudian muncul bayangan raksasa dengan mata biru menyala menatap tajam ke arah mereka.***