Waktu telah berjalan satu bulan, kini keluarga Koyas memiliki nuansa yang baru. Nyaris tidak pernah sepi, karena sudah ada suara tangisan bayi dan kadang tawa dari Koyas ataupun Sari, dan kadang pula terdengar suara pak Sendy yang menimang bayi.
"Bagaimana kalau kita buat acara syukuran buat kehadiran si mungil ini, sekalian memberikan nama baru buat dia?!" usul Koyas saat ngobrol bareng di rumah.
"Itu usulan yang baik, agar tetangga juga mengenali anakmu, dan terlebih lagi ada doa bagi anakmu. Kalau bapak setuju begitu!" kata pak Sendy.
"Iya mas, kita langsung cari waktu yang tepat aja sebelum kemana juga. Masa kita mau panggil anak, tapi belum punya nama, hehehee..., saya sangat setuju!" ungkap Sari.
Tidak sampai satu minggu setelah itu, di rumah pak Sendy diadakan acara syukuran serta doa buat hadirnya si mungil, yang dihadiri tetangga dan keluarga pak Irawan juga.
Malam itu, malam syukuran dan doa buat keluarga Koyas serta pemberian nama buat si mungil yang disaksikan warga kampung situ, ysng kemudian anak Koyas diberi nama 'Prayitno Wibowo'.
Makin tambah hari, keluarga Koyas makin tampak lebih berbahagia dengan hadirnya Prayitno Wibowo.
Karena sejak sebelumnya Sari adalah karyawan perusahaan yang sangat diandalkan, sehingga hadirnya Prayitno di keluarganya saat ini juga dipikirkan Koyas sebagai kepala rumah tangga itu, terutama waktu terkait dengan perawatan anak.
Suatu saat...
"Kira-kira kalau cari pembantu, memungkinkan atau tidak bagi kalian?" tanya Sari pada Koyas.
"Kok cari pembantu?" tanya Koyas balik.
"Saya kan terbatas waktunya kalau ngurus anak balita! Kalau tiap hari berangkat ke kantor siang terus kan gak enak di mata pak Boss!" ungkap Sari.
"Bapak mengusulkan, bagaimana kalau misalnya kalian minta tolong Cindy untuk di sini ngurus anakmu, hanya selama kalian di kantor saja?
Dan sorenya bila kalian sudah pulang, kalian sendiri yang ngurus!" pak Sendy mengusulkan.
"Mmm, bagus juga tu usul bapak. Anak itu tetap dipegang keluarga sendiri, jadi kita gak khawatir apa-apa lagi!" sahut Koyas.
"Iya, benar mas, apalagi anak itu juga masih butuh disusui!" tambah Sari.
"Ya udah, besuk kita ajak Cindy rembug'an masalah ini. Kita usahakan jangan kelamaan, secepatnya kita bicarakan dengan Cindy, agar pekerjaan kita juga dengan cepat terkondisikan!" ungkap Koyas.
"Ya, sangat tepat!" pak Sendy acungkan jempol ke arah Koyas.
Tidak lama setelah hari itu, Koyas sekeluarga bincang-bincang dengan Cindy tentang rencananya minta bantuan terkait merawat anaknya.
Cindy setuju dan menerimanya dengan senang hati.
"Aku senang bisa tiap hari menatap dan memberi kasih sayang pada anakku!" kata Cindy dalam hati.
Pada suatu pagi ketika sebelum berangkat kerja, Koyas mendekati Cindy yang sedang suapin Prayitno di teras:
"Terima kasih banyak, karena kamu telah berikan sangat banyak hal besar dan berarti bagi hidupku!" ungkap Koyas saat Sari sedang mandi.
"Iya mas, gak usah terima kasih begitu, kita kan sama-sama pernah saling mengisi!" balas Cindy seraya tersenyum.
"Hmm!" Koyas tersenyum balik.
Lalu katanya dalam hati:
"Kamu masih cantik, seperti Cindy yang dahulu!"
Genap satu tahun lalu Prayitno dilahirkan, dan kini adalah bertepatan hari Minggu. Koyas mengundang beberapa tetangga dan teman-teman di kantor Sari untuk ikut merayakan serta acara syukuran Hari Ulang Tahun Prayitno Wibowo di rumah pak Sendy.
Sore hari pada acara Ulang Tahun itu, semua tampak berdandan rapi, baik Koyas dan anak istrinya maupun pak Sendy juga.
Acara dilaksanakan dengan sederhana, akan tetapi berlangsung cukup meriah, hingga suasana sangat menghibur keluarga Koyas.
Semua undangan bergantian bersalaman dengan Koyas serta istrinya sambil mengucapkan selamat buat kebahagiaan yang baru. Dan terlihat juga pak Boss yang terakhir memberi salam buat Koyas sekeluarga.
Acara Perayaan Ulang Tahun sudah selesai, semua tamu sudah pulang, dan selanjutnya Koyas bersama bapaknya dengan dibantu Cindy dan Sari tengah sibuk beres-beres ruangan tamu yang tadi dipakai acara. Sementara itu Prayitno dibiarkan bermain di karpet lantai.
Sementara tangannya melakukan pekerjaan, otak Cindy berpikir:
"Tinggal saya sendiri yang belum mengucapkan Selamat Ulang Tahun bagi anakku. Hah, anak? Aku kan sudah serahkan pada mas Koyas?! Dua sekarang anak mas Koyas dan mbak Sari. Aah tidak, aku yang melahirkan, jadi... akulah ibunya Prayitno!"
Dalam Pada itu,tiba-tiba:
"Praak!" kaku Cindy menabrak kursi.
"Hehehee, ada apa Cindy?" tanya Koyas yang kebetulan di dekatnya.
"Mm, anu... kaki saya nabrak kursi mas!" jawab Cindy.
"Istirahat dulu aja nggak apa-apa, kamu pasti capèk. Biar saya lanjut sama bapak!" kata Koyas.
Sejenak mereka duduk sambil sesekali bercanda. Namun pada saat itu Cindy diam menatapi Prayitno yang asyik dengan mainannya di karpet lantai.
Sari yang mengetahui hal itu langsung mendekat, dan dari belakang Cindy dia berbisik:
"Peluklah dia, jangan kau tahan perasaanmu itu. Bagaimanapun juga sentuhan belaianmu akan menyejukkan hati anak itu!"
Cindy mendekati Prayitno serta memeluknya serta katanya:
"Selamat Ulang Tahun sayang!"
Hari-hari berikutnya yang dilalui keluarga Koyas penuh dengan bahagia, walaupun Prayitno sebagai buah hati di tengah mereka bukanlah hasil perkawinannya.
*Empat tahun kemudian...
Kini Prayitno Wibowo telah bertumbuh menjadi semakin besar dan cerdas.
Banyak orang yang suka dengannya.
Sejauh perjalanan kebahagiaan keluarga Koyas hampir tidak pernah ada aral yang melintang nan mengganggu.
Namun tak terduga oleh Koyas, diam-diam Cindy ternyata menyimpan rasa iri dengan kondisi keluarga Koyas.
"Mengapa bukan aku saja yang ditakdirkan jadi pendamping mas Koyas?" kata Cindy dalam hati.
Seperti hari-hari biasanya, pagi saat Koyas dan istrinya sudah berangkat ke kantor, Cindy tampak memulai kesibukannya bersama Prayitno.
Suatu siang saat Prayitno sedang terlelap dalam tidurnya, Cindy mengambil diary dan memulai coretan hariannya.
Ditulisnya dalam buku hariannya itu:
"Walaupun aku harus selalu berdiri di balik bayangan, namun kasih sayangku akan mengalir selalu bagimu. Yakinkanlah hatimu sayang... aku sudah berjuang melahirkan!"
Pada suatu saat di hari Minggu, Koyas sekeluarga bertamasya. Belum juga lama berada di lokasi wisata, mendadak Koyas kagèt melihat Sari tiba-tiba menetes air matanya.
"Lho, kamu kenapa?!" tanya Koyas pada Sari.
Sebentar Sari menoleh ke arah Prayitno yang ternyata sedang menghadap ke arahnya, lalu:
"Tidak apa-apa kok mas!" katanya pada Koyas.
"Kok ibu menangis?" tanya Prayitno.
"Ibu tidak menangis nak, tadi kena debu, sehingga berair terus!" ujar Sari pada anaknya seraya tersenyum.
Koyas yang menyaksikan itu, berpikir:
"Tapi... aku melihat dia bersedih. Dia katakan itu hanya supaya anaknya tidak tau bahwa dia sedang bersedih!" kata Koyas dalam hati.
Lalu...
"Baiklah, aku harus mengajaknya bicara nanti sesampai di rumah!" lanjut pikir Koyas.
Setelah itu Koyas dan Sari melibatkan diri bermain bersama Prayitno demi menyenangkan anaknya.
Sore sekitar pukul 15:00 mereka kembali pulang. Dan setiba di rumah, setelah beres-beres barang bawaan dan memandikan Prayitno, mereka berdua ngobrol.
Sementara Prayitno sedang asyiik bersama pak Sendy kakeknya, Koyas berpindah ngobrol di halaman, di bawah pohon besar.
"Saya melihat kamu bersedih. Ada apa dengan kamu?" tanya Koyas membuka obrolan.
"Aku terenyuh mas, dan sedih dibuatnya!" ucap Sari.
"Coba ceritakan!" Koyas meminta.
"Prayitno dengan lugunya meminta adik baginya. Aku sedih karena sampai sekarang masih saja sulit mengandung lagi. Ada apa mas sebenarnya dengan rahimku!" Sari menangis.
"Hhfff!" Koyas menghela nafas.
Pandangan mengarah jauh ke langit. Koyas sangat terharu, terenyuh, serta merasa prihatin merasakan derita batin istrinya.
"Mas, bisakah aku memohon sekali ini lagi pada mas Koyas?" tanya Sari sambil air matanya deras mengalir di pipinya.
Koyas mengangkat dagu istrinya, lalu sejenak menatapnya, sambil katanya dalam hati:
"Aku kasihan melihatmu seperti ini!"
"Yakinkah kamu bahwa aku mampu melakukannya?" tanya Koyas kemudian.
"Jika dahulu Cindy telah menolaknya, kini... sekali lagi aku mintakan itu kepadamu: Nikahilah Cindy sebagaimana mas Koyas menikahiku!" ungkap Sari.
"Kenapa kamu meminta itu lagi kepadaku? Bagaimana bisa aku menggauli Cindy, sedangkan hatiku tidak ada padanya?" ungkap Koyas.
"Mas... ijinkan aku sekali ini saja melihat mas Koyas penuhi permintaanku. Walau nanti hatiku akan sakit, namun aku juga akan bahagia melihat mas Koyas bahagia!" ungkap Sari.
"Bagaimana kamu bisa berkata aku bahagia, sedangkan wanita itu bukan istriku?" ujar Koyas.
"Mas menikah bukan untuk mas Koyas, namun menikahlah untuk aku!" tegas Sari.
"Hhfff!" Koyas menghela nafas lagi.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku memenuhi permintaan Sari? Atau aku menolak permintaannya? Aah, aku bingung harus bagaimana?" pikiran Koyas bingung.
"Sari, bisakah kau tarik kembali permintaan itu?" tanya Koyas dengan berat.
"Memang Prayitno bukanlah anak dari rahimku mas, namun selama ini saya merasa dia sudah jadi bagian dari jiwaku. Sehingga aku gak kuat menahan derita batinku oleh permintaan dia padaku akhir-akhir ini!" ungkap Sari sambil sesenggukan.
Koyas semakin merasa haru mendengar pernyataan Sari demikian itu.
Kemudian:
"Aku sempat berpikir, kalau saja mas Koyas bisa berikan adik baginya, aku berharap dia akan tenang dan bahagia hidupnya, walau nantinya anak itu sama-sama juga bukan dari rahimku!" lanjut ungkap Sari.
"Sekali lagi aku tanya kamu. Apa yang kamu inginkan setelah kamu tau bahwa aku tidak memiliki cinta untuk Cindy?" tegas Koyas.
"Mas dulu sudah menikahi Cindy, namun untuk cari status suami istri saja. Saya mohon sekarang mas Koyas mencabut perjanjian antara kita dan Cindy yang pernah kita sepakati waktu itu!" ungkap Sari.
Koyas terdiam. Lalu...
"Aku relakan bila suatu saat Cindy mengandung oleh mas Koyas!" lanjut Sari.
"Sebaiknya kita bicarakan dengan Cindy sekali lagi masalah ini. Dan setelah Cindy menyetujui, baru kita sampaikan ke orang tua, agar tidak ada kesalah pahaman di kemudian hari!" ungkap Koyas.
Setelah mendengar pernyataan itu, Sari merangkul suaminya, serta bisiknya:
"Terima kasih, aku mencintai dan juga menyayangi mas Koyas. Dan naluriku sebagai wanita juga merasakan, bahwa Cindy punya hati buat mas Koyas!" ungkap Sari.
"Sari....!" kalimat Koyas terpotong.
"Saya paham perasaan mas Koyas!" sela Sari.
● Apa yang terjadi bila Cindy setuju, serta Koyas penuhi permintaan istrinya untuk mengambil Cindy menjadi istrinya sungguhan?
● Cari jawabnya dengan ikuti terus kelanjutannya pada Bab :
"Istriku terlambat haid setelah Cindy kunikahi"