Huaa!
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun tengah menangis di kamarnya. Ia tampak bersedih karena kepala bonekanya terputus. Satu anak lain tampak tertawa melihat kejadian itu.
"Kenapa kamu menangis? Bukannya itu menyenangkan?"
"Aku tidak bisa terus menuruti perintahmu, kau bukan aku, kita tak sama!"
"Alah, kamu sendiri yang bilang kalo kamu lemah dan ingin menjadi orang kuat. Giliran kamu jadi orang yang kuat, kenapa kau marah padaku?"
Anak yang tengah menangis itu melempar cermin di depannya dengan mainan, membuat anak yang terus menertawakannya dalam cermin menghilang begitu saja.
Sejak saat itu, Edward selalu merasa dirinya hanyalah bayang-bayang dari sisi lainnya yang selalu ada dalam cermin dan pikirannya.
*****
Brak!
Terdengar suara kaca pecah. Widyo bergegas menuju kamar anak laki-lakinya yang jarang sekali terbuka.
Saat masuk, ia mendapati anaknya tengah menghantam kaca dengan mainan dan dengan kepalan tangannya. Ia terus memaki kaca itu untuk mengusir seseorang.
"Pergi kau, Alvin! Aku membencimu!"
Melihat kejadian itu, Widyo segera menahannya dan menggendongnya menuju ranjang.
"Apa yang terjadi, Nak?!"
Edward tampak memelotot dengan nafas yang sangat berat. Ia tak bisa memalingkan pandangannya dan terus menatap kaca yang sudah hancur.
Seorang gadis di balik pintu menangis melihat apa yang terjadi dengan saudara kembarnya. Ia tak pernah mengira jika kakaknya harus menderita dengan semua ini.
"Emily, kenapa kamu di sini?" ucap Lastri sembari membawanya kembali ke kamar.
"Ibu, Edward kenapa?" tanya Emily dengan tersedu-sedu.
*****
Keesokan harinya, mereka membawa Edward ke psikiater dengan harapan mengetahui apa yang terjadi pada anaknya.
Tiba di sana, Widyo menceritakan apa yang terjadi kemarin.
"Saya melihat anak saya terus-terusan menghantam cermin dan memaki nama Alvin, Dok."
"Apa yang kamu lihat, Edward?" tanya Dokter pelan.
"Bunuh, bunuh, bunuh, ayo bunuh dia Edward," jawab Edward meracau.
Lastri terkejut mendengar hal yang diucapkan Edward. Ia seperti diperintah oleh orang lain untuk melakukan kejahatan.
Widyo menggenggam erat tangan Lastri.
"Oke, lalu, siapa Alvin?"
"Alvin itu mirip aku, Dok. Dia baik banget, kalo kesal, dia suka bantu aku buat marah," jawabnya polos.
Sang Dokter mengerutkan wajahnya mencoba mencerna pernyataan gamblang yang di utarakan anak lima tahun.
"Halo, apakah ini Alvin?" tanya Dokter seraya melambaikan tangannya.
"Hehehe, halo, Dokter," jawabnya dengan tersenyum lebar.
Lastri terkejut hingga terjatuh dari kursinya. Ia tak percaya jika Edward memiliki sosok lain pada tubuhnya. Widyo menepuk bahu Alvin dengan tatapan yang tajam.
"Siapa kamu? Di mana Edison anakku?"
"Aku ini anakmu, Ayah, dalam versi yang lebih baik."
Widyo menarik lengan bajunya hingga mengangkatnya dengan geram.
Sang Dokter kewalahan melihat kejadian itu, dia segera mengehentikan Widyo yang tengah marah pada sosok yang bernama Alvin pada tubuh Edward.
Sang Dokter segera membawa Widyo ke ruangan lain dengan tergesa.
"Ini adalah kasus yang sangat langka. Anak anda kemungkinan memiliki dua kepribadian atau yang kita kenal kepribadian ganda," bisiknya.
"Biasanya, saya tidak bisa langsung menduga atau melihat diagnosa pasien dalam satu kali pertemuan, tapi melihat kejadian barusan membuat saya merinding dan percaya jika hal seperti ini memang ada," tambahnya.
Widyo terdiam dengan mengepalkan tangannya erat. Ia tak percaya dengan apa yang anaknya alami.
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
Sang Dokter pun tampak kelimpungan mendapat kasus yang sebelumnya tak pernah ia tangani.
"Kapan awal mula dia 'berubah'?" tanya sang Dokter.
"Saat menghantam cermin," sahut Widyo.
Sang Dokter segera membawa cermin yang berada di ruang gantinya.
"Ambil ini," ucap dokter pada Alvin.
"Jangan menangis, aku di sini membantumu mencari orang yang nyaris menghabisimu, Edward," ucap Alvin pada pantulan cerminnya sendiri.
"Siapa yang hendak membunuhnya?"
Alvin tiba-tiba memegang keningnya seraya mengerutkan wajah. Ia tampak kesakitan dan pingsan.
Anak itu kembali membuka matanya dengan menggeliat, seperti terbangun dari tidur yang panjang.
"Nak?" tanya Lastri.
"Ibu...," Edward memeluknya erat dengan tangisan yang menyambar.
"Ini Edward, bu...," Lastri semakin erat memeluknya.
Hembusan nafas lega membuat sejuk suasana ruang konsultasi. Mereka baru saja melihat satu kejadian paling langka yang mungkin hanya ada pada kisah film atau novel fiksi saja.
Huft.
Dokter tampak bisa bernafas lega.
"Dok, apa yang harus kita lalukan kedepannya?" tanya Lastri.
"Saya sarankan untuk terus memataunya hingga dia sendiri bisa melawan alter ego-nya itu. Karena pada teori yang saya baca, alter ego muncul dari rasa ketidakberdayaan dan imajinasi yang kuat akan sosok lain yang akan meningkatkan identitas kita, tapi sangat sedikit kasus di mana dua jiwa bisa sadar dan berbagi tempat. Banyak kasus menyebutkan jika mereka memiliki kehidupan, identitas, sifat, usia, pola pikir, kecerdasan yang berbeda, dan tak bisa saling mengingat memori masing-masing, apalagi berbagi tempat," tuturnya.
"Nak, tadi pas Edward di sini, kamu di mana?" tanya Widyo.
"A, aku tidur, Ayah. Aku bisa dengar apa yang dia lakukan, bicarakan, pikirkan, tapi aku nggak bisa apa-apa selain menyaksikannya," jelas Edward.
"Kenapa gaya bicaramu mirip sepertinya? Kau seperti anak remaja," tanya Lastri.
"Dia bisa menyerap semua aktivitas yang Alvin lalukan. Dalam arti lain, Edward memiliki alter ego yang lebih dewasa dan memiliki pengetahuan yang lebih darinya," sahut Dokter Mey.
"Edward, kamu tahu berapa usia Alvin?"
"10 tahun," jawabnya seraya memainkan boneka yang baru ibunya beli.
"Baik, sepertinya hari ini cukup sekian. Dan mulai hari ini, saya bersedia menjadi konsultan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan untuk memantau dan meneliti kasus yang terjadi pada Edison ini. Apakah bapak dan ibu setuju?"
Widyo dan Lastri sempat bertatapan hingga akhirnya mereka mengangguk bersama.
*****