"Kok kelihatan pada gelisah to?" tanya Koyas saat melihat Sari dan pak Sendy di teras.
"Kami berdua mencemaskanmu!" kata pak Sendy.
"Saya gak apa-apa kok pak!" jawab Koyas.
"Terus bagaimana urusan mu di sana? Katanya mau temui seseorang?!" tanya pak Sendy lagi.
"Setiba saya di tujuan, ternyata Oom Hendri sudah ada di sana lebih dulu. Bahkan masalah pun sudah diselesaikan Oom Hendri dan dua pengawalnya!" jelas Koyas.
"Hah, Oom Hendri?! Kenapa ada Oom Hendri juga?" Sari terkejut.
"Emangnya mas Koyas kemarin ke sana itu ada janji sama Oom Hendri?!" Sari penasaran.
"Lho, gimana to?" pak Sendy mengerutkan dahi.
"Iya, akhirnya saya cuma datang, nonton, dan pulang lagi. Karena dua orang pengawal Oom Hendri menghajar habis pak Bata!" jelas Koyas.
"Pak Bata? Siapa lagi tu mas, pak Bata?" tanya Sari kemudian.
"Hah, Sari tidak kenal?" kata Koyas dalam hati.
"Berarti benar, pak Bata telah main guna-guna pada istriku!" pikir Koyas dalam hati.
"Siapa pak Bata itu mas? Kok malah diam!" Sari tanya dengan bingung.
"Emmm, anu... !" kata Koyas terhenti, kemudian:
"Iya, siapa pak Bata yang kamu maksud itu?" tanya pak Sendy.
"Lain kali aja saya cerita, sekarang gak enak, saya capèk betul!" ungkap Koyas.
"Terus, bagaimana keadaan kamu sekarang? Sudah gak sakit-sakit lagi perutnya?!" tanya Koyas balik.
"Sudah enakan mas. Tapi dengan syarat jangan terlambat obatnya!" jelas Sari.
"Masih sampai berapa lama lagi obatnya?" tanya Koyas.
"Kalau saya hitung obatnya, masih 2 Minggu lagi!" ucap Sari.
"Terus nanti kalau obat itu habis, nambah lagi atau bagaimana?" lanjut Koyas.
"Cuma diminta kontrol sekali lagi aja kata dokter. Kalau misal sudah baik, ya berarti gak nambah obat!" ucap Sari.
Dua minggu kemudian...
"Mas, kata dokter sudah baik kok hasil periksa. Gak perlu pakai obat lagi!" kata Sari Saat keluar dari ruang dokter.
"Apakah itu artinya kamu sudah sehat?!" tanya Koyas.
"Iyalah!" Sari tersenyum.
*Hampir satu tahun kemudian...
Koyas tampak lesu wajahnya dengan memandang jauh ke pelataran rumahnya. Pak Sendy yang sedang keliling lihat-lihat tanaman, merasa iba, lalu:
"Kenapa kamu nampak lesu begitu?" pak Sendy sambil mendekat.
"Kok Sari belum hamil juga ya pak?" kata Koyas sedih.
"Semua kan gak bisa kita paksakan. Kita bisa berusaha saja, tapi untuk memastikan hasil kita gak bisa, bahkan tidak berhak. Semua dari sang khalik!" pak Sendy menuturkan.
"Lanyas bagaimana pak?" tanya Koyas.
"Tetaplah kamu terus berusaha, namun sambil kamu berdoa memohon pada Tuhan!" saran nasehat pak Sendy.
"Sudah saya lakukan pak!" jawab Koyas.
"Terus lakukan. Kamu jangan beranggapan kalau sudah berdoa, Tuhan langsung berikan. Bukan begitu, kamu terus berdoa sambil terus usaha juga!" saran nasehat pak Sendy.
"Mungkinkah ini efek dari obat setelah keguguran dulu itu ya pak?!" Koyas berprasangka.
"Aah, Enggak lah. Dokter kasih obat pasti sudah ada perhitungan apa efeknya pada pasien!" ujar pak Sendy.
"Bagaimana kalau Sari gak bisa punya keturunan lagi pak?" Koyas khawatir.
"Kamu harus yakin. Semakin kamu khawatir, semakin besar pula keyakinan kamu ke arah situ. Dan ketahuilah.... : apa yang kamu yakini, itu sama halnya doa kamu juga!" ujar pak Sendy lagi.
Koyas terdiam sesaat. Tampak wajah Koyas yang tegas itu mendadak berubah layu, dia merenungi kata-kata nasehat bapaknya.
Semenjak itu Koyas berusaha untuk dapat menyingkirkan kekhawatiran batinnya. Dan setiap pulang kerja, berusaha mencari kesibukan di rumah, agar tidak ada peluang melamun.
Kini aktifitas sudah berjalan normal kembali. Sari kembali sibuk dengan tugasnya sebagai Manager Marketing, sedangkan Koyas sopir pribadi pak Boss yang adalah pemilik perusahaan tempat Sari bekerja.
*Satu tahun kemudian...
Beberapa hari terakhir Koyas tampak sering murung lagi. Melihat kondisi tersebut, rupanya Sari paham perasaan suaminya, lalu katanya:
"Mas, aku sudah berusaha keras, namun maafkan Sari bila sampai saat ini aku belum bisa juga memberikan keturunan bagi mas Koyas!" Sari sangat prihatin.
"Kamu sangat baik bagiku, bahkan istimewa. Jadi tidak perlu kamu minta maaf, karena ini bukan kesalahanmu!" kata Koyas.
"Hal memiliki anak, atau tidak memiliki, atau belum memiliki; itu jangan sampai menjadi masalah yang membebani kita. Lebih-lebih bila sampai menjadi pemicu timbulnya cek-cok antara suami dan istri, JANGSN. Itu tidak benar!" lanjut tegas Koyas.
"Mas, kalau sampai tahun depan belum juga memiliki keturunan, bagaimana kalau kita adopsi saja dari mana gitu?!" usul Sari.
"Boleh. Tapi nanti sambil jalan, sambil kita perhitungkan lagi tentang usulmu itu. Siapa tau nanti ada solusi baru lagi!" sambung Koyas.
"Iya mas, saya setuju!" ucap Sari.
Mengerti anak dan menantunya akhir-akhir ini bersedih oleh karena belum mendapatkan keturunan, pak Sendy kadang kala mendekat dalam rangka ingin menghibur dan membesarkan hati mereka.
"Bapak sudah pernah katakan pada suaminu, bahwa masalah memiliki anak itu adalah wewenang Tuhan sepenuhnya!" ujar pak Sendy.
"Iya pak!" sahut Sari.
"Tetaplah bisa bersyukur dengan keadaan ini, karena Tuhan tidak sedang marah pada kalian. Hanya kalian saja yang tidak mengerti rencana Tuhan!" nasehat pak Sendy.
Sari diam merenungkan kata-kata pak Sendy.
Lalu lanjut pak Sendy lagi:
"Kadang seseorang merasa sudah berusaha keras untuk punya keturunan, namun kenyataan yang didapat mereka tidak memiliki keturunan. Atau sebaliknya!"
Pak Sendy merasa ikut prihatin melihat anak dan menantunya yang semakin hari semakin loyo, seolah udah putus asa. Hingga pada suatu hari Sari mengajak suaminya ngobrol berdua, dan tampak serius:
"Mas, aku merasa sudah putus asa mas!" Sari membuka obrolan.
"Maksud kamu apa kok bilang putus asa?" Koyas kerutkan dahi.
"Apa lagi mas kalau bukan tentang anak. Aku kasihan mas Koyas sangat menginginkan, namun saya sampai sekarang belum juga bisa mewujudkan impian mas!" Sari menangis.
"Saya bisa terima kamu dengan keadaan kamu seperti sekarang, jadi kamu jangan bilang seperti itu lagi!" balas Koyas.
"Dari tadi saya berpikir, ada yang hendak saya sampaikan pada mas Koyas!" kata Sari sambil air matanya makin deras menetes.
Koyas merasa deg-degan, dan pikirnya dalam hati:
"Aduh, apa ya yang akan dikatakannya!?"
"Apakah itu?" tanya Koyas.
"Aku benar-benar putus asa mas, mungkin aku tidak bisa lagi mas harapkan seperti perempuan lain yang bisa cepat memberi momongan!" kata Sari sambil menunduk menyeka air matanya.
"Maksud kamu apa to? Sudahlah, jangan bicara itu terus!" kata Koyas.
"Tidak mas... aku sudah tidak ada gunanya lagi mas. Maafkan Sari!" Sari makin sesenggukan.
Koyas memeluk Sari erat, lalu katanya :
"Siapapun kamu, dan apapun kondisimu, aku adalah suamimu, dan kamu istriku. Lihatlah mataku!" Koyas mengangkat dagu Sari agar menatap wajah Koyas.
"Aku ingin katakan sesuatu, mohon mas jangan tersinggung dan marah!?" ucap Sari.
"Katakan saja!" ucap Koyas.
"Silahkan mas, kalau ingin mengambil perempuan lain, aku rela, demi mas Koyas bisa terpenuhi dapat momongan!" Sari sesenggukan.
Koyas mendadak kaku bibirnya hingga sulit mengucapkan kata-kata.
Koyas sempat berpikir merasa salah:
"Apa Sari tahu persis hubunganku dengan Cindy ya?! Kalau begitu aku telah melukai hatinya, hingga dia seperti ini! Apa yang harus aku lakukan? Aku sangat iba padanya!"
Beberapa saat setelah berdiam akhirnya Koyas katakan:
"Bagaimana mungkin aku lakukan itu?" ucap Koyas.
"Aku rela mas. Mas lakukan untuk aku!" ucap Sari.
"Apalagi dia saudaramu juga. Bagaimana itu bisa kamu minta padaku untuk aku lakukan?!" Koyas geleng-geleng kepala. ìkķ
*Di hari yang berbeda, suatu siang saat Koyas ketemuan dengan Cindy...
"Mas, saya ingin bincang-bincang, ada sesuatu yang serius ingin saya sampaikan!" kata Cindy pada Koyas.
"Ada apakah?" tanya Koyas.
"Sari, beberapa hari lalu saat dia libur kerja, menangis dan minta tolong sama saya!" ungkap Cindy.
"Hah, apakah yang dia katakan? Apakah dia mengetahui hubungan kita?!" Koyas mendesak Cindy dengan pertanyaannya.
"Semula saya kira begitu, dan saya juga sempat deg-degan. Namun ternyata bukan!" ungkap Cindy.
"Lalu, apa katanya?" Koyas penasaran.
"Dia katakan begini: ...!" lalu Cindy menirukan saat Sari bicara kepadanya.
"Saya berharap kamu bersedia bila sewaktu-waktu suamiku mengajakmu bercinta, karena saya sendiri yang menyuruhnya serta mengijinkan. Jujur, saya merasa bersalah karena saya tidak bisa memberinya keturunan!" ungkap Sari pada saya sambil terus menetes air matanya.
Beberapa menit setelah Cindy bercerita, Koyas pun diam dan sangat terharu mengenang cerita itu.
"Benarkah Sari mengatakan itu?!" tanya Koyas meyakinkan.
"Haruskah aku memanggilnya untuk mengatakan sendiri kepadamu, untuk membuatmu lebih yakin?!" tegas Cindy.
Tanpa diketahui Koyas, Cindy tiba-tiba menetes air matanya. Dan ketika Koyas melihatnya:
"Kenapa kamu menangis?" tanya Koyas keheranan.
"Bukankah kita kemarin-kemarin tu selalu sembunyi-sembunyi untuk bisa ketemuan, demi tidak diketahui Sari?!" ungkap Koyas.
"Justru mengingat kita selalu dengan sembunyi-sembunyi itulah yang membuatku saat ini bersedih. Kalau tau mbak Sari seperti ini, mengapa saya lakukan hal seperti itu? Apalagi mbak Sari adalah saudara saya dekat!" ungkap Cindy bersedih.
"Sekarang menurutmu bagaimana langkah kita selanjutnya?!" ucap Koyas.
"Melihat mbak Sari berkata seperti itu, bagi saya itu berarti mbak Sari telah menyerahkan hal yang sangat berharga dalam hidupnya, sekaligus juga kehormatannya sebagai seorang istri telah diserahkan!" ungkap Sari.
"Iya, maksud aku kamu punya idea apa?" tegas Koyas.
"Mungkin kamu dengan nalurimu sebagai seorang wanita, lebih bisa berinisiatif terkait permohonan Sari itu!" tambah Koyas.
Cindy terdiam sambil meremas-remas rambutnya. Lalu:
"Beri waktu untukku berpikir sejenak!" kata Cindy.
Dua hari setelah bincang-bincang dengan Cindy, Koyas selalu gelisah pikirannya.
Sering sekali Koyas melamun dengan pikirannya yang penuh penyesalan. Sempat juga suatu saat Koyas dalam lamunannya, bicara dengan diri sendiri:
"Ku'akui, kalau sebelumnya memang aku selalu mencari cara; bagaimana bisa bercinta dengan Cindy tanpa diketahui Sari!"
"Namun kini, setelah aku sadar, bahwa semua yang kulakukan dengan Cindy adalah tanpa rasa cinta, aku sangat menyesali, hhfff..!"
"Begitu besarnya cinta Sari padaku, hingga dia rela mengorbankan kehormatannya sebagai istri hanya demi kebahagianku!"
Di tengah-tengah rasa sedih yang bercampur dengan penyesalan, Cindy mengirim pesan tertulisnya pada Koyas, katanya:
"Mas, bisakah sore ini saya ke rumah? Saya mau bicara dengan mas Koyas sekalian mbak Sari!?" tulis Cindy.
"Silahkan, saya tunggu. Saya nanti sore jam 15:30 sudah di rumah kok!" tulis Koyas.
Sore harinya, Cindy sambil menggendong bayinya, bertandang ke rumah pak Sendy dengan diantar pak Irawan.
"Lho, kok mendadak betul? Kasih kabar dong, biar saya siap-siapin lebih dulu, begitu!" sapa pak Sendy saat pak Irawan tiba.
"Hehee... kayak sama siapa aja, pakai persiapan segala! Biasa-biasa sajalah, sekarang kita kan sudah jadi keluarga!" balas pak Irawan.
Setelah mereka semua diduk kumpul, pak Irawan pun kemudian menjelaskan maksud kedatangannya.
"Selanjutnya, untuk lebih jelas maksud kedatangan kami, biarlah Cindy berbicara!" kata pak Irawan.
Lalu Cindy pun berbicara semua hal terkait permohonan Sari padanya. Kemudian:
"Saya sangat kagum dan menghargai kebesaran cinta mbak Sari pada mas Koyas. Akan tetapi, maaf saya menolak permohonan mbak Sari untuk memberikan keturunan pada mas Koyas!" ungkap Cindy.
Serentak, Koyas, Sari, dan pak Sendy mendongak kagèt dan memandang wajah Cindy dengan rasa penuh tanya. Selanjutnya:
"Sekali lagi maaf, saya menolak permohonan itu hanyalah ingin menghormati mbak Sari sebagai saudara tua saya, dan sekaligus sebagai istri yang berbesar cinta pada suami. Untuk itu, angkatlah bayi ini menjadi anak mas Koyas dan mbak Sari!" tegas Cindy kemudian.
"Teruu...uss!" kata Koyas terhenti.
"Mas, saya ikhlas lakukan ini. Lagian... kita ini sudah jadi keluarga, seperti yang pakdhé bilang tadi. Jadi, saya merasa tidak berpisah dengan anak saya, karena saya masih bisa bertemu, bahkan memberi kasih sayang setiap saya ke sini atau saat kita kumpul-kumpul. Benar begitu kan pakdhé?!" Cindy menoleh ke arah pak Irawan seraya tersenyum.
"Iya, benar!" sahut pak Irawan tersenyum sambil manggut-manggut.
Mereka semua saat itu terlihat sangat bahagia, namun juga rasa haru yang sangat besar juga tergambar pada wajah mereka, terutama pada wajah Koyas dan istrinya.
■ Bagaimanakah hati Koyas terhadap Cindy setelah ini? Apakah berubah jadi mencintai, ataukah ingin membalas kebaikannya, ataukah ada sikap lain terhadap Cindy?
■ Untuk mengetahui jawabnya, ikuti kisah lanjutannya pada Bab : "Keputusan di antara Cinta dan Sayang"