John Philo teringat seharusnya dirinya berada di dalam bunker perlindungan. Namun sejauh mata memandang, dirinya hanya melihat hamparan putih tak tercapai bagaikan kanvas kosong.
Dunia putih itu anehnya tidak merasa hampa baginya. Bentangan luas berwarna putih itu sudah benar adanya. Ia merasakan kehangatan dan ketenangan dalam hatinya, membuatnya merasa aman dan nyaman. Dalam pikiran rasionalnya, surga yang tampak kosong ini akan sangat membosankan, membuatnya gila bahkan. Tapi jiwanya bahkan tidak bisa memprotes. Apa yang akan membuatnya bosan jika jiwa ini dengan sukacita menerima rasa aman dan tentram apa adanya?
John Philo mungkin sedang merasakan hadirat Kesunyian Ilahi yang tak memerlukan apapun, hanya hati yang bersukacita. Kedamaian Abadi. Namun, tentu saja perjalanan spiritual seseorang tidak bisa serta merta divisualisasikan dan dianggap sebagai fakta yang konkrit.
Terlena akan suasananya, kanvas yang kosong mulai terisi dengan percikan tinta hitam. John Philo tidak mengetahui siapa pelukis jahil yang mengotori vista suci. Perlahan, firasat buruknya muncul kembali seiring percikan tinta itu membesar dan menyatu menjadi langit gelap hampa. Sebuah mata raksasa sekonyong-konyong muncul dari ketiadaan! John Philo kembali tunduk dalam amarah duniawinya, kepada siapakah yang akan ia lampiaskan kali ini?
Tiba-tiba, mendengar seseorang memanggilnya.
"Ayah, itu kah kau?"
John mengenali suara itu. Matanya jelalatan mencari sumber suara, dan tiba-tiba tangannya digenggam oleh tangan lain yang lebih halus. John melihat sosok gadis setinggi pundaknya, rambutnya panjang sepundak, menatap wajah pria tersebut. Matanya memancarkan kehangatan semesta.
Sepasang tangan lain mengalungi leher John Philo, dan kepalanya menyandar di pundak John. Sesosok wanita paruh baya seumurannya juga menyambutnya hangat dengan dekapan yang sebenarnya sudah hilang dari indera perabanya bertahun-tahun yang lalu.
John Philo tidak bisa membendung air matanya yang meluap. Rasa rindu mengalahkan rasa bencinya terhadap dunia saat ia berjumpa lagi dengan istri dan putrinya yang tiada. Sang putri memeluk erat John yang menangis dari depan.
"Aku ridu kalian," kata John. "Rasa rindu yang ditahan bertahun-tahun ini serasa tertahan satu millenia."
"Ternyata kemampuan berbicara puitis Ayah masih terdengar payah walaupun sudah di alam baka," ujar Esmer, putrinya.
John Philo bingung apakah ia harus menangis atau tertawa, mengeluarkan suara acakkadut tak jelas yang membuat dirinya terbahak-bahak sendiri.
Dalam hening ia memeluk mereka erat. "Aku akhirnya dapat berkumpul kembali dengan keluargaku. Aku tidak akan melepaskan kalian lagi."
Istrinya melihat di balik muka John yang terharu. "Kamu masih menangis, Sayang."
"Tentu saja aku menangis, Sayangku. Bagaimana mungkin aku tidak meluapkan perasaanku saat bertemu dengan kalian?"
Mata raksasa itu tampak tak digubris oleh sang pria itu, sebelum gemuruh menyeramkan mengejutkan mereka bertiga. Reuni yang mengharukan baginya sekali lagi terganggu. Mata itu terus melotot kepada mereka, dengan sarat kebencian dan amarah.
"Ayah," Esmer memanggil John. John menatap mereka berdua dan menemukan wajah mereka yang tidak mengisyaratkan kebahagiaan yang dialami oleh dirinya. "Ada apa, Sayangku?"
"Ayah, kau harus berhenti."
John bingung. "Apa maksudmu, Esmer?"
Esmer menunjuk ke arah mata raksasa tersebut. "Ia masih di sini. Ayah harus menerima kenyataan. Perbuatanmu selama ini tidak akan menyelamatkan kami, malahan membuat kekuatan gelap itu semakin kuat di dunia fana. Aku mohon, Ayah. Jangan biarkan kami lebih sengsara dibuatnya!"
Ayahnya semakin tidak mengerti dengan perkataan putrinya yang tak masuk akal. Setelah semua yang ia lakukan, dirinya bahkan masih dihakimi di dunia akhirat. Oleh keluarganya sendiri.
"Tapi aku melakukan ini untuk kalian! Aku tidak bisa meninggalkan mu dan ibu untuk kedua kalinya!" tegas John Philo.
"Tapi nyatanya Ayah akan meninggalkan alam ini," jawab Esmer. "Ayah masih terikat kekuatan hitam itu. Ayah mendatangkan lebih banyak malapetaka di dunia, dan itu sama sekali tidak membantu kami beristirahat dengan tenang."
Muka John Philo lemas seketika. Untuk apa Ia harus kembali ke dunia nyata jika apa yang Ia pedulikan ada di depan matanya?
"Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa membebaskan kalian?"
"Kamu tidak bisa, Sayang," istrinya menjawab, "Kami terjebak di darul baka. Selalu terjebak sedari awal."
"Apa?"
"Namun, kamu bisa membantu mencegah dirimu dan kami menderita lebih hebat lagi," sang istri menunjuk ke belakang. John Philo menoleh dan melihat asal-usul dunia putih itu berasal dari sosok yang agak jauh, yang ternyata sedang berusaha keras menghapus lukisan hitam pekat yang mengotori kanvas.
Sosok itu tidak lain tidak bukan adalah muridnya, Alicia Crimsonmane, sedang menahan kekuatan Khaos dengan Orb. John bertanya-tanya apa yang muridnya lakukan di sini.
Sang istri memberitahukan sesuatu kepada sang guru seni. "Hamparan putih ini adalah alam bawah sadarmu. Mata raksasa itu, kuasa Khaos, dan pengaruh kegelapannya sedang menjangkit dirimu. Ia jugalah yang menahan kami dalam dunia arwah.
"Gadis itu sedang membersihkan jiwa Ayah dari kegelapan. Dan entah kenapa, kekuatannya bahkan memampukan kami untuk bebas dari dunia kami berada, meski hanya sementara!" terang Esmer. "Kekuatan ini, sangat menenangkan, dan menyegarkan. Sudah lama kami tidak merasakan euforia ini."
Alicia Crimsonmane. Walaupun hanyalah seorang murid biasa di mata sang guru, entah mengapa dia bersikeras untuk menyelamatkan dirinya. Hanya di saat itulah, terbukalah mata sang guru seni, benaknya mulai bermunculan ilham ilahi.
"Katakan apa yang aku harus lakukan," ujar John.
Keduanya mulai menunjukkan senyuman tulus kepadanya. Berkatalah istri John kepadanya, "Menyeralah."
"Menyerah?"
"Kau tidak perlu menderita karena kami lagi. Itu sudah cukup menyiksa kami. Relakanlah kami. Terimalah bahwa kami sudah tidak dapat menemanimu lagi di dunia fana."
"Buanglah duka dan kebencianmu, Ayah," ujar Esmer, putrinya. "Jangan khawatirkan kami lagi. Kekuatan gadis yang baik itu niscaya menguatkan kami di alam sana."
John Philo masih berat hati untuk meninggalkan kedua orang tersayangnya. Tapi John harus menerima kenyataan. Dirinya masih hidup. Realita masih memintanya untuk tetap hidup. John Philo harus membuka lembaran baru, dan memperjuangkan kehidupannya sebaik mungkin dengan harapan agar layak dipertemukan lagi dengan istri dan putrinya kelak, tidak peduli walaupun ia harus memulainya dari penjara. Ia harus pasrah akan kenyataan, namun tidak membuatnya menyerah dalam kedengkian, seperti yang dikehendaki mata kegelapan yang jahat itu.
John menatap kedua wajah yang jelita dan murni. "Maafkan aku, karena aku gagal melindungi kalian. Maafkan aku, karena aku malah membuat kalian kian tersiksa akibat perbuatanku. Aku takkan melakukan hal yang sama dengan hidupku."
Senyum ramah sang istri meluluhkan hatinya. "Tidak ada yang perlu disesali. Kami sudah tenang disini. Sekarang, pergilah, John Philo!"
"Aku menyangi kalian."
"Aku menyayangimu juga, John"
"Aku sayang kamu, Ayah!"
"Jangan kemana-mana. Aku akan kembali!"
"Kami tidak pernah pergi kemana-mana."
John Philo perlahan melepaskan Esmer dan istrinya. Sentuhan kulit yang berpisah dan menjauh, hanya membuat mata yang di atas semakin mengamuk, melontarkan suara ledakan yang memekikan telinga.
"Aku tak takut lagi padamu, penipu," kata John Philo. "Kau tak akan merebut jiwaku kali ini!"
Mata tersebut semakin beringas, namun semakin melemah pula. John telah belajar untuk pasrah akan sesuatu di luar kendalinya. Semakin ia menjauh dari keluarganya, semakin mengecil cakupan kuasa kegelapan yang mengerogoti jiwanya. Mata jahat tersebut kemudian hancur disambangi dengang tangisan yang menjerit-jerit.
Sebelum akhirnya berpisah, John memutuskan untuk melihat keluarga terakhir kali, setidaknya untuk saat ini. Esmer dan istri yang tercinta melayangkan senyuman perpisahan kepada sang guru seni itu, lalu perlahan lenyap dari tatapan. John mulai merasakan gaya tarik hebat dibelakangnya, maka dia melepaskan kendali dirinya, dan membiarkannya ditarik kembali ke alam mortal.
***
Dalam proses pemurnian gurunya, Alicia seperti melihat penglihatan John Philo bersama mendiang keluarganya saat itu, seolah menjadi penonton bayangan. 𝘈𝘱𝘢-𝘢𝘱𝘢𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶? 𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢? 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘖𝘳𝘣 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦 𝘴𝘪𝘵𝘶? Alicia bisa melihat mata John Philo berlinang di dunia nyata, di saat yang sama ia melihatnya menangis karena bertemu dengan apa yang pria itu percaya, sebagai keluarganya di alam bawah sadar.
Pusaran Arcane murni kemudian meluluhlantakkan seisi ruangan. Para pelaku tidak bisa melihat apapun saking silaunya. Mereka semua hanya bisa meringkuk di balik meja dan lemari di pojokan, berharap bongkahan beton-beton melayang itu tidak mendarat ke kepala masing-masing insan.
Pemurnian sudah hampir selesai. Tubuh John Philo telah kembali seperti semula, minus bekas lukanya. Matanya yang berpendar ungu kini sebiru samudera. Dari mulutnya yang menganga, keluar energi sihir hitam yang memberontak, mencoba kabur. Aliran Arcane berhasil menarik inti partikel Protos keluar dari mulutnya, dan mencabik-cabik habis sihir Khaos itu. Ruangan seketika kembali seperti semula, listrik yang awalnya padam kini kembali menyala.
Alicia dan John Philo langsung terkapar. Aliran Arcane juga ikut sirna. Alicia penuh keringat dan sangat kelelahan, dirinya bisa saja pingsan sewaktu-waktu. Sang gadis lalu mencoba meraih tembok agar bisa bersandar, kemudian mengambil Orb, memasukkannya ke dalam tas dan menguncinya rapat-rapat.
"Apakah kamu baru saja memberi bapak mimpi indah, Alicia?" kalimat yang keluar dari suara yang rintih, yang ternyata berasal dari guru seninya yang baru sembuh.
Alicia hanya menjawab, "Entahlah, pak Philo. Aku juga melihat apa yang bapak lihat. Sepertinya itu bukan mimpi."
Para pelaku mulai berjalan berkerumun mendekati Alicia. "Nona, apa kau tidak apa-apa?"
Alicia menghalau mereka, isyarat agar mereka jangan mendekat. Dengan suara lelah, ia berpesan kepada mereka, "Tolong jangan memberitahukan siapapun apa yang kalian barusan lihat. Aku mohon, demi keselamatan kalian."
𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯, 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 lebih berdengung di telinga mereka sebagai ancaman daripada permintaan, mengingat kejadian yang baru saja mereka alami. Mereka pun mengangguk mengiyakan permintaan Alicia.
Para wizard berhasil berkumpul di depan pintu bunker yang dijaga oleh kedua patung rekannya. Mereka mendengar suara dentuman keras berulangkali kemudian berganti senyap. Kesunyian itu membuat mereka panik, si pembunuh mungkin sudah selesai menyusun karya rupanya. Mereka cepat-cepat mengeluarkan sebotol ramuan minyak khusus ke engsel pintu, lalu mengucapkan mantra.
"𝘐𝘨𝘯𝘪𝘴 𝘚𝘤𝘪𝘯𝘵𝘪𝘭𝘢!"
Minyak itu berubah menjadi percikan api dan lava super panas. Engsel pintu brankas meledak dalam waktu singkat. Terkejutlah mereka saat pintu tersebut tumbang, semua orang tercetak dalam netra dengan pakaian yang compang-camping dan tanpa terduga, sehat wal afiat. Belum lagi mereka juga melihat John Philo dan Alicia yang malah terbaring lemas.
***
Kantor sihir sudah ramai dipenuhi pelindung sipil dan para jurnalis. Para penyihir menggiring para pelaku ke kereta tahanan, mereka akan langsung di antar ke pusat kota Eidyn malam itu juga. John Philo juga digotong ke kereta medis untuk menjalani pengobatan dan akan ikut diadili di ibukota.
Alicia berbalut selimut duduk di depan pintu kereta medis sambil melamun, melihat pemandangan lalu-lalang orang yang mencari kesibukan di sekitar kantor sihir. Bagian lehernya sudah ditutupi pembalut luka setelah kulitnya yang menjadi plastik berhasil dipotong dan dicabut. Matanya lalu tertuju ke John Philo yang digotong ke kereta. John memandangnya dari kejauhan, memberikan senyuman samar kepadanya. Namun tidak seperti sebelumnya, senyumannya hangat dan tulus, seolah tersirat pesan "terima kasih", atau "maafkan aku." Apapun artinya, Alicia juga membalasnya dengan senyuman and anggukan.
Taylor melihat interaksi yang tidak biasa antara mereka berdua, menghampiri Alicia sambil memegang secangkir kopi.
"Dia kelihatannya sangat puas. Apa yang terjadi di dalam sana?"
"Beliau kehilangan kekuatannya dan sadar. Itu saja yang bisa kukatakan."
"Begitu ya? Kelihatannya sangat singkat dan membosankan untuk suatu kejadian yang membuatmu berantakan seperti ini."
Alicia hanya tersenyum. "Yah, mau bagaimana lagi, Pak. Tidak semuanya seepik yang kita bayangkan."
Taylor tetap menatap sang gadis dengan curiga, namun dia tidak mau terang-terangan dengannya dulu. "Anda bilang Anda punya alternatif lain untuk menghilangkan partikel Protos. Masalahnya, itu hanya bisa dilakukan dengan kekuatan khusus," katanya. "Apa Anda merahasiakan sesuatu dari kami, nona Alicia?"
"Tentu saja ada yang kusembunyikan dari kalian," jawabnya frontal. "Tapi aku memilih untuk tetap merahasiakannya sampai kusampaikan kepada Papa terlebih dahulu."
"Donar, ya? Haha. Bapak dan anak sama saja. Sama-sama orang aneh."
Taylor mulai bergegas. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi para tahanan selamat, dan John Philo tidak harus mati. Itu bagus. Anda mungkin sedikit mencurigakan, saya merasa Anda dalang dari semua kejadian di bunker tadi.
Alicia tidak menjawab sepatah katapun.
"Tetapi hari sudah larut, kita semua juga kelelahan. Anda juga harus kembali ke rumah dan beristirahat. Tentu saja percakapan ini belum selesai. Kita akan bertemu lagi lain waktu. Selamat malam, Nona Alicia." Taylor meninggalkannya sendiri lagi.
"Selamat malam, Tuan Taylor!" []