Yen Yi mengantar Liony ke rumah kontrakan. Dia juga ikut mengangkat beberapa barang pindah dari Liony. Naomi pemilik rumah kontrakan sebenarnya kasihan melihat Liony, namun karena kondisi keuangan, dia terpaksa menjual kontrakannya.
Sepanjang perjalanan ke kontrakan barunya, Yen Yi banyak bertanya tentang kehidupan Liony yang sesungguhnya. Liony terlihat bercerita dengan jujur, siapa dirinya sebenarnya.
Liony, apa kamu tidak pernah berpikir untuk menikah? Bukankah kamu akan merasa lebih nyaman bila ada teman setiap hari di rumah?"
"Tidak, Pak. Sekarang ini, aku merasa lebih baik sendiri. Sebelum aku bisa mencapai cita-cita Ibu, aku sama sekali tidak akan pernah berpikir untuk menikah. Soal kesendirian, aku sudah terbiasa, Pak. Apalagi kalau ditanya soal kemiskinan, rasanya aku sudah tidak merasa asing lagi. Dari dulu sampai sekarang, hidupku sudah terbiasa di lingkungan kemiskinan."
Yen Yi terdiam. Dia kasihan mendengar cerita Liony yang sesungguhnya. Tidak berapa lama kemudian, Yen Yi dan Liony telah sampai di rumah kontrakan barunya tersebut.
Pemilik rumah tersebut, datang menyambut dan memberikan kunci rumahnya. Yen Yi langsung membayar kontrakan itu selama satu tahun. Barang bawaan Liony, satu persatu diangkat oleh Liony dan Yen Yi. Keduanya begitu kompak bekerja sama hingga barang tersebut masuk ke kontrakan baru.
"Liony, mulai hari ini, kamu tinggal disini, ya! Kamu akan lebih dekat ke lokasi bangunan setiap harinya," ucap Yen Yi.
"Iya, Pak Yen Yi. Aku mengucapkan terimakasih banyak pada Bapak, dengan semua tenaga dan waktu yang telah Bapak pergunakan untuk membantuku."
Yen Yi tersenyum. Dia bahagia melihat Liony telah menemukan kembali rumah kontrakannya. Yen Yi meninggalkan Liony, dia naik mobil dan pergi pulang ke rumah Sieon.
Sepanjang perjalanan, Yen Yi merasa ada hal yang aneh dia rasakan. Akhir-akhir ini, Yen Yi sering kepikiran pada Liony. Dia tidak tahu apa masalahnya.Yen Yi sering bertanya pada dirinya sendiri. Dia merasa kalau Liony sudah mencuri hatinya secara diam-diam.
Liony mulai menempati rumah kontrakan barunya. Malam itu, Liony terlihat membereskan semua barang pindahannya. Beberapa jam kemudian, Liony merasa perutnya mulai keroncongan. Dia baru sadar, kalau malam itu dia sama sekali belum makan.
Udara berubah jadi dingin. Hujan petir turun dengan derasnya. Liony merasa perutnya sangat lapar sekali. Dia sama sekali tidak mempunyai cadangan makanan sebagai penahan lapar.
"Bagaimana, ini? Mana hujan sudah semakin deras, aku tidak punya payung untuk keluar membeli nasi," ucap Liony.
Karena dorongan rasa lapar, Liony menggunakan kantongan plastik besar, sebagai payung baginya untuk keluar membeli sebungkus nasi. Liony melewati jalan yang penuh aliran air, hingga ke warung nasi. Dia melihat ada jembatan dengan derasnya air yang mengalir akibat air hujan yang semakin lebat.
"Bu, tolong bungkuskan nasi berserta minumannya ya, Bu!"
"Berapa bungkus, Nak?"
"Satu saja, Bu."
Pemilik warung tersebut menyuruh Liony untuk masuk karena hujan semakin deras. Sembari duduk dengan baju basah, Liony melihat petir dan hujan saling beradu.
"Ini, nasi beserta minumannya, Nak. Kamu sebaiknya tunggu saja dulu hujan sedikit reda. Dengan demikian, kamu akan lebih aman untuk pulang ke rumahmu!"
"Enggak apa-apa, Bu. Rumah aku tidak jauh, kok. Kalau begitu, aku permisi pulang, Bu!" Liony keluar dengan menggunakan plastik hitamnya kembali. Pemilik warung menggelengkan kepalanya melihat Liony harus melewati hujan lebat dengan badai petir yang saling berbalasan.
Saat melewati jembatan, Liony melihat ada mobil dengan kecepatan tinggi. Dia yakin sopir mobil tersebut tidak akan melihatnya karena kabut dan derasnya hujan. Liony berusaha berjalan dari pinggir, agar genangan air tidak mengenai dirinya saat mobil tersebut lewat.
Suara mobil semakin kuat dan semakin dekat. Liony melihat mobil itu seakan datang ke arahnya. Dia berusaha berlari dan berhasil selamat dari mobil yang lewat.
Sebungkus nasi dan air minum, jatuh ke jalan. Liony melihat kalau nasi tersebut sudah kotor. Dia berusaha kembali lagi ke warung, untuk membeli lagi nasi buat dia.
"Ada yang tinggal, Nak? Kenapa kamu balik lagi?" Pemilik warung heran dengan kedatangan Liony.
"Tidak ada yang tinggal, Bu. Aku ingin membeli sebungkus nasi lagi, karena nasi yang baru saja aku beli, sudah jatuh saat aku mengelakkan sebuah mobil yang datang dengan kencang," ucapnya.
"Kasihan, kamu." Pemilik warung tersebut, membungkus kembali nasi dan minuman untuk Liony.
Saat berdiri, Liony merasa tubuhnya semakin menggigil. Hidung tersumbat dan bersin, kini dialami oleh Liony. Pemilik warung memberikan bungkusan nasi dan minumannya pada Liony.
"Ini, Nak. Sebaiknya kamu cepat pulang! Aku khawatir, kamu nantinya akan sakit karena basah dan menggigil," ucapnya.
Liony berjalan kembali. Dia berusaha agar bisa lebih cepat untuk sampai ke rumahnya. Beberapa saat kemudian, Liony sudah sampai dan masuk ke dalam rumah. Dia yang sudah kedinginan dan lapar, langsung mengganti baju dan membuka nasi untuk segera makan.
Saat menikmati makanan, Liony merasa badannya mulai panas. Dia berdiri dan mengambil kain tebal sebagai pembantu dirinya mengatasi rasa dingin. Mukanya semakin pucat, dia juga merasa semakin lemas.
Pintu yang belum ditutup oleh Liony, kini tetap saja terbuka. Liony yang sudah semakin panas dingin, kini tidak terpikir lagi untuk menutup pintu rumahnya. Saat hujan mulai reda, seorang lelaki lewat. Dia melihat pintu rumah terbuka, dan seakan memancing dirinya untuk berbuat jahat.
Lelaki itu masuk. Dia melihat sekeliling, apakah suasana aman? Karena sudah larut malam, Lelaki itu masuk dan ingin mengambil barang yang bisa dia gunakan. Lelaki itu tidak melihat ada sesuatu barang yang menarik, dia mencoba membuka tas, dan melihat ada beberapa lembar uang di dalamnya.
Antara sadar dan tidak, Liony seakan mendengar suara tersebut. Namun karena rasa sakit demam yang dia rasakan, dia tidak perduli dengan semua yang dia dengarkan.
Lelaki itu perlahan mengambil lembaran uang yang ada di dalam dompet. Lelaki itu juga pergi berjalan perlahan keluar dari rumah Liony. Hingga malam bertukar menjadi pagi, Liony masih saja berbalut selimut karena menggigil.
Pagi itu Yen Yi, seakan dapat kontak bathin. Dia berencana ingin menjemput Liony ke rumahnya. Sieon melihat Kakaknya pagi-pagi sudah berkemas. Dia penasaran dan mendekati Yen Yi.
"Pagi begini, Kakak mau kemana? Tidak biasanya Kakak pergi sepagi ini?"
"Entahlah, Sieon. Pagi ini perasaanku tidak enak. Aku kepikiran terus dengan Liony. Aku jadi khawatir, bila sesuatu terjadi pada dia?"
"Benarkah, Kakak? Kalau begitu, aku ikut!"
Yen Yi dan Sieon langsung keluar dan pergi ke rumah Liony. Keduanya khawatir dan merasa bersalah bila Liony kenapa-napa. Dengan laju yang lumayan kencang, mobil Yen Yi akhirnya sampai di rumah Liony.