Chereads / Dear Mas Pacar / Chapter 9 - Tamparan

Chapter 9 - Tamparan

Sepanjang perjalanan pulang Lovita menggerutu kesal. Ia merasa Desta sangat tidak adil. Harusnya Desta menepati janjinya dan bukan pergi bersama Bu Livi. Gadis itu sangat kecewa dengan sikap Desta. Ia langsung memilih pulang dari pada harus seperti orang bodoh di kafe.

Melihat mobil Rania sudah terparkir rapi di garasi rumah membuat Lovita semakin lemas. Ia merasa situasi sedang tidak tepat untuk bertemu mamanya. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar untuk menuntaskan rasa gelisahnya. Namun, sepertinya Rania akan tertahan dengan keberadaan mamanya.

"Akhirnya, Non Pulang. Nyonya baru saja pulang. Non Lovi makan dulu, ya, mumpung masih hangat. Nyonya juga masih di kamar."

Bi Siti terlihat senang meihat Lovita pulang. Wanita itu langsung menggandeng gadis remaja yang sudah ia rawat sejak kecil. Ia menyanyangi Lovita seperti anaknya sendiri yang ada di kampung.

"Bi, aku langsung masuk ke kamar, ya?" pinta Lovita. Sebenarnya ia merasa malas jika harus bertemu Rania. Wanita itu pasti hanya akan menghakiminya.

Baru saja mereka masuk, tiba-tiba saja Rania sudah menghadang kedatangan Lovita. Ia melihat penampilan anaknya yang terlihat rapi dengan make up yang menempel di wajah.

"Dari mana?" tanya Rania tajam.

Wanita itu meminta Bi siti untuk meninggalkan mereka berdua. Wajah Rania terlihat sedikit kaku melihat kepulangan Lovita.

"Belajar kelompok."

"Belajar kelompok apa ngejar cowok!"

Perkataan Rania langsung membuat Lovita tersenyum kecut. Mendengarnya membuat Lovita yakin jika Bu Rosma telah mengadu pada Rania. Pantas saja wajah Rania terlihat lebih tegas. Lovita sangat hapal betul saat kedua orang tuanya mendapat laporan dari guru BK tersebut.

"Belajar yang bener! Jangan buat Mama malu!"

"Lovita ngapain, sih, Ma? Sampai buat Mama malu." Lovita terdengar kesal. Ia merasa apa yang dilakukannya tidak di luar batas. Namun, Rania terlihat begitu berlebihan.

Bi Siti yang melihat ketegangan Ibu dan anak itu merasa khawatir. Ia masih bersembunyi di balik dinding melihat apa yang terjadi.

"Lovita! Jaga nama baik Mama dan Papa. Kamu ini anak orang khusus di Yayasan. Janga hanya bisa buat malu Mama dan Papa!"

"Kalau Mama malu, anggap saja Lovita bukan anak Mama. Toh, Mama dan Papa juga lebih mentingin bisnis kalian."

Satu tamparan keras melayang. Rania tidak bisa menahan emosi saat Lovita terus menjawab perkataannya. Ia merasa anaknya susah diatur dan hanya membuat nama baik keluarga mereka jelek. Padahal keluarga Lovita merupakan salah satu donatur tetap Yayasan.

Lovita memegang pipinya yang terasa begitu panas. Matanya mulai berair merasakan tamparan yang begitu keras. Bukan karena merasakan sakit atau nyeri. Ia hanya merasa sedih karena Rania menamparnya keras karena malu mendapat laporan dari Bu Rosma. Seperti halnya yang dilakukan Arga padanya. Sang papa pun mempermalukan Lovita di depan teman-temannya hanya karena Lovita tidak sengaja mendorong temannya hingga jatuh.

"Mama tidak mau lagi dengar kamu buat ulah!" Rania menatap tajam anaknya. Lalu, Rania memanggil Bi Siti keras. Wanita itu memanggil sang pembantu agar segera datang. "Rapikan makanannya, mendadak aku ada acara makan di luar."

Rania langsung beranjak keluar tanpa melihat kea rah Lovita. Wanita itu seolah tidak peduli apa yang terjadi pada putrinya. Ia hanya menekankan agar Lovita tidak berulah lagi. Ia merasa malu jika anak tunggalnya itu selalu berbuat ulah di sekolah.

"Non Lovi makan dulu, ya."

"Enggak usah, kan, Bibi disuruh merapikannya bukan menyuruhku makan."

"Non, Nyonya hanya sedang lelah."

"Aku masuk kamar saja. Anggap saja aku sudah makan."

Lovita mengusap air yang mulai menetes membasahi pipi. Gadis itu langsung berajalan naik tanpa menghiraukan panggilan pembantu keluarganya. Ia merasa terluka dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Rania memang benar-benar tidak peduli dengannya. Wanita itu hanya mementingkan urusannya sendiri dan tidak mau meluangkan waktu sejenak hanya untuk sekadar mengobrol bersama putrinya.

Padahal seusia Lovita benar-benar butuh tempat untuk mencurahkan semua keluh kesahnya. Ia butuh tempat saat dirinya merasa resah dan tempat mengadu. Semua tidak pernah Lovita dapatkan sejak kecil. Ia hanya hidup dalam kecukupan materi tanpa menerima curahan kasih sayang.

***

Lovita merasa sangat malas beranjak dari tempat tidur. Kepalanya terasa masih sangat pusing. Alarm ponsel yang berbunyi berulang kali membuat Lovita terbangun. Sudah saatnya gadis itu bersiap berangkat ke sekolah. Namun, rasanya Lovita begitu malas. Ia masih kesal jika harus bertemu Desta. Belum lagi bekas tamparan Rania yang masih terasa sangat sakit.

Gadis itu masih berbaring melihat sekeliling kamar. Membiarkan suara nyaring Bi Siti terus memanggilnya. Ia membiarkan wanita itu terus mengetuk pintu kamar. Lovita masih tetap memeluk guling dan kembali memejamkan mata.

Bi Siti semakin panik Lovita tidak mau membukakan pintu. Wanita itu merasa khawatir saat Lovita bertengkar hebat dengan ibunya. Terlebih semalam Lovita belum makan apa pun. Ia takut terjadi sesuatu pada anak majikannya itu.

Wanita pekerja itu langsung memanggil satpam rumah untuk membuka pintu kamar Lovita. Wanita itu langsung panik saat melihat Lovita masih meringkuk di tempat tidur. Ia langsung meminta satpam untuk mengambil kotak obat di bawah.

"Non Lovi badannya panas."

Bi Siti menempelkan telapak tangan. Suhu badan Lovita terasa sangat panas. Ia menepuk pipi Lovita berharap gadis di depannya membuka mata. Bekas tamparan Rania pun terlihat memerah.

"Non, makan, ya, setelah itu minum obat. Nanti Bi Siti yang telepon Nyonya kalau Non Lovita sakit."

"Enggak usah, Bi." Bibir Lovita terdengar bergetar.

Gadis itu menarik tangan Bi Siti untuk tidak memberi tahu kedua orang tuanya, Mereka tahu pun hanya percuma. Waktu mereka tetap untuk bisnis mereka. Lovita adalah nomor sekian dalam agenda harian mereka.

"Aku hanya butuh istirahat. Bibi enggak usah bilang Mama atau Papa."

"Terus, sekolah Non Lovi gimana? Nyonya pasti marah kalau Non Lovi bolos. Padahal Non Lovi sedang sakit."

"Biarin aja. Palingan juga dapat hukuman dari Bu Rosma. Aku sudah kebal, Bi."

Lovita sedikit tersenyum. Ia sudah mulai masa bodoh dengan semuanya. Bahkan jika dirinya dianggap alpa karena tidak memberi izin. Lovita siap menerima konsekuensinya. Hukuman dari Bu Rosma dan lainnya terasa sudah biasa. Ia sudah terlalu kebal dengan semuanya. Pondasinya begitu kuat tercipta karena tidak dipedulikan kedua orang tuanya. Bahkan Lovita merasa ingin sekali menunjukkan pada kedua orang tuanya jika dirinya seperti ini memang berasal dari sikap tidak peduli kedua orang tuanya.

"Non, Lovi …"

"Bibi tenang saja. Aku kuat, kok."

Bi Siti hanya bisa tersenyum getir melihat senyum palsu Lovita. Gadis yang terlihat begitu bandel dan keceriaan di setiap senyumnya ternyata hanya menyimpan sejuta luka di hatinya. Ia berusaha kuat dan mencari pelampiasan lainnya untuk menarik perhatian kedua orang tuanya.