Hari ini adalah pelajaran Olahraga. Semua siswa bergegas pergi ke ruang ganti. Edward tak bisa lepas dari ponsel dan earphone-nya.
Willy menghampirinya dengan sok kenal sok dekat. "Ed, kemarin hebat banget kamu pas presentasi!"
"Iya, Ed! Kau babad habis mereka!" sahut Erik yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Dua anak itu adalah teman sekelas Edward yang sudah lama ia kenal. Bahkan Edward tahu jika mereka sudah lama selalu mengikutinya dan sangat ingin berteman bersamanya. Ed tak pernah menanamkan sedikit pun hasrat untuk berteman dengan orang lain, mengingat dengan dirinya sendiri pun ia masih belum bisa damai.
"Ed, kamu beneran nggak mau ikut eskul Basket? Udah hampir setahun aku ajak. Sayang banget Ed, kamu ada bakat tapi nggak di kembangkan. Kalo aku jadi kamu, sih, aku mau ikut semua ekskul, supaya bisa gebet semua cewek, haha!" Willy terus membual.
Edward hanya diam saat mendengar pujian Willy mengenai kehebatan dirinya dalam bermain basket.
"Aneh banget, nih, anak," ujar Alvin dalam pikiran Edward.
William Davis Al-Fatih adalah seorang kapten tim basket dan juga ketua klub. Dia adalah salah satu anak populer di sekolah. Selain tampan dan tinggi, auranya sering memikat banyak wanita untuk bisa bersamanya.
Willy masuk dengan jalur beasiswa prestasi. Ayahnya bekerja sebagai supir pribadi di Dubai, sedangkan ibunya telah meninggal saat dia lahir. Willy tinggal bersama dua kakaknya di pinggir kota.
Ed menatap mereka tajam. "Makasih. Perihal basket, biar kupikirkan lagi."
"Oke, bos! Jangan terlalu lama mikir, ya!"
"Kalian mau liatin aku ganti baju?" tegas Ed.
"Wil, ayo cabut! mukanya makin menyeramkan." mereka terbirit lari ke lapangan.
"Jangan buat mereka ketakutan juga, dong, Vin," batin Edward.
*****
Materi olahraga kali ini adalah Tes Kebugaran Jasmani (TKJ). Materi ini sangat melelahkan, mengingat selama libur tak ada kegiatan olahraga terutama bagi kaum rebahan.
"Aduh, Pak, bisa nggak tiap pertemuan awal nggak ada TKJ? Sakit badan saya. Lama-lama bisa trauma juga," keluh Fitri manja.
"Tidak ada! kalian semua harus sehat, kuat, cerdas, pandai menabung, bukan di toilet, tapi di?"
"Kantin." jawab para murid.
"Good job, Ayo lanjut! mulai dari–," suara peluit menjerit.
"Huft."
*****
Jam pelajaran olahraga habis, semua orang encok sakit badan. Karena memang benar, efek dari TKJ ini bisa sampai beberapa hari. Siswa-siswi berjalan sempoyongan meninggalkan lapangan, terkecuali Willy yang selalu ceria dan bugar.
"Kalian kenapa, sih? Bukannya bugar, malah encok," ejek Willy.
"Sombong banget," Fitri menggerutu.
Setelah beristirahat, pelajaran selanjutnya di mulai, yaitu Pendidikan Agama. Entah mengapa pelajaran Agama selalu bersanding dengan PJOK.
Murid-murid yang tengah lelah bergegas kembali belajar. Kantuk datang tak bisa di pungkiri. Edward mengganti earphone-nya dengan earphone wireless, dia duduk membungkuk untuk tidur alih-alih mendengarkan.
Dua jam pelajaran rasanya sangat panjang. Tiap murid terlihat seperti dihipnotis oleh dinginnya udara ruangan dalam teriknya matahari siang. Menyadari murid-murid tak memperhatikan, Pak Agus menggebrak meja yang sontak membuat semua orang kaget.
"Aduh, maaf, ada Kecoa."
Sontak semua siswa terkejut dan kembali membenarkan posisi duduk mereka serta fokus pada materi yang disampaikan.
Setelah semua materi tuntas di sampaikan, Pak Guru meminta izin untuk keluar kelas lebih awal karena ada kepentingan mendadak. Mereka semua memberi salam pada pak guru hingga punggungnya pergi meninggalkan lingkungan depan kelas.
"Yeay!" teriak Willy dari kursi belakang.
Semua murid sangat antusias untuk kembali tidur, membuat suasana kelas kembali hening untuk beberapa menit hingga bel pulang berbunyi.
Tengah berkemas, Willy menghampiri Edward dan bertanya lagi mengenai keputusannya untuk bergabung dengan klub Basket.
"Ed! Jadinya kapan, nih? Selasa sama kamis jadwal latihannya. Besok bisa mulai gabung, kan? Sekalian bantu promosi!"
"Nanti kalo udah siap, aku kabari," pungkas Edward.
"Huft, oke, deh."
Willy memiliki instuisi bahwa Edward akan menjadi pemain yang kompeten jika bergabung dengan klub basketnya. Ia pulang dengan penuh harapan.
*****
Tak seperti biasanya, Edward pergi ke salah satu restoran. Suasana hatinya sedang baik untuk makan di luar.
Edward adalah anak konglo merat dari mantan direktur salah satu perusahaan batu bara ternama di Kalimantan Timur. Semenjak ayahnya meninggal, perusahaan tersebut di teruskan oleh paman dan ibunya.
Saat tengah menunggu makanan yang ia pesan dihidangkan, Emily datang bersama kedua temannya sembari live streaming. Rupanya, ia akan mengulas restoran ini melalui siaran langsung di Instagram nya.
"Damn! What a bad moment," ucap mereka dalam hati seraya mencuri pandang.
"Eh, Emily, bukannya itu Edward, ya? si tampan sosiopat."
"Hah?" sahut Emily.
"Iya, itu panggilan anak-anak berandal di sekolah kita buat dia."
"Kamu tahu banyak, ya, Jes."
"Hihi."
Edward tak bisa pergi begitu saja karena makanan masih di masak dan belum sempat membayar.
Emily terlihat kaget dengan berusaha bersikap normal. Saat Emily tengah sibuk dengan pekerjaannya, Ed bergegas membayar dan pulang.
"Hampir aja. Huft," batin Ed lega.
Waktu menunjukan pukul 17.05, ia bergegas pulang.
*****
Tiba di rumah, Edward merasa sangat lega karena bisa kembali ke zona nyamannya. Ia bergegas mandi ke kamarnya di lantai atas. Rumah tampak sepi, menandakan belum ada seorang pun yang pulang kecuali dirinya. Suasana ini sudah sangat lumrah sejak ia kecil.
Kucuran air shower membasahi tubuh proposional dan kulit putihnya yang bersinar. Edward selalu berlama lama mandi, karena menurutnya, ia bisa merasakan hal berat yang menimpanya ikut terbuang bersama dengan air yang menimpa tubuhnya.
Selesai mandi, ia pergi menuju klosetnya untuk memilih pakaian. Ia memutuskan untuk memakai kaus putih oversized dengan celana training abu-abu. Setelah mengeringkan rambut, ia beranjak menuju meja belajar.
Ed memeriksa kembali apa yang ia pelajari tadi, tapi pikirannya terus mengarah pada Willy yang terus menganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman. Ingin rasanya Edward mendobrak zona yang membuatnya nyaman, tapi apa daya, ia hanya akan memperburuk keadaan psikisnya.
"Bagaimana? Kamu mau berbagi tubuh nggak sama aku?" sosok seorang pria muda dengan muka yang lebih seram muncul dari cermin kamar Edward.
Edward hanya tertunduk dengan wajah yang ragu.
"Hei, mau kasih aku ruang, nggak? Masa pemilik aslinya di buat tidur terus," celoteh Alvin.
Edward mematung dengan mengabaikan Alvin yang sejak tadi menunggu jawabannya.
"Edison! Edward!"
Di saat pikirannya berkecamuk, ia tak sadar jika ibunya telah pulang bersama seorang pria. Rupanya ibu pulang bersama Wandi, pamannya. Lastri memintanya untuk singgah dan makan malam bersama.
"Ya, Bu, sebentar!"
Edward bergegas turun, mereka sudah berada di meja makan. Ed pun ikut bergabung bersama mereka. Sementara Emily belum pulang, ia terlalu di manjakan ibunya semenjak ayahnya pergi.
"Edward! Sini, Nak. Ada paman, kita dinner bareng."
Ed mengangguk.
"Apa kabar, Edison?" sapa pamannya.
Ed hanya menjawab sepatah kata yang sangat berat untuk ia katakan. Edward selalu ingat pada apa yang menimpa ayahnya jika melihat wajah pamannya yang sangat mirip dengan mendiang pak Widyo.
"Baik, paman," jawabnya seraya duduk.
Menunggu beberapa saat, Emily tiba dengan muka yang lelah dan barang bawaan yang semakin banyak di banding dia berangkat tadi.
"Aku pulang!"
Wandi berdiri menyambut. "Eh, dari mana aja kamu? Paman sudah tunggu dari tadi."
Sebelum menjawab pertanyaan klise pamannya. Ia menghela nafas dengan mengangkat telapak tangannya memberi isyarat tahan pada pamannya. Bu Lastri hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat gelagat anak gadisnya itu.
"Hai, paman, biasalah ... aku habis kerja sampingan. Tadi habis mengulas makanan di tiga restoran. Rasanya capek dan kenyang banget makan terus," jawab Emily.
Edward cemberut memainkan sendok, menunggu kapan percakapan berhenti dan makan malam di mulai.
"Wah, hebat, ya, kamu! Masih muda sudah jadi influencer. Awas jangan sampai belajarnya terganggu, ya. Ayo, sini kita makan."
"Ayo sini, Nak. Lihat kakakmu sudah masam dari tadi."
"Iya, iya. Maaf ya, Bang Jomblo!" Emily menggoda kakaknya yang sudah lama menunggu.
"Cepat duduk!"
Mereka pun makan bersama dengan khidmat.
Makan malam selesai, Wandi bergegas pulang. Ia memberi motivasi kepada Edward dan Emily untuk tetap semangat belajar dan pantang menyerah. Emily mengangguk dan mengantar pamannya ke depan gerbang rumah.
Sementara itu, Edward dan Bu Lastri sibuk mencuci piring. Rumah mereka cukup luas. Namun, sejauh ini mereka tak membutuhkan asisten rumah tangga dengan alasan masih mampu mengurusnya sendiri.
Hari mulai malam dan semua orang sibuk di kamarnya masing-masing. Bu Lastri sedang menonton drama Korea alih-alih menghilangkan stress, Emily tengah berswafoto ria alih-alih belajar, dan Edward tertidur pulas karena merasa sakit badan.
*****
Fajar menyingsing, Edward bangun bersiap untuk mandi. Ia sadar, hari ini adalah hari Demonstrasi Ekstrakurikuler yang di selenggarakan untuk merekrut siswa-siswi yang tidak mengikuti satu pun organisasi di sekolah. Ia khawatir akan ada banyak orang yang memaksanya untuk bergabung.
"Here we go, again. Take a deep breathe, Ed," batin Ed.
"Ikut basket, ya!" sahut Alvin merusak pagi Edward.