Ketika Calvin dan Ellice berada di danau buatan beberapa waktu lalu...
"Calvin pasti sedang berada di Black house. Eh itu ada Mariana juga," ucap Channing kala itu.
"Eh nona tunggu saya nona. Saya bisa panggilkan tuan Calvin. Beliau sedang menghukum seseorang di Black house nona. Lebih baik anda tidak ke sana dan melihat apa yang terjadi."
"Aku tak masalah Mario. Aku justru ingin tau bagaimana kehebatan Calvin ketika melakukan hal itu pada musuh-musuhnya."
"Tapi nona, tuan Calvin pasti tak akan suka melihat ini nona. Saya nanti yang akan di marahi nona."
"Mariana selalu saja seenaknya sendiri. Biar aku saja yang bicara dengannya." ucap Channing yang hendak mendekat pada keduanya.
"Kau kenapa sih Mario? Awas, aku ingin pergi ke Black house. Awas Mario awas. Eh, itu Calvin kan? Siapa yang dia peluk?" Langkah kaki Channing terhenti, sontak ia mencari ke mana Calvin berada.
Karena tertutup pohon, Channing tidak melihat dengan siapa Calvin di sana. Sehingga ia coba mendekat tanpa di ketahui oleh Mariana dan Mario.
Langkah demi langkah ia berjalan ke arah Calvin, hingga terlihat jika Calvin sedang memeluk seseorang... wanita. Sampailah ia tepat di belakang keduanya, hanya berjarak kurng lebih 5 meter dari tempat Calvin.
"Pakaian itu? Ellice?"
Bagai di sambar petir di siang bolong, Channing terkejut dengan apa yang di lihatnya. Dress berwarna tosca yang ia belikan pada seorang wanita bernama Ellice, yang tak lain adalah istrinya, kini wanita itu sedang memeluk adik kandungnya sendiri.
Saat itu juga Channing ambruk di dekat semak-semak. Duduk bersimpuh, memegang dadanya yang begitu sakit. Nyilu tak tertahankan ia rasakan ketika sebuah pengkhianatan ia lihat di depan mata.
Keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari pori-pori. Rasanya begitu sakit. Ingin ia langsung datang dan bertanya apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun samar-samar suara Mariana mulai terdengar. Dan membuat Channing untuk mengurungkan niatnya.
"Kalian berdua sedang apa? Kenapa berduaan di sini?"
Channing masih terdiam di posisinya, menahan sakit. Ia juga sama seperti Mariana, ingin tau sedang apa mereka berdua di sana. Sehingga Channing berusaha mati-matian menahan rasa sakit pada jantungnya.
Begitu pula rasa nyeri di ulu hatinya. kedua rasa sakit itu menyerang bersamaan dalam waktu sekejap.
"Mariana?"
"Maaf nona. Tapi lebih baik anda kembali ke rumah. Saya akan mengantarkan anda ke sana nona."
"Pergi dari hadapanku Mario. Cal, siapa wanita itu? Kenapa kau berpelukan di sini dengannya? Siapa dia?"
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau pergilah. Aku masih ada pekerjaan setelah ini."
"Siapa dia Cal? Kenapa kau memeluknya seperti itu? Apa dia pacarmu? Hei, siapa kau? Menolehlah. Aku ingin melihatmu. Kau siapa?" Terlihat jika Mariana begitu matah dengan Ellice. Ia bahkan menarik-narik pakaian Ellice.
"Dia temanku. Dan kau lebih baik kembali ke rumah. Lagi pula apa yang sedang kau lakukan di sini? Sekarang masih jam kerja. Aku juga masih banyak pekerjaan yang harus aku urus setelah ini. Kembalilah atau kau lebih baik pulang saja dari sini. Mario bawa Mariana."
"Baik tuan."
"Aku hanya merindukanmu Cal. Tapi siapa dia? Apa aku mengenalnya? Kau kan tau dengan jelas, kalau aku menyukaimu?"
"Ini bukan urusanmu. Dan tak ada hubungannya kau menyukaiku atau tidak. Kau juga jangan berharap lebih padaku. Saranku, kau carilah laki-laki yang juga mencintaimu."
"Mari nona. Saya akan antarkan nona. Atau tuan Calvin akan lebih marah dari ini pada anda. Lebih baik anda menurut saja nona."
"Jangan sentuh aku. Aku bisa jalan sendiri." terlihat Mariana berontak ketika hendak di bawa Mario.
"Tenanglah Ellice. Semuanya akan baik-baik saja. Mariana tak akan lagi ke sini. Dia juga tak mengenalimu. Aku akan membantumu untuk masuk ke dalam rumah. Jangan menangis lagi. Ya?"
"Aku tak akan lagi membiarkanmu sendirian. Aku akan menanggung semua kesalahan yang aku torehkan padamu. Aku akan bertanggung jawab penuh atas kesalahanku itu."
"Ini juga salahku Cal. Karena aku sendiri juga.. aku—aku sadar, jika aku.. aku juga menyukaimu."
Bagai sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Nyilu yang masih terasa, kini kian menggerogoti. Nafasnya bahkan tersengal. Mendengar wanitanya menyatakan cinta pada adiknya sendiri, sakit berkali-kali lipat yang ia rasakan.
"Bisa aku mendengarnya sekali lagi? Sekali saja aku ingin melihatmu mengatakan itu tepat di depanku."
"Aku.. aku.. juga me-menyu-kaimu Calvin."
"Terima kasih Ellice, Kau tau aku juga sangat-sangat mencintaimu. Demi seluruh hidupku aku rela melakukan apapun untukmu. Aku mencintaimu Ellice. Sangat."
Setetes air mata akhirnya mengalir dari pelupuk mata. Pertahanannya runtuh juha. "Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Sejak kapan semua ini terjadi?"
Sakit. Sakit. Sakit hatinya. Kenapa baru ia sadari, jika ia terjebak dalam cinta segitiga? Antara dia, Ellice dan adiknya.
Karena tak sanggup mendengar percakapan keduanya lebih jauh lagi, Channing memilih pergi. Sekuat tenaga ia bangkit, dan berjalan tertatih memgarah ke rumah utama. Sesekali tubuhnya terhuyung, tapi langsung ia mencari pegangan.
Ia harua segera sampai kamarnya untuk meminum obatnya supaya bisa mengurangi rasa sakit pada jantungnya.
"Mereka saling menyukai? Channing, bagaimana kau tidak mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya? Aku yang berada di tengah-tengah mereka atau ..."
***
"Foto yang sama lagi? Apa niat mereka? Kenapa terus mengirimkan bukti-bukti kedekatan Calvin dengan Ellice terus padaku? Apa ini tujuan mereka untuk menghancurkan keluarga kami? Atau ingin membuatku mati?"
Surat yang di berikan Jimmy pagi ini padanya, adalah foto yang sama ketika tempo hari terjadi penyerangan di rumah. Foto di mana Calvin dan Ellice berada di rumah sakit.
Sejak kejadian Channing memergoki hubungan terlarang antar istri dan adiknya, sejak itu pula ia sering melihat keduanya terlihat bersama. Bahkan yang lebih sakit, ketika Ellice keluar dari kamar Calvin malam-malam, di mana ia sedang mencari sang istri, tetapi yang ada malah ia kembali merasakan sakit di hati.
Mulai saat itu, kesehatannya makin menurun. Beberapa kali Channing pergi ke rumah sakit. Bahkan, dosis obat untuknya semakin tinggi. Dan hal itu ia pendam sendiri.
Mengingat kesehatannya yang kian menurun, ia berpikir jika akan menyerahkan Ellice pada Calvin. Ia tahu ada alasan kuat yang membuat keduanya seperti itu di belakangnya.
Ia sangat kenal dengan sang adik. Lelaki yang sangat menyayanginya. Bahkan Calvin rela mati untuknya. Seperti dulu yang pernah terjadi. Akan tetapi, namanya hati yang terluka, tetap saja akan sakit.
"Aku percaya denganmu Cal. Aku akan percayakan Ellice padamu. Tapi untuk sekarang, ijinkan kakakmu menjaganya selama masih hidup."
Hati siapa yang tidak sakit ketika tahu cintanya di bagi. Apalagi ini adalah pasangan sah-nya sendiri? Sekuat-kuatnya Channing menahan, hatinya tetap ringsek hancur tiada ujung.
Ketika Channing larut dengan pikirannya, tetiba ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Ellice?"
"Sayang, boleh aku masuk?" tanya Ellice yang sudah menampakkan kepalanya di balik pintu. "Apa aku mengganggumu?" Siapa yang bisa marah melihat wanitanya yang seperti ini?
"Masuklah sayang, kemari. Ada apa mencariku? Hmm?"
"Aku hanya ingin melihatmu bekerja. Boleh?" Channing tentu saja mengangguk. Ia menepuk pahanya agar sang istri duduk di pangkuannya. Ellice tersenyum dan bergegas mendekat pada suaminya
"Tentu saja boleh sayang. Tapi tumben sekali, rindu sama suaminya ya?" goda Channing dan langsung memeluk sang istri yang hari ini manja padanya.
"Entahlah, aku hanya ingin melihatmu bekerja, sayang. Aku akan menemanimu di sini sampai kau selesai kerja, ya?" Channing tersenyum dan mengangguk padanya.
Tanpa sengaja Ellice melihat foto-foto dirinya masih ada pada sang suami. "Kenapa melihat foto ini?" tanya Ellice terbata. Ia mengumpulkan foto tersebut dan menyelipkan di laci kerja sang suami.
"Tidak apa-apa. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu ya? Setelah itu aku akan menemanimu seharian ini." Channing memberikan kecupan singkat pada bibir sang istri.
***
Akhirnya sampai malam, Channing baru menyelesaikan pekerjaannya. Dan sang istri yang menunggu, akhirnya tidur di sofa ruang kerjanya.
Tak kuasa membangunkan sang istri cantiknya ya tertidur, akhirnya Channing hanya mengamati Ellice dalam tidurnya.
"Sejak kapan semuanya terjadi sayang? Dengan tingkahmu yang masih manja begini, apa masih ada rasa cintamu padaku sayang?" Channing menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah cantik sang istri.
"Apa namaku masih ada di hatimu sayang?" tanyanya sendu. Hanya sedikit, ia berharap namanya masih ada di dalam hati sang istri.
Ia hanya bisa pasrah dengan keadaannya. Channing sadar, dirinya tak mampu memberikn nafkah batin ada sng istri. Dan hal itu mungkin saja salah satu pemicu semua ini di mulai.
Hingga tanpa sadar, dirinya kini telah tertidur dalam posisi duduk di lantai dengan kepala yang bersandar di sofa sang istri yang sedang tidur.
Di saat Channing larut dengan kisah cintanya dalm mimpi, tiba-tiba terdengar suara tembakan beruntun di rumahnya. "Ada apa lagi ini?"
Jangan lupa Follow IG Author ya @frayanzstar_official