Penanda lift berhenti pada angka tiga puluh lima. Donar keluar dari lift tersebut dengan muka agak loyo. Di lubuk benaknya, yang akan ia lakukan adalah mengajak anak-anak makan malam, menikmati rendaman air hangat, tidur, lalu pulang ke Trinketshore untuk menikmati akhir pekan yang singkat. Orang tua memang tidak meminta yang muluk-muluk.
Ia sudah berada di muka pintu. Gerakan memutar ganggang pintu itu dilakukan, lalu tersangkut setelah seperdelapan putaran tanda masih terkunci. Donar langsung menguabrak-abrik isi tas, sebelum suara ceklikan kunci terdengar.
"Selamat datang kembali di rumah!"
Donar sontak menghempaskan tasnya ke lantai karpat dan menodong tongkat sihir ke arah pintu! Lebih tepatnya, ke arah manusia berkepala rusa yang dengan baik hati menyambutnya masuk!
"Tuanku, harap tenang โฆ," bujuk si Kepala Rusa. "Kita tidak mau membuat huru-hara di tempat tinggalmu. Akan berdampak buruk kepada tetangga โฆ dan putramu."
"Dimana putraku? Kau apakan dia?" nadanya naik, wajah Donar mulai tampak beringas.
Kepala rusa itu tidak memberikan emosi apapun, namun ia memberi isyarat agar Donar tetap tenang. "Putramu baik-baik saja. Ayo masuk, kita bisa berbicara lebih banyak di dalam."
Donar sepertinya tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan orang asing dengan kepala binatang bertanduk bercabang. Tongkat sihirnya disita, ia perlahan memasuki ruangan dipandu oleh si Kepala Rusa. Dilihatnya semakin banyak penyihir berpakaian serba hitam dengan topeng memenuhi tiap sudut rumahnya seraya ia masuk. Donar kembali tersentak saat menemukan Leith yang membatu dengan pose seperti hendak menembak sihir. Sang ayah masih belum pasti, namun ia merasa putranya terjebak dalam mantra sihir ๐๐ฐ๐ต๐ถ๐ด ๐๐ข๐ฑ๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ๐ฆ๐ฎโmantra yang membuat korbannya membatu. Leith tidak dapat bergerak, namun ia masih sadar. Bola matanya masih pecicilan, terutama saat ayahnya baru tiba.
"Tuanku tidak perlu gundah โฆ, putramu hanya terjebak dalam mantra โฆ apa namanya tadi?" si Kepala Rusa menoleh ke salah satu penyihir.
"๐๐ฐ๐ต๐ถ๐ด ๐๐ข๐ฑ๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ๐ฆ๐ฎ! Aku tahu itu," tukas Donar.
"Tepat! Baguslah kalau tuan sudah tahu itu."
Donar kembali memindai sekelilingnya. Ia tidak menemukan putri sulungnya, Alicia serta kedua sahabatnya.
"Putriku," kata Donar, "Nadine, dan Gilmore. Dimana kalian menyekap mereka?"
"Oh, perempuan itu?" Kepala Rusa langsung tertawa mengi. "Ah, Tuan Donar, justru karena itulah aku menunggumu. Mereka tidak ada di sini. Kami tidak menyekap mereka. Tapi beberapa dari kami memang sedang berususan dengan mereka saat ini."
"Apa maksudmu berurusan dengan mereka?"
"Tolong duduk dulu, tuan Donar. Aku memaksa."
Sulit rasanya untuk tidak kehilangan ketenangan di saat seperti ini. Donar pun demikian. Ia mengambil napas untuk tenang, tapi serangan panik terus membuat jantungnya berdegub bagai pacuan kuda, mengingat putri sulungnya sedang dalam bahaya. Sang ayah hanya berharap dengan adanya Orb, Alicia masih bisa melawan dan kabur dari mereka. Maka Baron Trinketshore mengambil kursi dan duduk di depan meja makan bersama Kepala Rusa.
Kepala Rusa lalu berujar kepada Donar, "Maafkan aku, tuan Donar. Biarkan aku membuka kepala rusa ini dahulu."
Kepala Rusa tidak bisa disebut 'Kepala Rusa' lagi. Ia mengangkat topeng tersebut. Menampilkan sosok yang ternyata adalah seorang perempuan paruh baya berambut keriting. Seseorang yang sebenarnya dikenal oleh Donar dan Leith.
Mata Leith langsung berkilat-kilat pada sosok asli si Kepala Rusa. Ia ingin meneriakkan namanya sambil mencomooh wanita tersebut. Tapi apa daya, satu-satunya gerakan tubuh yang ia bisa lakukan selain jelalatan adalah mengedipkan mata.
"Kau โฆ." Donar mewakili isi hati Leith, "Florence Crimsonmane, kau bajingan!"
Di saat Donar kembali bangkit, para penyihir yang lain serentak mengambil posisi untuk mencegahnya menerkam Florence dari segala arah.
Florence membuka mulutnya. Berbeda dengan persona si Kepala Rusa yang sopan lagi rendah hati, Florence โฆ menjadi Florence. Lidah yang pedas penuh cemooh dengan nada merendahkan. "Inikah Donar yang selama ini kukenal? Orang yang biasanya sok kalem, sekarang mudah terpancing emosi? Aku kecewa sekali untuk kali pertama kita berbicara empat mata."
"Kau akan mendapatkan lebih banyak kesempatan berbicara kepadaku saat kau mendekap di balik jeruji!"
Florence hanya bisa tergelak puas. "Aku tarik kata-katamu, aku lebih suka dirimu yang sekarang! Andai saja dirimu selalu seekspresif ini, para kerabat pasti tidak akan menganggapmu membosankan."
Walaupun kelepasan, Donar langsung mengatupkan bibirnya. Ia tidak mau meladeni permainan provokatif Florence, maka ia kembali duduk. "Kau seharusnya tidak melepas topeng itu," katanya, "Menyebarkan partikel Protos ke seluruh Camelot, sederet kasus pembunuhan dan penyalahgunaan sihir, dan sekarang, menyekap keluarga anggota perlemen. Setelah ini, sungguh mustahil kau akan kabur, kemanapun kau pergi!"
"Tidak, jika aku membunuh kalian terlebih dahulu," jawab Florence santai. "Tapi tidak, aku tidak peduli jika kalian menangkapku atau bukan. Percuma saja, ini bukan soal diriku. Jadi untungnya untuk kalian berdua. Aku tidak berniat untuk menyingkirkan kalian โฆ kalau tuan-tuan sekalian tidak bersikap menyebalkan."
Donar kembali memperhatikan setiap penyihir yang bersembunyi di balik topeng, berjaga di pojok-pojok ruangan. "Jangan bilang mereka semua adalah anggota keluarga Crimsonmane juga."
Florence menyedot segelas limun di meja yang ternyata sudah disiapkan olehnya. Ia menyodorkan segelas kepada Donar, namun pria itu belum menunjukkan tanda-tanda haus. "Apakah mereka seorang Crimsoname? Atau bukan? Bodoh amat, Donar, itu tidak penting."
"Ini semua karena Orb, bukan? Kalau kalian memang ingin mengincar benda itu, rebut saja dari putriku dan buat dia pingsan. Tapi aku memohon kepadamu agar mengampuni nyawanya!"
"Oh, apakah kau mau bersujud dan mencium kakiku untuk itu?"
"Florence!"
"Baiklah, baiklah. Tenanglah, Pak Tua. Itu semua tergantung sikap keponakan cantikku nanti. Jika ia mau menyerahkannya tanpa paksaan, mungkin tidak perlu ada pertumpahan darah," Florence menyedot limunnya lagi, "Itupun, kalau terjadi, yang mana sangat kecil kemungkinannya karena, kau tahu โฆ anak akil baligh. Kita sama saat seusia mereka; pemberontak, naif, dan tidak bisa berpikir rasional."
"Alicia adalah orang yang paling rasional dibandingkan seluruh kerabatnya yang lain," sahut Donar. "Aku harusnya mendengarkan putirku untuk tidak mengajaknya kembali ke rumah Alasdair, kalau tahu jika kakeknya akan berbuat sesuatu yang buruk kepada cucunya sendiri jika ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan."
Semburan cairan kuning keruh yang pucat keluar dari mulut sang wanita. "Sialan, Donar! Mana sopan santunmu untuk tidak membuat seseorang muncrat di meja makan?" Florence langsung tergesa-gesa mencari serbet dan mengelap bersih-bersih tumpahan limun itu. Florence masih punya rasa tanggung jawab rupanya.
"Tua bangka itu? Kami tidak peduli dengan apa yang diperintahkan oleh tua bangka itu," seru Florence sambil memaki-maki sang Patriarkh. "Sudah tua, kolot lagi. Pikirannya sesempit lubang peniti. Hanya kekuasaan, kekuasaan, kekuasaan, kejayaan, dan kekuasaan! Lagipula apa yang ia lakukan saat ia sudah menguasai seluruh kerajaan? Selain terbaring lemah dan batuk darah di tempat tidur seperti raja yang sekarat?"
Florence beranjak dari tempat duduk, lalu mengungkapkan tujuan mereka sebenarnya dengan gaya yang lebay. Sungguh kasihan untuk Leith yang harus menonton tantenya yang menggelikan tanpa bisa berpaling. Coba saja ujung tongkatnya bisa membedil sihir ke salah satu penggosip tersohor di keluarga Crimsonmane tersebut, dan membuatnya terbakar sampai menjadi abu.
"Kami punya rancangan yang aaaaamat besar, Donar dan Leith. Lebih besar, dan lebih agung daripada sekedar menguasai sepetak tanah," cakap Florence. "Kau tidak akan mengerti rencana maha agung itu saat ini, namun segera, segalanya akan terungkap, dan kalian semua akan bersyukur dan bertima kasih kepada kami."
๐๐ฆ๐ณ๐ฏ๐บ๐ข๐ต๐ข ๐ต๐ข๐ฏ๐ต๐ฆ-๐ต๐ข๐ฏ๐ต๐ฆ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐จ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐บ๐ข ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ช๐ด๐ช ๐ซ๐ถ๐จ๐ข, ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ณ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ ๐ญ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฌ ๐ฅ๐ช ๐ฃ๐ฐ๐ฌ๐ฐ๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ๐ด๐ข๐ฎ๐ฃ๐ช๐ญ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฅ๐ถ ๐ฏ๐ข๐ด๐ช๐ฃ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ณ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ณ๐ช๐ต๐ข ๐ฅ๐ช ๐จ๐ณ๐ช๐บ๐ข ๐ต๐ข๐ธ๐ข๐ฏ๐จ, pikir Leith.
"Dan kau membutuhkan Arcane murni untuk mewujudkan 'rancangan agung'-mu itu?" tanya Donar.
Florence mendekati Donar, menyodorkan mukanya dalam jarak dekat ke wajah Donar yang mulai tegang. "Oh kami tidak membutuhkannya. Kami ingin menghancurkannya! Beserta dengan seluruh sumber Arcane murni di seluruh muka bumi! Ketika diriku membaca jurnal Ailsa dari Magisterium, dan mendengar kabar pemilik Arcane di Trinketshore, saat itulah aku tahu, kami harus menghancurkan sumber Arcane tersebut, beserta penggunanya."
Seringai lebar keluar dari wajahnya yang sudah berkeriput, membuat perangai Florence berkali-kali lipat lebih menjijikan dari yang sudah-sudah. Belum lagi muncul retakan-retakan dari rias wajahnya yang sudah kering. "Tapi tentu saja, sesuai kataku, mungkin tidak perlu ada pertumpahan darah. Ambil Arcane darinya sudah cukup membuatnya tidak berdaya, bukan? Tapi aku tidak bisa berjanji. Soalnya, banyak yang ingin anak itu mati. Banyak pula yang berbelas kasihan padanya, tapi toh dia sudah ditakdirkan untuk mati!"
Jika satu impresi lainnya muncul saat bercengkrama dengan tante Florenceโselain seorang sosialita durjana dua puluh empat jamโmaka impresi itu adalah: Florence Crimsonmane adalah orang gila. Ia menyanyikan himne Caledonia tua dan merangkul salah satu penyihir untuk menari secara paksa. Ia merasa sangat optimis dapat merebut sempena Ilahi dari tangan Alicia nyaris tanpa usaha. Sungguh mengherankan jika tidak ada satupun tetangga yang resah akan suara ribut tersebut dan menggedor-gedorkan pintu untuk menutup mulutnya. Baik Leith maupun ayahnya berubah pikiran. Keduanya lebih memilih ketika Florence dalam mode kepala rusa. Setidaknya dia bersikap normal dan tak banyak tingkah, walaupun pilihan topengnya patut dipertanyakan.
Donar mengitari pandangannya ke arah Leith yang membeku, ada dua orang penyihir yang berjaga di samping kiri dan kanan. Seorang yang lain juga bersiaga tepat beberapa jengkal dari sang anggota parlemen. Donar sepertinya memiliki sedikit akal agar ia dan anak laki-lakinya bisa keluar dari apartemen. Sungguh bodohnya mereka tidak menyita tongkat sihir milik Leith. Keputusan yang buruk.
"Berapa lama kalian akan menahan kami disini?" Donar bertanya kepada Florence yang sedang berputar-putar di tengah ruangan.
"Santailah, Donar!" jawab tante gila itu. "Kenapa terburu-buru? Setidaknya kami akan meninggalkanmu ketika kami mendengar kabar kalau kami mendapatkan bola sihir itu."
"Anggap saja aku sudah muak dengan muka jelek dan tarian bodohmu. Kami pergi dari sini."
"Apa kau bilangโ"
Donar langsung mengeluarkan kemampuan bela dirinya, yang ternyata cukup mumpuni. Ia menangkap penyihir yang didekatnya lalu mengantukkan kepalanya kuat ke meja makan. Dengan lincah Donar merebut tongkat sihirnya, lalu melontarkan sihir ke Leith.
"Dimittere!" Kutukan batu tersebut langsung terangkat dari diri Leith. Donar melontarkan sihir gelombang ke salah satu penyihir di kanan Leith, sang anak yang tanggap langsung menjejalkan sihir ke penyihir di sebelah kirinya.
"Motus Captionem!"
Sang penyihir baru saja akan membedil Donar dengan sihir Khaos berkekuatan fatal. Sayang sekali hal itu pupus ketika lidahnya tiba-tiba kaku dan tangannya mustahil diayun.
Donar menghalau penyihir di depannya lalu berlari dan melompat ke balik jejeran sofa dan kursi yang berhasil dijungkirbalikkan oleh Leith. Para penyihir mulai menembaki sofa-sofa tersebut yang ternyata sudah diperkuat dengan kekuatan sihirโhasil inisiatif Leith. Apartemen besar itu berubah menjadi ladang pertempuran sihir skala kecil!
Leith mencoba meregangkan tubuhnya yang pegal akibat mematung berdiri dengan satu kaki dan badan yang condong selama hampir dua jam. "Oke, Papa, kuharap idemu tidak hanya melepaskanku dari kutukan patung itu."
"Oh, Papa punya beberapa ide, tenang saja." Donar memutar tongkatnya sehingga ujungnya mengeluarkan pendaran sinar yang menari mengitar ranting kecil tersebut. "Lindungi Papa!" []