"Permisi, Bu Nina, permisi."
Nina membuka pintu rumahnya saat mendengar suara panggilan di luar sana, Nina tersenyum bingung pada wanita di hadapannya saat ini.
"Bu Nina kan?"
"Iya, saya Nina, ada apa ya, Bu?"
"Saya Anita, Bu." ucapnya mengulurkan tangan.
Nina mengangguk dan menjabatnya sesaat, Nina baru melihat wanita itu sekarang, mungkin saja wanita itu adalah tetangga barunya.
"Kalau boleh tahu, ada apa ya?"
"Saya mau pesan masakan Ibu lagi."
"Pesan masakan?"
"Iya, saya suka sekali dengan masakan Bu Nina, enak."
Nina tersenyum dan mengangguk, syukurlah kalau memang suka, tapi kenapa Anita tahu soal masakan Nina padahal Nina tidak tahu siapa Anita.
"Bu Nina."
"Ya .... oh iya Bu, maaf maaf."
"Kenapa, Bu?"
"Oh enggak, enggak kok gak apa-apa, tapi maaf sebelumnya, Ibu tahu dari mana kalau saya buka pesanan masakan?"
"Dari anak saya, Gavin."
Nina mengernyit mendengar jawaban Annita, tentu saja Nina ingat dengan nama Gavin.
"Gavin, jadi Ibu ...."
"Iya, saya Mamahnya Gavin."
"Oh .... ya ampun, apa kabar Bu, sudah sehat sekarang?"
"Sehat Bu, alhamdulilah."
"Iya syukur, ya sudah mari masuk kita bicara di dalam ya."
Anita mengangguk dan mengikuti langkah Nina di depannya, keduanya duduk di ruang tengah bersamaan.
"Gavin waktu itu cerita kalau Mamahnya mau keluar dari rumah sakit, dan Gavin ingin siapkan makanan untuk menyambut Mamahnya."
Anita tersenyum dan mengangguk, itu memang benar dan Gavin benar-benar menyiapkan makanan itu.
"Oh iya Bu, memangnya kemarin Ibu sakit apa?"
"Demam berdarah Bu."
"Emmm pantas saja sampai masuk rumah sakit."
"Iya, saya sampai satu minggu disana."
"Ya sudah, yang penting sekarang Ibu sudah kembali sehat."
"Iya itu benar."
"Oh iya, sebentar saya bawakan minum dulu ya."
"Oh gak usah Bu, gak usah saya gak lama kok, saya cuma kasih pesanan saya saja nanti sore saya ambil kesini."
"Oh, boleh-boleh, kebetulan saya juga baru mau ke pasar."
Anita mengangguk, baguslah kalau begitu berarti Anita tidak terlambat datang pagi ini.
"Ini saya, mau pesan ini ya, Bu."
Anita memberikan catatannya, dan Nina menerimanya, untuk sesaat Nina terdiam membaca pesanan tersebut.
"Banyak ya, Bu."
"Iya, soalnya keluarga suami saya mau datang malam ini, mereka suka protes sama hasil masakan saya, katanya rasanya gak konsisten."
Nina tersenyum mendengarnya, memang bisa seperti itu kalau masak, perasaan Nina kalau masak rasanya selalu sama.
"Tapi bisa kan, Bu?" tanya Anita.
"Oh bisa, bisa Bu, mau diambil jam berapa memangnya?"
"Jam 6 saya ambil kesini ya."
"Jam 6 .... iya Bu, bisa."
"Terimakasih ya Bu, ini uangnya untuk belanja, sisanya nanti sekalian saya ambil masakan itu ya."
"Iya Bu, terimakasih."
Nina menerima uang tersebut, dan menyimpannya bersamaan dengan kertas catatannya juga.
"Kalau begitu saya langsung pamit saja ya."
"Eh, kenapa buru-buru, minum dulu saja."
"Gak usah, kan katanya Ibu mau ke pasar, takutnya keburu siang dan nanti bahan masakannya keburu habis."
Nina mengangguk, itu memang benar juga, dan sebaiknya memang Nina pergi dari sekarang, lagi pula pesanan Anita terlalu banyak.
"Ya sudah, saya pergi ya, Bu."
"Ya sudah Bu, makasih ya."
"Sama-sama."
Keduanya bangkit dan berjalan keluar, Nina harus mengantarkan Anita keluar untuk menjaga sopan santunnya.
"Ya sudah, permisi ya Bu."
"Iya, hati-hati ya."
Anita mengangguk dan berlalu meninggalkan Nina di sana, Anita harus selesaikan urusnnya sendiri sekarang.
Nina menghembuskan nafasnya sekaligus, senang sekali rasanya pagi-pagi seperti seperti saat ini Nina sudah mendapatkan banyak pesanan.
"Baiklah, aku harus belanja sekarang juga, agar bahan masakannya di pasar masih lengkap."
Nina mengangguk dan kembali memasuki rumahnya, Nina menyiapkan semua yang diperlukannya untuk belanja.
Nina harus gerak cepat, karena selain Anita sudah ada juga pesanan lainnya sejak kemarin sore.
----
Satu jam mata pelajaran telah berhasil dilewati Mikayla dan semua temannya yang lain, Mikayla melirik bunga-bunga itu dan berpaling lagi.
Sekarang Mikayla jadi kefikiran lagi tentang siapa yang mengirim itu semuanya, Mikayla tidak bisa menebaknya sama sekali.
Tingg .... Mikayla melirik saku bajunya, pesan masuk dan Mikayla langsung membuka pesan tersebut.
"Jam istirahat di halaman belakang sekolah, jangan telat." ucap Mikayla membacanya.
Mikayla melihat sekitar luar, sejauh pandangan matanya Mikayla mencari siapa yang ada di dekat kelasnya itu.
Tapi tidak ada siapa pun di sana, Mikayla tidak bisa tahu siapa yang mengirimnya pesan tersebut.
Mikayla berdecak dan menghentakan kakinya perlahan, menyebalkan sekali kenapa harus ada orang sok misterius seperti itu.
"Difikir aku bakalan suka apa dengan cara seperti ini, gak penting banget, pengecut."
Mikayla menyimpan ponselnya saat ada guru yang memasuki ruang kelasnya, Mikayla harus melupakan semua tentang hadiah dan pesan itu, sekarang Mikayla harus fokus pada pelajarannya saja agar Mikayla bisa jadi yang terbaik di sekolah, atau paling tidak di kelasnya saja.
"Silahkan buka bukunya dan siap-siap kerjakan soal yang akan Ibu berikan."
Mereka mengeluh kompak, dan memang paling menyebalkan saat baru masuk sudah mendengar kalimat seperti itu.
Mikayla tersenyum dan menggeleng, Mikayla memang turut mengeluh tapi itu hanya ikut mereka saja, Mikayla tidak keberatan dengan hal itu dan semoga saja Mikayla bisa mengerjakannya dengan baik dan benar.
----
Ditengah jam belajar sekolah, beberapa guru sedang sibuk menempelkan pengumuman di mading sekolah.
Mereka mengerjakan itu dengan berbincangan dan sesekali ada tawa yang terdengar, mereka selalu senang jika melakukan hal itu.
"Anak-anak pasti akan senang jika basket diadakan lagi di sekolah kita."
"Tentu saja, apa lagi langsung diadakan pertandingan juga."
"Dan semoga saja, mereka masih bisa bermain sebagus kemarin, bahkan lebih bagus dari kemarin."
"Tentu saja, mereka pasti semangat mengikutinya, karena memang banyak sekali peminatnya."
Mereka mengangguk kompak, tentu saja itu adalah kegiatan yang selalu mereka tunggu, apa lagi pertandingan yang selalu diadakan.
Dan selalu membanggakan karena mereka selalu mendapatkan gelar juara disetiap pertandingan, tapi entah kali ini karena sejak satu tahun belakangan kegiatan basket telah dihentikan.
"Kita harus mendata ulang, mungkin saja siswa baru mau gabung team basket."
"Tentu saja, itu sudah pasti."
"Berarti nanti kita harus panggil Aljuna."
"Benar sekali."
Mereka berjalan untuk berpindah ke mading lain, di sekolah itu memang ada dua bagian mading agar mereka tidak kesulitan untuk melihatnya.
Tapi mereka enggan berpencar dan memilih untuk mengerjakannya barengan saja, biar saja lagi pula mereka yang mengerjakan lagi kosong untuk mengisi kelas, jadi mereka bisa santai di sana.
"Kalau lagi seperti ini, rasanya hening sekali padahal murid disini banyak sekali."