Dalam sebuah rumah mewah di tengah hingar bingar kota, terdapat satu keluarga yang sangat berkecukupan. Mereka tinggal bertiga, yakni sepasang anak kembar dan seorang ibu. Ayah kedua anak itu sudah meninggal dunia empat tahun yang lalu.
Anak pertama bernama Edison Angelo Prince Wardiana atau sering dipanggil Edward. Anak kedua bernama Emilia Stephanie Angel Wardiana atau sering disebut Emily. Mereka adalah siswa SMA kelas 11 di sekolah swasta yang sama di ibu kota.
Di cerahnya senin pagi, Lastri pergi berangkat bekerja ke kantor dengan supir pribadinya. Begitu pula dengan Edward dan Emily yang tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan sekolah sembari menguyah roti di mulut mereka.
Emily adalah tipe anak yang mungil, ceria dan periang. Dia memiliki 15 ribu pengikut di Instagram dan juga paras cantik yang didambakan anak-anak seumurannya.
Sedangkan Edward adalah anak yang tampan, tinggi, namun dingin dan terlihat jarang berekspresi. Wajah datarnya tak jarang membuat asumsi orang lain mengatakan bahwa dia tak memiliki gairah dalam hidup.
Emily bergegas dengan segala barang bawaan di kedua tangannya. "Aku berangkat duluan, ya! Jangan mengikuti terlalu dekat."
Edward mengangguk.
Emily pergi lebih dahulu menggunakan ojek online di susul oleh Edward yang berjalan kaki menyusuri komplek menuju gerbang besar sembari menunggu angkutan umum.
"Masih pagi padahal, tapi kok ibu tadi buru-buru banget ya," ujarnya dalam hati.
Edward tak punya banyak teman, ia bertegur sapa dengan temannya hanya sebatas di sekolah. Menjadi orang yang sukar bergaul bukanlah hal yang mudah. Energinya mudah sekali terkuras.
Satu tahun berada di bangku kelas 10 tak membuatnya akrab dengan siapa pun. Ia sudah mengenal baik semua teman kelasnya, tapi sikap yang dingin dan wajah tanpa ekspresi itu malah membuatnya semakin kesulitan untuk berteman dengan siapa pun.
Selama kelas sepuluh ia selalu menghindari semua orang, tanpa kecuali.
Hari ini, pada tahun ajaran baru, ia bertekad untuk mendapat beberapa teman.
"Huft, here we go," desahnya.
Setelah menunggu di halte beberapa saat, bis tiba dengan tidak menyisakan kursi kosong. Ia pun segera naik bis tersebut menuju sekolah dengan berdesak-desakan. Tak ada yang spesial untuknya di hari pertama sekolah ini, hanya berharap mendapat nilai yang bagus, naik kelas, dan lulus secepatnya.
*****
Sesampainya di sekolah, Edward hampir terlambat untuk mengikuti upacara. Anggota OSIS yang bertugas menegurnya, tapi ia sama sekali tak merespon apapun, hanya berjalan dengan santai di tengah keramaian. Bukan hal yang aneh jika Edward selalu mengulur-ulur waktu untuk tiba di sekolah.
"Cepat, Kak! Upacara akan segera dimulai."
Setelah semua berbaris rapi, upacara di mulai. Kelas Emily menjadi petugas Senin itu dan dia sendiri yang menjadi pembawa acara.
Semua orang sangat senang melihatnya, bak selebriti muda sekolah yang di kagumi banyak orang. Rambutnya yang hitam sebahu dan sorot mata yang bersinar dengan bibir tipis dibalut lipbalm membuatnya menjadi sorotan yang membuat tiap orang tak bisa memalingkan pandangan mereka. Mungkin, hanya Edward satu-satunya orang yang tak peduli dengan hal itu.
Upacara berjalan khidmat hingga akhir.
Jam 08.00, bel masuk berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dengan berbagai ekspresi.
*****
Bu Ainun tiba di kelas mengenakan setelan terbaiknya dengan kerudung coklat yang menbambah citra dirinya.
"Selamat pagi semuanya! Selamat datang di tahun ajaran baru. Bagaimana liburan kalian?!"
"Pagi, Bu. Membosankan...," sahut semua murid.
"Wah, iya? Kalau begitu, biar nggak bosan, kita buka pembelajaran pertama di tahun pelajaran ini dengan ... Matematika!"
Whoaa! Insane!
Semua murid bersahut menandakan antusisas yang sangat tidak membara.
Jadwal pertama kelas Edward adalah Matematika. Ia sangat mahir dalam pelajaran ini, tapi enggan untuk bekerja sama. Itulah mengapa dia kerap di pandang aneh oleh teman kelasnya sejak kali pertama mereka bertemu.
Dalam setiap pelajaran, ia tidak aktif, tapi dalam segi mengerjakan tugas dan ulangan, dia selalu bisa mendapat nilai paling tinggi di kelas. Edward adalah anak XI IPS-1.
Bel kembali berdering menandakan pergantian jam pelajaran.
*****
"Emily, kamu tadi keren banget! Bangga banget aku," ucap Jessika seraya mengacungkan jempolnya.
"Wah, ada maunya, nih," sahut Emily sembari memicingkan matanya.
Jessika mengerjap-ngerjap matanya menunjukan buku latihan yang masih kosong.
"Kan ... udah ketebak," timbal Emily seraya berbalik untuk meraih buku di ranselnya.
"Thank you, buddy!" ucap Jessika seraya mencubit pipinya.
Alisya menghampiri mereka dengan membawa rujak yang segar.
"Mumpung pak Murodin belum datang, rujak dulu," ucap Alisya dengan mulut kepedasan.
"Eh, bagi, dong!" sahut siswa lainnya yang tak kuat mencium aroma rujak yang menggiurkan.
Mereka menikmati rujak seraya menunggu guru pelajaran tiba,
*****
Hari itu, guru meminta para siswa kelas XI IPS-1 membuat kelompok untuk menjelaskan mengenai kasus sosial yang tengah marak terjadi. Para siswa terlihat ricuh mencari pasangan kelompoknya masing-masing. Tampak mereka tengah berebut sembari menyered kursi mereka sebagai tanda keikutsertaannya.
Tak ada yang mengajak Edward, ia hanya duduk sendiri sambil memainkan ponselnya. Lubuk hatinya khawatir tak ada yang mengajaknya. Ed hanya pasrah menunggu ada orang baik yang peduli padanya.
Tiba-tiba, seorang siswi berambut sebahu mengajaknya bergabung. Gadis itu bernama Fidhelia Rinjani Walker, sering dipanggil Fitri, anak guru Fisika di sekolah ini.
Fitri menghampirinya sembari memasang wajah iba. "Edward, kamu sama kelompok siapa? Gabung sama kita aja, yuk!"
Edward mengangguk seraya menatap Fitri sungkan.
"Ayo sini," tambah Fitri hangat.
Mereka berkumpul di meja Fitri yang terdiri dari enam orang: Fitri, Edward, Yuni, Hafidz, Acep, Dhea.
"Guys, menurut kalian kalo kita bahas perihal penyalahgunaan narkoba begimana?" ujar Fitri
"Bagus, Fit. Aku setuju," jawab Hafidz
Yuni menimpal percakapan mereka, "Eh, begimana kalo kita bahas isu anak kelas 12 yang hampir bunuh diri aja? Tapi kemas rapih. Orang-orang bilang, kan, dia punya masalah kejiwaan."
"Heh, nggak sopan! Kalo ada yang tersinggung terus di laporkan ke orangnya begimana?!" semprot Dhea.
"Ya maaf, tapi kayaknya seru deh kalo di bahas...,"
"YUNI!" semprot semua anggota.
"Edison, ada masukan?" tanya Acep.
"Nggak ada," jawabnya dengan nada penuh kebingungan.
Edward tak bisa bersosialisasi dengan baik, dia hanya sedikit bicara dan sulit baginya untuk mengutarakan pendapat secara langsung. Bahkan, ia menjelaskan pendapatnya melalui Whatsapp pada Fitri.
"Fit, bagaimana kalo kita bahas apa yang di utarakan kamu aja? Kayaknya hal itu lagi hangat di bahas di sini."
"Boleh, tuh." jawab Fitri.
Fitri mencoba mendiskusikan usulan Edward. Ia meminta pendapat pada teman-temannya agar membahas perihal narkoba saja, mengingat satu minggu yang lalu viral sebuah berita mengabarkan adanya siswa yang menjadi pengedar narkoba jenis sabu-sabu di sekolah sebalah.
"Guys, bagaimana kalo kita bahas tentang sabu-sabu aja?"
"Boleh, Fit. Tapi nggak apa-apa emang? Kalo ada yang tersingggung," sahut Hafidz seraya merendahkan suaranya.
"Nggak apa-apa, kok. Kita, kan, nggak bermaksud ke sana." jawab Yuni dengan percaya diri.
"Oke, deh," balas Hafidz.
Setelah beberapa saat berdiskusi dan bertukar pendapat, akhirnya laporan itu selesai. Setiap kelompok diminta mempresentasikan apa yang mereka kerjakan dan kelompok Fitri mendapat giliran pertama.
Mereka mulai menjelaskan dengan rinci dan jelas pada seisi kelas.
"Selamat pagi semua! Perkenalkan nama saya Fidhelia, di sini kami akan membahas perihal masalah sosial mengenai penyalahgunaan narkotika jenis sabu-sabu. Mohon untuk di simak, ya."
Dhea maju pertama. "Metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin), disingkat met, dan dikenal di Indonesia sebagai sabu-sabu adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Obat ini dipergunakan untuk kasus parah ADHD atau narkolepsi dengan nama dagang Desoxyn, tetapi juga disalahgunakan sebagai narkotika. "Crystal meth" adalah bentuk kristal dari metamfetamina yang dapat dihisap lewat pipa. Sabu-sabu adalah jenis narkoba dengan sifat stimulan dan bekerja pada sistem saraf pusat. Efek mengonsumsi jenis narkoba sabu ini amat buruk bagi pemakai. Misalnya, dalam jangka pendek sabu membuat tekanan darah dan denyut jantung si pemakai meningkat dari kondisi biasanya," ujar Dhea.
Hingga di sesi tanya jawab, tiap kelompok bertanya hal yang rumit dan itu mengenai apa yang di utarakan Edward tadi. Mereka meminta siapa yang mencetuskan hal itu harus menjawabnya.
"Begimana nih, guys? Ini pertanyaan di bagian Edward, aku nggak tau jawabannya," keluh Fitri seraya menggaruk-garuk rambunya.
Melihat keadaan menegang, Ed berusaha untuk menghela nafas dalam dan menghembuskannya perlahan untuk lembali menormalkan kembali jantungnya yang berdegup kencang. Ia sadar inilah gilirannya.
Ed menepuk bahu Fitri berbisik. "Fit, aku mau coba jawab. Mereka mengerjai kita."
Edward menjawab semua pertanyaan yang di tanyakan tiap anggota dengan singkat, padat, dan jelas. Warga kelas tak pernah melihat dirinya begitu fasih dan lancar dalam berbicara karena selama dia berada sekelas dengan mereka, Edward sangat irit kata. Orang-orang memberi berbagai ekspresi terhadap hal yang di jelaskannya.
Guru mata pelajaran memberikan tepuk tangan kepada kelompok Fitri atas kekompakan mereka, di ikuti semua murid.
"Thank God, I did it," batin Edward.
*****
Bel istirahat berbunyi, semua orang pergi ke kantin dengan teman dan kelompoknya masing-masing. Namun, untuk Edward, ia tak pernah peduli harus pergi sendiri atau bersama orang lain.
Ed berjalan santai di koridor dengan earphone di telinganya. Para siswi selalu terpesona dengan wajah tampan dan tubuh tingginya, tapi mereka tak pernah ia hiraukan. Ed selalu bertanya-tanya mengapa acap kali dia berjalan di koridor banyak mata yang selalu menatapnya. Padahal, ia tak banyak tingkah dan tak berpenampilan menonjol seperti siswa lain.
"Kapan aku merasa aman, Tuhan," batinnya mengeluh seraya berjalan menunduk di koridor yang selalu riuh.
*****
Tiba di Kantin, ia memeriksa keadaan sekitar dan mengamati kedai mana yang terlihat sepi. Nampaknya kedai mie ayam bakso favoritnya tengah sepi. Edward bergegas menuju kedai itu.
"Pagi Edward. Mau pesan apa?" tanya Bu Inem ramah.
Ed memesan Mie Ayam Bakso di warung langganannya, tak lupa Es Teh Lemon sebagai pelengkap. Baginya, tempat paling nyaman di kantin berada di bangku pojok. Itu adalah zona aman baginya saat berada di keramaian.
Setelah menunggu beberapa lama, Bu Inem datang mengantarkan pesanannya. Ia selalu ramah dan memasang wajah yang berseri dengan siapapun. Tak terkecuali pada Edward yang selalu terlihat murung, kesal, marah, dan kaku.
"Terima kasih, bu," ucap Edward datar.
Di saat Ed makan, ramai suara teriakan para siswa. Rupanya Emily datang bersama dua temannya yang selalu berpenampilan wah, yaitu Alisya dan Jessika.
Maklum saja, mereka adalah selebritas Instagram yang memang berpengaruh terhadap eksistensi sekolah. SMA UTAMA banyak mendapat sorotan karena aktifitas dan kreatifitas Emily selaku admin Instagram resmi sekolah.
Ed bosan melihat mereka dan tak habis pikir mengapa ibunya harus memasukan dua anak itu ke sekolah yang sama. Beruntung, tak ada yang curiga jika mereka saudara kembar, mengingat sikap mereka memiliki dua sisi yang bertolak belakang.
"Emily, kamu cantik banget hari ini!"
"Iya! Suara kamu merdu banget pas upacara!"
"Hari ini pake parfum apa, nih, wangi banget!"
Begitulah kira-kira keseharian Emily sejak masuk SMA, menjadi primadona junior yang fenomenal. Bahkan, ia digosipkan pernah memiliki hubungan dengan salah satu guru lajang di sekolah hingga berita itu sampai ke telinganya.
Di saat kantin ramai karena Emily, itulah waktunya Edward harus pergi karena tak nyaman dengan suasana lebay seperti itu.
"Aku harus cepat cepat pergi," gumam Edward.
Rupanya, Emily duduk di bangku yang berdekatan dengan Edward, membuat semua siswa genit duduk merapat melihatnya makan dan bertanya hal bodoh padanya.
Ed melintas dengan datar tanpa rasa kagum atau terpesona pada Emily seperti siswa lainnya. Itu adalah hal yang tidak wajar, mengingat semua siswa sangat suka padanya.
"Siapa, sih, tuh anak?"
"Edward. XI IPS 1."
"Kok, gitu amat, ya? Sampe-sampe nggak peduli ada cewek cantik juga."
"Iya, tuh, apa jangan-jangan dia nggak doyan cewek?"
"Bukannya cowok pinter sama good looking kaya dia bakal gampang dapet gebetan, ya?"
"Iya anjir, ganteng-ganteng mubazir!"
"Idih, culun kayak gitu kau sebut ganteng?"
"Hahaha."
Hampir saja emosi Edward meluap. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya seraya berjalan menjauhi mereka.
Ed sadar bahwa sudah cukup untuk diam dan merasa aman daripada mencari masalah, apalagi menyangkut saudara kembarnya.
Memanfaatkan hal yang terjadi, Emily mengatakan bahwa kita selaku teman satu sekolah tidak baik bersikap seperti itu. Dia memulai drama klasiknya untuk menambah rasa sayang orang lain kepadanya.
Itulah Emily, itulah Edward.
*****
Seorang pria muda tengah bersiap menuju sekolah. Ia berdiri di depan cermin wastafel dengan wajah pasrah.
"Udah aku bilang! Aku nggak mau jadi anak seperti ini," ucap seorang anak pada bayangan di cermin wastafel kamar mandinya.
"Tapi kamu harus kayak gini supaya kamu bisa tahu semuanya dengan gamblang, Edison."
"Aku capek, kenapa nggak kamu aja yang jadi diri aku? Kenapa harus aku?"
Cerminan dirinya itu pergi membelakanginya tanpa sepatah kata.
Edward mendengkus kesal karena ia harus selalu berdebat dengan sosok lain dalam dirinya.
Ia memoles wajahnya pucat dengan rambut poni yang menutupi setengah wajahnya. Edison tak ingin orang mengetahui hubungan dia dengan Emily yang sesungguhnya.
*****