Trinketshore adalah kota kecil, bukan berarti membuatnya dipenuhi oleh orang tua yang menikmati sisa hidupnya, dengan demikian menjadikannya kota yang sepenuhnya aman dan tentram.
Para warga di kota Trinketshore juga hidup berdampingan dengan orang-orang yang mempunyai hasrat yang teramat kelam. Para pendosa dan orang bejat hidup di antara mereka.
Belum lama ini, sihir hitam kembali menjangkiti kota kecil itu, yang sudah lama tidak terjadi sejak Perang Sihir Besar. Namun, kejadian tersebut bukanlah awal dari goyahnya kedamaian di kota kecil tersebut.
Mari mundur lebih jauh beberapa bulan ke belakang. Tiga orang tertangkap basah membuang sebuah tong berisi semen padat, yang di dalamnya adalah seorang jenazah perempuan, yang teridentifikasi sebagai Esmer Philo. Perempuan ini ternyata pernah dinyatakan hilang berminggu-minggu sebelumnya. Esmer Philo adalah anak satu-satunya dari John Philo, guru kesenian di sekolah Alicia, Nadine, dan Gilmore.
Penyelidikan segera dilakukan. Terungkap bahwa Esmer disekap, disiksa serta diperkosa kemudian dibunuh oleh ketiga pelaku tersebut yang notabene adalah anak konglomerat Trinketshore.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana reaksi John Philo ketika mendengar ditemukan putri semata wayangnya tewas mengenaskan. Ia hancur sehancur-hancurnya. John Philo terjebak dalam lingkaran setan depresi tiada akhir. Hidupnya saja sudah tidak berarti. Sekalian saja dia mati. Dia tidak punya apapun lagi untuk diperjuangkan. Tapi John tidak berencana untuk mengakhiri diri sendiri saja. Dia ingin membawa ketiga mahluk terkutuk tersebut kembali ke dekapan Hades.
Sayangnya dengan kota sekecil ini, jumlah penegak hukum yang sangat terbatas tidak bisa serta merta menyelesaikan kasus ini dengan mulus. Malah dibuatnya menjadi semakin pelik.
Saat itu, adalah hari terakhir persidangan dimana hakim akan memberikan keputusan vonis. Ketiga terdakwa duduk di depan sang jaksa pemberi keadilan. Khalayak di ruangan menanti hukuman macam apa yang akan dijejalkan ke ketiga manusia bejat itu.
Jumlah pelindung sipil dan jaksa yang sedikit di Trinketshore saja sudah masalah. Bagaimana jika kebanyakan dari mereka malah korup? Tidak butuh lama untuk membuat Trinketshore yang aman dan tentram tertelan dalam kekacauan. Otoritas penegak hukum yang mengurus masalah ini ternyata sudah menerima suap oleh para keluarga terdakwa untuk melancarkan urusan pemberian hukuman seringan mungkin, bebas kalau perlu.
Hakim memutuskan untuk memvonis mereka menjadi tahanan di rumah mereka sendiri!
Mereka meremukkan seorang gadis polos demi hasrat biadab mereka, dan sebagai gantinya, mereka akan berlindung di rumahnya sendiri sambil bermain mesin permainan dan menikmati koktail, menjulurkan dua jari mereka ke khalayak Trinketshore! Keputusan ini membangkitkan gejolak ke seluruh penjuru Trinketshore yang mengamuk, Nadine pun sampai melontarkan sumpah serapahnya di depan telemedia. Mereka mengecam hukuman yang terlampau ringan sebelah untuk sekelompok pembantai perempuan.
John Philo menggeram setengah mati. Serasa kerasukan mendengar keputusan hakim, ia menjulurkan pistolnya, berusaha menembaki ketiga pelaku tersebut. Sial seribu sial, dirinya berhasil dibekuk sebelum semua peluru dalam pistolnya keluar membebaskan diri dari selongsong.
Para aktivis dan penduduk yang sigap langsung berkumpul di alun-alun dan di depan balai kota, guna mengadakan protes. Semakin beringas mereka ketika ayah dari mendiang putrinya diarak ke kereta mesin secara tidak terhormat, sedangkan para pelaku di kawal bak pejabat negara. Padahal area alun-alun dibatasi pasca insiden sihir hitam kemarin. Tapi sekali lagi, pertempuran terjadi di sana antara para pemortes pelempar sampah dan unit otoritas berwajib.
Penjara kantor pelindung sipil sudah layaknya sebuah sel rumah sakit jiwa. Raungan John yang dikurung menggema di sepanjang lorong kantor. Raungan histerisnya mengisyaratkan duka terdalam bercampur amukan meledak-ledak. John membenturkan kepalanya berkali-kali berharap kepalanya bocor dan mati ditempat daripada menanggung pahitnya hidup yang tak tertahankan. Dirinya sarat akan perasaan frustasi. Seorang manusia gagal yang bahkan tak bisa menyentuh sehelai kain sekalipun dari para terdakwa.
Seketika tembok xanadu penjara kosong itu menjadi gelap. Sinar yang datang dari ventilasi berganti kelam malam. John beserta seisi sel ditelan oleh kehampaan primordial. Apakah John berhasil mencabut nyawanya?
John mencoba memahami sekitarnya yang gelap gulita. Tiba-tiba dia melihat sebuah kepala rusa, satu-satunya yang tampak jelas di balik kehampaan itu, melayang kesana-kemari memainkan mata John untuk menangkap sosok itu. 𝘋𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨? 𝘈𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘪 𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘬𝘢?
Sang Kepala Rusa akhirnya berhenti dan menoleh ke pria paruh baya tanpa daya itu. Moncongnya tidak bergerak, tapi dia seakan mencoba memberikan suara batin kepada John.
"Saya turut berduka akan putri Anda, Tuan," kata si Kepala Rusa.
John setengah merinding, membentak mencari jawaban. "Siapa kau? Dimana aku? Apakah aku di alam baka? Aku mau bertemu putriku! Di mana putriku? Beritahu aku, cepat!"
"Putri Anda tidak ada disini, Tuan Philo," jawab si Kepala Rusa. "Anda tidak berada di alam baka. Anda masih duduk berlutut di depan sel Anda."
Si Kepala Rusa melanjutkan, "Tapi diri ini tahu bahwa ketiga pelaku tersebut tidak berhak menikmati makan siangnya di griya tawang mereka, sementara Anda membusuk disini karena menuntut keadilan untuk orang yang Anda cintai."
"Tidak hanya tiga orang itu," jawab John. "Hakim, pelindung sipil, pengacara, para konglomerat jahanam! Persetan, semua orang munafik Trinketshore itu! Mereka mempermainkanku dan 'membuang kotoran' di pemakaman putriku. Para belatung tersebut pasti menyuap semua orang disana! Bangsat! BANGSAT!"
"Jadi, apa yang Anda pikirikan, Tuan Philo?"
"Aku …." John menggenggam keras pilar jeruji yang sebenarnya tidak kelihatan, namun dia seolah menghafal letaknya. "Aku ingin mempermainkan mereka sebagaimana mereka mempermainkan aku. Aku ingin menyiksa mereka semua sampai mereka sendiri memohon untuk mati, sebelum aku membawa mereka semua ke Hades bersamaku!"
Di bawah Kepala Rusa, tepat di tengah letaknya, berpijarlah sebuah bongkahan batu retak keunguan. Batu itu melayang dan mendekat ke arah John Philo.
"Anda tidak bisa menghukum mereka semua dengan bersandar kepada kekuatan Anda saja."
John Philo mengusap matanya. "B-benda apa itu?"
"Benda ini … adalah serpihan kecil dari kekuatan dewa. Bawakanlah keadilan … dengan kuasa maha adil, Tuanku. Lempar para bedebah itu ke jurang Tartarus terdalam." []