Pagi yang sangat cerah bagi seorang Lovita, semalam ia membiarkan pesan Desta begitu saja. Bukan tanpa alasan ia melakukannya. Ia memang sengaja melakukannya agar membuat Desta penasaran. Ia hanya ingin tahu sejauh mana Desta akan mengejarnya dan minta maaf.
Rasanya Lovita memiliki kartu khusus untuk membuat Desta menyiapkan sedikit ruang hati untuknya. Ia bisa berpura-pura marah pada Desta agar membuat pemuda itu semakin merasa bersalah padanya.
Lovita langsung bersemangat berangkat sekolah. Melihat Arga dan Rania sarapan di bawah membuat wajah gadis remaja itu langsung lesu. Ia berhenti di anak tangga paling bawah melihat Arga yang langsung beranjak melihat Lovita yang baru saja turun. Belum lagi Rania memanggil Bi Siti untuk merapikan semua makanannya. Seolah-olah kehadiran Lovita tidak mereka anggap.
Menyapa Lovita sebelum berangkat bekerja pun tidak. Mereka bahkan pergi tanpa menanyakan kabar anak semata wayang mereka. Sebenci itukah mereka pada anak gadisnya? Pertanyaan itu muncul begitu saja di dalam benak Lovita. Merasa hidupnya begitu miris. Hidup dalam kecukupan, tetapi hatinya begitu kosong tanpa tujuan.
Bi Siti melihat Lovita sedih berhenti merapikan meja makan. Ia langsung menghampiri gadis ABG yang sudah ia rawat sejak kecil.
"Non Lovi makan dulu, ya."
"Enggak usah, Bi. Aku bisa makan di kantin."
"Non Lovi baru sembuh, bibirnya aja masih pucat. Makan terus minum obat dulu, ya , Non?"
Lovita menggeleng. Ia langsung beranjak pergi berpamitan. Gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan rumah yang terasa kosong seperti hatinya. Sudah terbiasa saat berangkat sekolah tidak ada yang menyambut atau sekadar memberi pelukan.
Lovita langsung melajukan motornya keluar. Menyapa satpam dan langsung membelah jalanan yang mulai padat. Gadis itu bertarung setiap hari di jalanan sendiri. Ia tidak pernah memanfaatkan fasilitas sopir pribadi yang orang tuanya berikan. Bahkan mobil hadiah ulang tahun Lovita saat 17 tahun masih terparkir rapi di garasi rumah.
Gadis remaja itu lebih suka mandiri menggunakan motor matic kesayangannya. Motor hasil jerih payahnya membuat konten serta sejumlah endorse. Motor penuh kenangan itu menjadi saksi perjuangan Lovita yang tidak bisa dilihat siapapun yang belum mengenal Lovita dengan baik.
"Yah, kenapa gerbangnya udah ditutup, sih? Kan, masih tiga meni lagi sebelum jam 7." Lovita berhenti mematikan mesin motor.
Ia langsung mendekati gerbang memanggil satpam sekolah. Gadis itu tidak gentar sedikitpun berteriak memanggil satpam sekolah untuk membuka pintu.
Suaranya langsung menyita perhatian beberapa orang guru yang sedang piket, termasuk Desta. Pak Thomas yang selalu menjadi musuh bebuyutan Lovita langsung beranjak dari duduknya. Sepertinya lelaki itu sudah bersiap menghadapi siswa terlambat yang ngeyel seperti Lovita.
"Pak, ini belum jam 7 tepat, kenapa gerbangnya sudah ditutup?" Lovita protes dari luar.
Pak Thomas hanya menyilangkan tangan dan melihat keadaan Lovita. Lelaki itu membuka matanya dan melihat tajam gadis ABG yang selalu membuat keributan di jam sekolah.
"Lihat ini! Jam 7 tepat!"
Pak Thomas menunjukkan jam tangannya. Jarum jam pendeka menunjuk angka tujuh, sedangkan jarum panjang tepat di angka 12.
"Pak, dari tadi saya teriak butuh waktu, lho! Teriak itu butuh waktu."
Lovita tidak terima. Ia merasa harusnya gerbang ditutup tepat pukul 7 pagi. Tidak kurang tidak lebih. Gadis itu juga tidak peduli Desta terus melihat tingkahnya. Ia merasa benar menyuarakan apa yang sebenarnya. Tiga menit adalah waktu, hal itu membuat Lovita merasa pihak sekolah curang dengan aturannya.
"Jarak pintu depan ke tempat parkir juga membutuhkan waktu tiga menit! Belum lagi berjalan ke kelas. Kamu memang terlambat!"
"Saya terlambat juga karena bapak ngajak saya ngobrol di sini. Bagaimana saya bisa masuk kalau seperti ini?"
Lovita tidak mau kalah. Ia harus tetap bisa masuk. Ia mempertaruhkan harga dirinya di depan Desta. Ia tetap harus bisa masuk sekolah. Ia tidak mungkin kembali lagi dan membiarkan absennya alpha sekali lagi.
Pak Thomas membuka pintu gerbang, lelaki itu membuka lebar dan meminta Lovita memarkirkan motornya beserta kunci motor di depan pos satpam. Lovita merasa senang karena pada akhirnya berhasil menang. Pak Thomas membiarkannya masuk kelas. Lovita langsung bergegas hendak berjalan, tetapi Pak Thomas langsung menahannya.
"Siapa yang nyuruh kamu masuk?!"
"Bukannya saya sudah bisa masuk, Pak?" Lovita berhenti dan menggaruk kepalanya.
Pak Thomas malah berjalan memutar melipat tangannya. Wajahnya sudah memberi kode yang tidak baik. Lelaki itu menunjukka sikapnya saat ,memberi hukuman.
"Saya membuka gerbang bukan berarti membiarkanmu masuk kelas."
"Lantas? Bapak kangen sama saya karena kemarin enggak masuk?"
Lovita langsung menanggapi ucapan Pak Thomas. Gadis itu sama sekali tidak memiliki ketakutan menghadapi Pak Thomas. Desta pun terlihat ikut melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
"Baiklah, aku memang kangen tidak menghukummu! Berdiri di dekat tiang selama satu jam!"
Pak Thomas langsung berkata keras. Lelaki itu tidak segan memberi hukuman fisik dengan berdiri di dekat tiang bendera. Hal itu berarti seluruh sekolah bisa melihat Lovita dihukum. Satu hukuman yang memang Pak Thomas berikan agar Lovita merasa malu dan jera melakukan kesalahan lagi.
"Lho, Pak. Saya tidak terlambat. Hanya perkara tiga menit, Bapak malah menghukumku satu jam?"
Lovita merasa tidak terima. Harga dirinya dipertaruhkan di depan Desta. Ia merasa benar karena sampai di sekolah masih mempunyai waktu tiga menit.
"Jangan merasa benar karena kamu anak orang Yayasan. Nama besar orang tuamu tidak berpengaruh di depanku."
Deg!
Lovita langsung tertegun Pak Thomas mengaitkan kedua orang tuanya. Gadis itu langsung teringat sikap kedua orang tuanya yang sama sekali tidak peduli dengannya. Gadis ABG itu memilih diam dan berjalan menuju tiang bendera. Beberapa siswa yang tengah berolah raga menyoraki Lovita.
Mereka langsung bersorak riuh menanggapi Miss Lovita Queen harus berdiri di tengah lapangan. Ada yang terdengar mengolok hingga mencelanya. Gadis pembuat onar yang seluruh sekolah mengenalnya dengan ulah yang selalu Lovita lakukan.
"Kembali ke kelas sampai jam pelajaran pertama selesai!" ucap Pak Thomas tegas.
Lelaki berkacamata itu langsung pergi dan kembali ke tempat piket. Beberapa guru langsung bertanya apa yang terjadi. Beberapa dari mereka pun membenarkan apa yang terjadi dengan Tindakan Pak Thomas. Sedangkan Desta hanya bisa terdiam mendengarkan mereka membicarakan Lovita.
Desta hanya bisa melihat Lovita dari kejauhan. Gadis itu masih berdiri tegak di samping tiang bendera. Bahkan Desta terus saja mengawasi keadaan Lovita.
"Lovita pingsan!!!"
Teriakan para siswa yang sedang berolah raga membuat seluruh guru piket terkejut. Mereka tidak menyangka gadis Bengal seperti Lovita tidak tahan panas. Desta langsung berlari menuju lapangan. Ia melihat wajah Lovita pucat pasi. Ia langsung membopong gadis remaja itu ke UKS. Seluruh siswa di lapangan pun langsung heboh saat Pak Desta membawa Lovita ke UKS.
Desta langsung meminta pegawai UKS untuk memeriksa keadaan Lovita. Mereka meminta Desta untuk menunggu di luar selagi memeriksa keadaan Lovita.