Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 48 - OLD WORLD AND CHOSEN MEN

Chapter 48 - OLD WORLD AND CHOSEN MEN

"Mandrake Putih. Kayu manis. Lavender. Bisa kodok panah biru, dan yang terakhir…." Haddock mengeluarkan sekuntum tanaman dengan penuh semangat, "Kamomil Stillmajik!"

Ia memainkannya di depan Alicia yang masih murung untuk memikatnya. Usahanya tidak berhasil. Gadis muram itu masih menunduk ke arah lantai, terkadang disambut cegukan pasca menangis. Membuat suasana canggung bagi dirinya sendiri, Haddock kemudian berdeham dan mulai meracik ramuan.

Ia menyalakan api dan mulai merebus bisa kodok dalam botol kaca berbentuk bulat. Sambil merebus, Haddock menumbuk Mandrake Putih dan Lavender bersamaan menggunakan lesung dan alu, lalu menyimpannya dalam suatu wadah. Satu langkah selesai, ia menggilas kayu manis secara terpisah sampai menjadi bubuk. Ketika racun tersebut mendidih, Haddock menambahkan bubuk merah yang disebut "Debu Pemecah" ke dalamnya. Cairan putih keruh--protein dari racun kodok--muncul menimpa endapan cairan kuning. Ia menyaringnya dengan gelas penyaring, lalu mencampurkan cairan putih tersebut dengan mandrake dan lavender yang ditumbuk, serta menambah bubuk kayu manis secara perlahan. Haddock membisikkan beberapa kalimat mantra sambil mengaduk-ngaduk ramuan itu.

Sentuhan terakhir. Sang Grand Magus menambahkan bahan favoritnya, Kamomil Stillmajik. Cairannya bereaksi dan berubah warna. Voila! Ramuan elixir penyembuh sudah selesai!

Haddock langsung mendekati Alicia dan berlutut. "Nona Alicia, ini elixirnya, minumlah."

Ramuan merah muda yang halus dan meyakinkan. Meskipun terbuat dari bisa, bau aromatik Lavender dan kehangatan kayu manis menundukkan setiap keraguan dari godaan berbahayanya. Tanpa basa-basi, sang gadis meneguk habis setiap cairan, masuk kedalam tenggorokannya. Suasana hatinya makin amburadul setelah meminum racikan Grand Magus yang agung.

"Ditahan saja, Nona. Seperti minum obat, kok," ujar Haddock polos.

"Mending minum obat resep dokter," balasnya.

"Tapi tak semujarab ramuan sihir."

Grand Magus tidak salah. Otot-ototnya yang menegang, pelan-pelan mengendur. Badannya menjadi lebih hangat dan tenang berkat campuran lavender dan kayu manis. Akan tetapi rasa pahit yang aneh dari Stillmajik dan bisa kodok tak dapat ia lupakan.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Haddock mencoba membuat suasana ruangan lebih nyaman. Tapi pertanyaan basa-basi itu malah membuat Alicia kesal. "Menurutmu?"

"Kau masih sedih. Bodohnya aku, maaf."

Mereka duduk bersebelahan, kembali larut dalam kecanggungan.

"Apa menurutmu Orb lebih baik disimpan bersama Magisterium saja?" Alicia bertanya rikuh.

"Tapi itu hakmu. Orb telah memilihmu."

"Kuyakin akan ada orang lain yang bisa menggantikanku kalau kau mengumpulkan semua penyihir di seluruh Camelot."

"Atau sekalian diriku beri saja ke Roma?"

"Kalau itu keputusan Tuan Grand Magus. Lagipula, aku tidak yakin Tuan akan menyerahkan Orb begitu saja." Sang gadis termenung. "Mungkin Tuan Haddock bisa mencobanya pula.

"Aku tidak bisa mengendalikan Orb."

"Mungkin Tuan hanya perlu lebih banyak bercengkrama dengan Orb," sahut Alicia, "Pasti Orb akan mengizinkan sinkronisasi dengan Tuan setelah beberapa lama."

Haddock bergelak kecil. "Nona, bukan begitu cara kerjanya. Dan sungguh, ada apa dengan semua pertanyaan itu? kau akan menyerah menjadi penyihir?"

Pertanyaan yang cukup menyambar hati nurani sang gadis sesaat sebelum ia mendesah. "Aku … entahlah, Tuan. Kurasa diriku terlalu sombong, aku kira aku akan sanggup selama Orb ada bersamaku. Dan lihatlah diriku, belum dua minggu setelah mengucapkan janji tersebut, dan aku sudah ingin menyerah layaknya pecundang.

"Aku tahu kalau hidupku takkan aman. Tapi aku masih sulit menerima fakta bahwa yang ingin memusnahkanku adalah bagian darah dagingku sendiri," terang Alicia lagi. "Apakah aku memang selemah itu, Tuan, walaupun aku telah mengalami hal tersebut beberapa kali sebelumnya?"

Haddock hanya mengangguk prihatin. Ia menekan lembut pundak sang gadis. "Hidup menjadi penyihir … memang bukan perkara mudah. Sekuat apapun dirimu, kau akan selalu merasa terpuruk. Tapi itu bukanlah kelamahan, nak. Kau tidak lemah. Faktanya, kau tegar untuk hidup sampai sekarang. Kau masih bergelut dengan kehidupan. Apalagi itu kalau bukan bukti kau adalah orang yang kuat? Tindakan kerabatmu takkan pernah dibenarkan, tak peduli jika mereka berpegang teguh akan hukum adat keturunan penyihir murni. Hukum itu memang payah. Dan bodoh."

"Aku selalu berpikir jika semua orang di dunia ini adalah orang-orang terpilih, Tuan. Kaum superior," ujar Alicia yang melepaskan dan mengelap kacamatanya yang berembun. "Konon nenek moyang kita dipilih dan diselamatkan oleh Ilahi dari alam purba yang tenggelam, dunia lama. Ia seperti melihat sesuatu di dalam mereka, bahwasannya mereka dan keturunannya dapat menciptakan kehidupan dunia baru yang lebih baik. Mereka dan keturunannya akan dipersiapkan untuk melindungi dunia baru dari kuasa jahat, mencegah mereka menenggelamkan bumi seperti yang terjadi di dunia lama. Tapi apakah itu benar? Apakah semua orang di dunia ini terpilih? Apakah aku terpilih? Karena kurasa kita sendirilah yang menenggelamkan dunia ini. Omong kosong. Aku tidak mampu menghentikan hal semacam itu."

"Memangnya siapa yang masih percaya dengan dongeng itu? Biar kutebak, pasti mamamu."

"Mama hampir setiap saat menceritakan itu kepadaku. Itu sudah terpatri di otaknya."

"Mamamu hanya mencoba memotivasimu agar terus berjuang untuk hidup saja. Walaupun aku akui, itu agak menyedihkan dan kejam di saat bersamaan, memberikan motivasi yang tidak realistis."

Alicia terkejut akan tanggapan sang Grand Magus. Ia menoleh ke arahnya. "Tuan jahat sekali! Kukira Tuan berhubungan baik dengan mamaku!"

"Masih, kok!" sahut Haddock. "Aku dan mamamu, serta Barthie, selalu berterus terang. Kami sering berantem gara-gara itu, tapi itu yang membuat hubungan kami erat. Kami benar-benar mengenal satu sama lain. Tidak jauh berbeda dengan teman-temanmu di luar, bukan?"

"Cukup adil," respon Alicia singkat.

Grand Magus tiba-tiba terpikir sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya berada di perpustakaan. "Walaupun begitu, jangan lupa, biarpun dirimu menderita, tapi kamu tidak pernah sendiri. Dan kau salah, Nona. Kau dipilih oleh Orb, maka kau adalah yang terpilih, tidak ada fakta yang dapat membantah hal itu."

Alicia menoleh ke arah Grand Magus. Secercah mentari memercik hatinya. Ia cukup kagum setiap kali Haddock mengatakan sesuatu, ada saja hal yang membuat dirinya mendapatkan ilham. Alicia bertanya-tanya dalam hatinya apa ia yakin, orang sekeren Grand Magus itu sungguh masih lajang di usia kepala tiga. Padahal dengan ketampanannya, apalagi kemampuan retorikanya yang menakjubkan, ia harusnya sudah berkeluarga dan punya momongan sejak lama. Tidak mungkin alasannya adalah tak punya waktu luang untuk urusan romansa. Toh, dirinya sering bolos dari pekerjaan.

"K-kenapa… kenapa Tuan bisa percaya kalau aku yang terpilih?" Alicia bertanya dengan sedikit terbata-bata.

"Karena seperti yang kau tahu, aku barusan meminjam beberapa buku dari perpustakaan nasional …."

"Uh, Ya, bisa kulihat tumpukan yang menjulang itu di mejamu."

"Dan ada satu yang menjelaskan semuanya secara gamblang! Well, agak aneh mencari buku sihir di sana saat kau seharusnya punya sumber ilmu sihir terlengkap di perpustakaan Magisterium!" Haddock malah mengoceh keluar konteks. "Tapi ngomong-ngomong, ada yang ingin kuberitahukan kepadamu. Tapi, hanya jika kau masih ingin menjadi seorang penyihir."

Tampak sang gadis Crimsonmane terpikat akan penawaran Haddock, tapi awan gundah gulana yang masih menghantui sang gadis mengaburkan keputusannya.

"T-terkait apa itu?"

Haddock dengan muka beloonnya, memberikan sengatan listrik ke pergelangan tangan kanan si gadis berkacamata. Pergelangan yang mempunyai bekas luka akibat sengatan yang lebih besar, sengatan kekuatan Arcane. Alicia sontak terperanjat dari tempat duduknya.

"GRAND MAGUS!"

"Cuma sengatan kecil, cuma sengatan kecil. Racikan penyembuh tadi masih banyak kok." Haddock menunjuk bejana kaca penuh ramuan merah muda menjijikan.

"Justru itu alasannya aku ingin menghindari setruman listrik lagi!" katanya. "Apa yang Tuan temukan? Beritahu aku!"

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Bartholomew Strongbark merusak konversasi keduanya yang sebentar lagi akan menjadi lebih seru dengan sebuah rautan wajah yang buruk, tanda kabar buruk. "Sesuatu terjadi!"

Mata Alicia dan Bartholomew saling bertatapan. Sang gadis mengerti tatapan mata keruh penyihir itu. "Ini terkait denganku lagi. Apalagi kali ini?"

"Alangkah baiknya jika aku dan Haddock membahas ini empat mata," tutur Bartholomew.

"Jika ini mengenai diriku, aku berhak untuk tahu! Grand Magus, aku memohon kepadamu."

"Haddock, ayolah—"

"Tidak apa-apa," tukas Haddock. "Apa itu?"

Bartholomew mendesah pasrah. "Anggota parlemen, Donar Crimsonmane, serta putranya diserang oleh sekelompok penyihir bertopeng di apartemennya."

"A-APA?"

"Sudah kuduga bukan ide yang bagus."

"Oh tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, jangan mereka! Aduh, jangan mereka!" serangan panik Alicia kembali kambuh. Ia menarik-narik rambutnya dan berjalan tanpa arah.

"Alicia, tenanglah dulu," ajak Haddock.

"Tidak, aku tidak bisa tenang!" Alicia kemudian kembali menoleh Bartholomew. "Dimana? Dimana mereka sekarang? Aku harus menemui papa dan Leith! Tolong katakan mereka baik-baik saja!"

"Mereka selamat untuk saat ini, Nona, astaga," jelas Tangan Kanan Grand Magus singkat.

"Lalu kenapa mereka masih tidak ada di sini!" Alicia yang gamang tak bisa mempercayai jaminan Bartholomew begitu saja. "Grand Magus, ayo segera jemput mereka! Ayo jemput!"

Setelah berkata demikian, berlarilah dirinya terburu-buru keluar pintu. Ia menemui Nadine dan Gilmore, namun dirinya tak menggubris kehadiran kedua sahabat. Ia masih terus berlari menuruni tangga demi tangga.

"Alicia, tunggu! Kamu mau kemana?" Nadine dan Gilmore ikut mengejar sahabatnya itu.

"Papaku! Leith! Mereka diserang juga!"

"Juga?" respon Gilmore. "Dengan orang yang sama?"

Sang gadis tidak membalas balik. Ia terus mengayuhkan kakinya sampai akhirnya dia berada di lobi lantai pertama, sepasang pintu raksasa berada di depannya. Alicia bersiap melakukan ancang-ancang untuk keluar dari Skycastle, yang mana ia bahkan belum memikirkan dengan apa sang gadis turun dari Skycastle kembali ke bumi. Haddock kelihatannya tidak cepat tanggap untuk menyanggupi permintaan sang gadis. Percaya tidak percaya, terjun bebas merupakan salah satu yang ada di benaknya. Tentu saja bukan sebagai opsi yang pertama, bodoh.

Orang-orang melihatnya bertingkah aneh dan berlari. Bukan fenomena yang tidak wajar kalau bocah bertingkah aneh di kastil udara berkelakuan demikian. Yang tidak wajar adalah ketika ditengah-tengah udara, muncul sebuah retakan besar berwarnakan kuning, yang semakin lama semakin besar. Alicia dengan kacamatanya yang kembali berembun--atau matanya yang terlalu lembab--tidak menyadari hadirnya retakan aneh di depannya, sampai-sampai harus diterjang menjauh oleh Haddock yang terbang dengan sapu ajaibnya.

"SEMUA SIAGA!" Kumandang Haddock mengundang seluruh penyihir dari berbagai pelosok kastil untuk berkumpul dan mengepung retakan aneh di tengah cakrawala itu.

Alicia, yang baru terbangun melihat penyihir sebelah kiri dan kanannya menegang menghadap muka pintu. "Apa yang terjadi?"

"Kau, Nona Muda!" Haddock yang berada di depan sang gadis, mendekat. Mukanya tampak tidak ramah. "Apa kau gila? Tidak bisakah kau mengendalikan dirimu sedikit saja?"

"Papa dan Leith masih di luar sana! Kenapa kau tidak sigap--"

"Lihat di depanmu! Apa kau tidak lihat retakan cahaya itu di tengah udara? Bisakah kau pikirkan kemungkinan apa yang terjadi kalau kau menabrak retakan itu secara babi buta?"

Rasanya seperti tamparan yang membuatnya kembali ke alam fana. Saat itu barulah ia dapat memandang jelas retakan di udara yang tampak seperti retakan api tak biasa di tengah antah berantah. Alicia merasa malu akan dirinya sendiri. "Aku… aku menyesal, Grand Magus."

Haddock menangkap kedua lengan sang gadis. "Kau memang seharusnya menyesal!" ia lalu mendesah seraya menambahkan, "Dengar, Nona. Kalau kau tidak ingin menyusahkan orang, tidak ada lagi serangan panik dan tindakan gegabah selama berada dalam pengawasanku! Kalau kau tidak bisa mengendalikan rasa panikmu, bahkan dengan Kesunyian Ilahi hadir di sebelahmu, Ia hanya bisa melihatmu mati konyol!"

"M-maafkan aku, Grand Magus. Aku memang bodoh dan gegabah. Aku hanya khawatir kehilangan Papa dan Leith ...."

"Mereka tidak memiliki kekuatan Arcane sepertimu, tapi ayah dan adikmu adalah penyihir, Alicia. Mereka telah hidup sebagai penyihir. Mereka akan mengalami ini, dan tahu apa yang harus dilakukan di saat demikian. Sedangkan kau?" Haddock menunjuknya. "Kau tidak tampak seperti seorang penyihir. Kau masih harus belajar lebih banyak."

Tamparan kedua kalinya untuk Alicia. Padahal baru saja beliau memberinya pidato motivasi untuk sang gadis, tapi tindakan semborono Alicia membuat kesabaran Grand Magus diuji. Alicia tidak dapat berkata-kata lagi, maka ia menundukkan kepalanya dan memutuskan untuk mundur.

"Sekarang, ayo kita lihat kejahilan aneh apa lagi ini!" Haddock berjalan mendekati retakan itu lebih dekat daripada penyihir yang lain. Retakan itu semakin menyebar dan kentara, kemudian pecah berkeping-keping bagaikan ledakan kaca! Bekas retakan tersebut meninggalkan sebuah lubang besar dengan bentuk tak beraturan, menampilkan latar yang asing, dan sekelompok orang yang asing pula. Sebuah portal penghubung antar ruang, muncul di antara para wizard dan pintu masuk. Segelintir manusia belum tahu kegunaan pintu rupanya.

Orang-orang di balik portal itu satu per satu keluar secara berdua-dua. Wajah-wajah baru itu tidak merepresentasikan satu etnis dan ras. Beberapa adalah orang timur, beberapa berasal dari gurun, bahkan sejumlah wajah Europa yang familiar juga muncul di antara mereka. Pakaian mereka tampak berbeda dengan pakaian para wizard yang necis serta perlente. Tubuh mereka dilapisi pakaian sederhana penuh balutan dan ikatan kain, beberapa lapis banyaknya. Mereka juga mengenakan semacam gelang, jimat dan aksesoris lain yang asing di mata orang Europa. Dari perangai mereka yang terkendali, mereka tampak seperti sekumpulan biarawan terkucil.

Seorang penyihir Magisterium berbisik kepada yang lain. "Bukankah mereka itu…?"

"𝘚𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳? Iya, kelihatannya begitu!" jawab penyihir lain.

"Tapi mereka tidak seperti 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 Roma pada umumnya."

"Karena mereka bukan orang Roma." Haddock menghentikan perdebatan singkat itu. Mereka yang dicurigai sebagai para 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 itu kemudian berbaris rapi. Tongkat-tongkat penyihir Europa sudah berpijar menusuk penglihatan mereka, tapi mereka tetap tenang, tidak melakukan apapun. Mereka seperti sedang menunggu seseorang yang kemungkinan adalah pemimpinnya.

Setelah beberapa orang terakhir keluar, sebuah suara pijakan kaki mendentum keras mendekati portal. Di balik portal yang menampilkan latar yang remang, sebuah sepatu boot kulit hijau menapakkan dirinya ke ubin lantai kastil yang bercahaya. Para wizard masih berdiri kaku, mengira-ngira siapa selanjutnya yang akan keluar. Gema tiap langkah kakinya yang tegas membuat suasanannya semaking tegang, sang Grand Magus Haddock pun tidak bisa berbohong ketika bulu kuduknya ikut bergidik. Ada wibawa magis yang kental pada orang ini.

Seorang lelaki paruh baya, berjanggut tebal dengan rambut gondrong, menampakkan dirinya kepada khalayak ramai yang masih memasang kuda-kuda menyerang ketat. Ia tampak tidak terlalu berbeda dengan para 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 lainnya, tapi semua orang bisa dengan mudah menebak kalau sosok tersebut adalah si pemimpin. Mereka menilai dari perawakannya, dan cara berjalannya sambil menggenggam kedua tangan dari belakang dengan penuh kharisma. Jangan lupakan fakta lainnya bahwa ia membawa serta tiga pemuda yang berjalan di belakangnya bagaikan pengawal. Terlihat absurd melihat tiga bocah tersebut mengawalnya, alangkah lebih cocok jika para pemuda itu dikawal sebaliknya, oleh bapak berjanggut tadi. Wajah milik pemimpin biarawan ini menunjukkan ciri-ciri wajah orang Europa!

Ibarat menambalkan tembok retak, salah seorang 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘭 berkacamata menutup portal itu rapat-rapat. Para 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳r telah berkumpul semua, jumlah mereka enam belas orang banyaknya. Sang pemimpin 𝘴𝘰𝘳𝘤𝘦𝘳𝘦𝘳 berdiri tepat di depan sang pemimpin wizard. Air wajah Haddock berubah, mengisyaratkan dirinya familiar dengan sosok tersebut.

"Kau tahu ...." Haddock membuka percakapan, "kika kau memang bermaksud baik, kau bisa saja menggunakan pintu depan. Silahkan membawa pengikutmu sebanyak yang kau mau, akan kami layani sepenuh hati."

Pria tadi menengok ke belakang. "Begitu," katanya, "Jika kami berbuat demikian, besar kemungkinannya kami akan dijerumuskan ke langit oleh kalian."

Para wizard sontak menyudutkan mereka. Haddock yang masih tenang mengangkat tangannya agar mereka tetap di tempat. "Dengan siapa aku bicara saat ini?"

"Ah, Yang Mulia Grand Magus. Aku tahu kau, aku tahu kau mengenalku."

"Semua orang mengenalku, benar. Tapi tidak semua orang mengenalmu."

"Kau ingin aku memperkenalkan diri agar dirimu dapat mempermalukanku di depan orang banyak?"

"Oh, tidak. Aku adalah seorang pria. Aku tidak menjelekkan orang lain." Haddock memberikan jeda sesaat. "Tidak di publik."

Pria itu melihat sekelilingnya. Dipindainya setiap orang di kantor itu satu per satu. Penglihatan pria itu malahan berhasil menembus kerumunan, mendapati sosok Alicia Crimsonmane yang terpaku di belakang, tegang bercampur cemas. Pikiran sang gadis semakin kacau dibuatnya. Kemudian, pria tersebut mengumbar identitasnya.

"Salam. Seharusnya kalian sudah tahu siapa diriku. Kalian memujaku, menggambarku di mural-mural bangunan kalian. Aku ada dimana-mana."

Para penyihir Magisterium mulai bertanya satu dengan yang lain apa maksud celotehan orang itu.

"Tapi tidak mengapa. Aku akan menjernihkan kembali ingatan kalian," tambahnya. "Aku … dikenal dengan banyak julukan. Aku … Pelayan Dinasti Pendragon. Aku … Penasihat Meja Bundar. Aku … Pengkhianat Bangsa Albion. Pertapa Gila Hutan Caledonia .…"

Ruangan perlahan diliputi rasa heran dan tak mengerti. Sebagian yang sudah menerka--termasuk Alicia, si paling sihir—dan mereka merasa orang ini sedang memuncratkan omong kosong yang paling bodoh yang pernah mereka dengar. Pria paruh baya tersebut bahkan belum menyelesaikan perkenalannya, apalagi menyebut namanya.

Orang itu kembali bertatapan dengan Crimsonmane berkacamata yang salah tingkah. "Akulah sang Pendiri Magisterium Tanah Sihir! Akulah Grand Magus Pertama!"

"Orang ini tidak waras," gumam Alicia.

"Aku adalah Lailoken!"

"Dia memang benar-benar tidak waras!"

"Dan dunia memanggilku Merlin, Penyihir Bumi Paling Agung!" []