Pagi-pagi betul Koyas sudah berangkat dari rumah, karena harus lebih dulu ngantar istrinya ke dokter.
"Lumayan mas, belum ada antrian. Kita nanti ke kantor tidak terlambat terlalu lama!" kata Sari sesampai di depan teras dokter.
"Benar. Aku masih punya waktu ngopi di warung, hehehee!" Koyas tertawa.
Setelah Koyas daftar, mereka berdua duduk menunggu panggilan.
Tidak lama berselang mereka duduk, seorang perawat memanggilnya masuk.
Lalu, Sari pun masuk, sedangkan Koyas diam menunggu di luar ruang periksa.
Tak lama kemudian Sari keluar ruangan periksa dengan wajah tersenyum ceria.
Melihat Sari tersenyum ceria, Koyas dalam hati langsung meyakini Sari akan bawa kabar gembira.
"Selamat pagi pak Koyas. Nunggu anaknya ya pak?" canda Sari.
"Ck, ck, ck... !" Koyas geleng-geleng tertawa.
"Tadi saya lihat anak bapak masuk sama ibunya, hehehee!" canda Sari lagi.
"Bagaimana?" tanya Koyas.
"Ini akan jadi bapak, hehehee!" Sari mencubit pipi Koyas.
"Positif!" lanjut Sari.
Sepanjang perjalanan meninggalkan Rumah Sakit, mereka berdua bergembira, kadang bercanda ria.
Sesampai di parkiran kantor, Sari tidak langsung masuk, diambilnya Hp lalu menelpon pak Sendy serta pakdhé nya.
Sari mengabarkan bahwa dia positif hamil. Semua orang sekitarnya ikut bersuka, termasuk teman-teman di kantor.
Sejak hari itu Sari bila di rumah mulai menghindari pekerjaan yang berat. Kali ini Koyas memantau istrinya dalam setiap aktifitas. Dia sangat berharap ini tidak akan gagal lagi.
Suatu saat, ketika berpapasan di ruang tengah, diam-diam Cindy memperhatikan dirinya yang fokus dengan Hp, lalu:
"Hem, ehm. Senangnya yang akan dipanggil bapak! Mendadak sibuk terus?!" goda Cindy sambil jalan perlahan melewati depannya.
Koyas berhenti dan menoleh...
"Eeh, bu Cindy. Dari mana bu? Hehehe... !" canda Koyas.
"Panggil bu, lagi!!" Cindy melirik.
"Mas!" lanjut Cindy memanggil manja.
Koyas mendekatinya seraya merangkul pundak Cindy, dan mencium pipinya dengan gerakan cepat, sambil katanya:
"Prayitno lagi ngapain?" tanya Koyas.
"Iihh, cium istrinya kok kayak kereta api lewat aja.. wêss, wesss, terus hilang! Lupa caranya mesra?!" canda Cindy sambil cubit perut Koyas.
"Prayitno tidur. Tadi tu habis mainan sama aku di kasur, eeh.. tau-tau dia tertidur. Ya udah meninggal keluar dulu!" ungkap Cindy.
"Mainan kok di kasur sih?!" kata Koyas.
"Lha nunggu bapaknya lama gak mau ke kasur. Mentang-mentang mau punya yang baru ya?!" Cindy ngledekin.
"Aah, ya nggak lah!" sahut Koyas seraya cepat angkat badan Cindy dan memboyongnya keluar.
"Eh, eh, eh.. !" Cindy ngoceh sambil pukul-pukul badan Koyas.
Dalam pada itu, tanpa diketahui mereka berdua, pak Sendy yang lagi duduk baca buku di ruang tamu melihatnya, lalu:
"Ck, ck, ck, ck... kirain berantem, kagèt aku!" pak Sendy sedikit menurunkan kacamatanya sambil agak melotot melihat anak-anak bergurau.
Karena kagèt dan gemes, pak Sendy meletakkan buku yang tadi dibacanya. Namun sayang terlalu ke pinggiran meja, sehingga buku itu jatuh dan bersuara yang membuat Cindy mendengar. Kemudian...
"Tu, malu dilihat bapak!" kata Cindy sambil pukul badan Koyas.
"Mana?" Koyas memutar badannya ke arah sofa ruang tamu.
Koyas tertawa sambil menurunkan Cindy dari gendongannya.
"Hahahaa.... apa-apaan to kalian ini!" ucap bapaknya sambil geleng-geleng.
"Ini pak, ngledekin terus, hehehee!" sahut Koyas sambil tertawa.
"Itu tandanya sayang!" kata pak Sendy.
"Tu, dengerin!" ucap Cindy.
"Hehehee... emangnya aku gak tau kalau ada sayangnya?!" sahut Koyas ketus.
"Iihhh, tadi aku lihat... asyiik bener dengan Hp'nya, sampèk-sampèk gak lihat ada orang lewat!" ungkap Koyas.
"Orang lagi ada urusan penting masa suruh tengok sana-sini, gimana sih kamu ini!?" Koyas mengerutkan dahi.
"Ya ya ya yaaa, gitu aja udah mau marah. Mmmcch!" ucap Cindy cepat sambil cium pipinya.
"Sudah sudaaah. Kalau mau urus pembagian jangan di sini. Sana, berdua di sana!" ujar pak Sendy sambil senyum-senyum.
"Rasain tu! Kena marah bapak kamu!" ucap Koyas.
Koyas dan Cindy berkelakar sambil jalan ke teras rumah.
Sementara itu, Sari yang barusan keluar dari kamar mandi, ke ruang tamu dan :
"Ada apa pak, kok dengar seperti ramé-ramé?!" tanyanya pada bapak.
"Mm, biasaaa... siapa lagi tu kalau bukan suamimu. Dia memang kalau lagi plong hatinya, ya begitu itu, bercandaaa terus!" ungkap pak Sendy.
Kemudian Sari keluar bermaksud menengok Koyas di teras. Sari terkejut, lalu...
"Ehm ehm!" Sari berdiri di tengah pintu berdehem sedikit melirik dengan posisi menghadap ke halaman.
Koyas yang sedang ngobrol dengan posisi merangkul Cindy, kagèt dan melepas rangkulannya, dan:
"Good morning bu Sari! hehee!" sapa Koyas dengan canda.
"Iya pak Koyas, good juga!" balas Sari.
Sari mendekat, lalu mereka ngobrol bertiga di sana.
Dalam pada itu, sempat terlintas di benak Koyas:
"Kuharap tidak ada kecemburuan di antara mereka berdua ini. Aku ingin kerukunan bisa terwujud dalam keluarga ini!" kata Koyas dalam hati.
Tiba-tiba...
"Hee, kok ngelamun!?" kata Sari sambil menepuk meja di depannya.
"Cuma berandai-andai saja!" sahut Koyas.
"Kok berandai-andai sih! Ini ada para istri di sini... bicarakan dong, kok dipikir sendiri aja!" kata Cindy.
"Gak apa-apa juga kok misalnya lagi pingin berandai-andai sendiri, asal jangan berandai-andai tentang wanita baru, wkwkwkwk!" Sari tertawa terbahak-bahak.
"Aah, mana mungkin aku lakukan hal itu?! Ini sudah lebih dari kecukupan bagiku!" ungkap Koyas.
"Kuharap begitu!" tambah Sari.
"Bagaimana besuk mas, ada acara ngantar juragan keluar kantor apa gak?" tanya Sari kemudian.
"Kalau sampai saat ini belum ada kabar tentang itu sih. Nggak tau lagi kalau misalnya besuk mendadak nyuruh ngantar!" jawab Koyas.
"Emang kenapa kalau misalnya keluar? Mau titip sesuatu?!" tanya Koyas balik.
"Hehee... mampir beli buah jeruk dong mas?!" Sari ketawa.
"Si kecil lagi pingin jeruk ya mbak?" celetuk Cindy.
"Iya nih, kata orang tua kalau gak dipenuhi, khawatir nanti anaknya suka ngiler!" kata Sari.
"Apa sih yang tidak dariku?! Buat kalian berdua pasti saya berusaha penuhi permintaannya kok!" jawab Koyas.
"Kok berdua?" sahut Sari.
"Ya itu... bu Sari dan yang digendong sekarang!" kata Koyas.
"Hmm, aku gak dihitung?" Cindy cemberut.
"Hahaha...!" Sari tertawa.
"Ya semua lah. Ini tadi kan jawaban pertanyaan bu Sari, begitu! Gak mungkin kan aku pulang cuma bawa pesanannya Sari, pasti semua lah... istri muda dan Prayitno, juga bapak, begitulah!" Koyas tersenyum.
"Makasih mas Koyas!" serentak Sari dan Cindy merangkul Koyas.
"Uuuhh, bahagianya rasa hatiku ini. Ini bonus kah?!" kata Koyas kemudian.
"Bonus apa sih mas?" tanya Cindy.
"Sepertinya saya merasa begitu. Bagaimana tidak, ini kan malam Jum'at, tapi aku langsung dapat dua bersamaan, wkwkwkwk!" Koyas terbahak-bahak.
"Ngomong apa to mas?" sahut Sari.
"Katanya yang bersamaan hari Minggu saja, hehehee!" jelas Koyas.
"Itu cuma jadwal malam kamar ma..as!" sambung Sari.
"Kemarin kan buat kesepakatan, hari Senin, Rabu, Jum'at kalau malam pulangnya ke kamar Cindy. Kemudian hari Selasa, Kamis, Sabtu pulang ke kamar saya!" tegas Sari.
"Dan hari Minggu sudah di'booking sponsor, hahahaa!" pak Sendy nyeletuk tiba-tiba.
Mereka bertiga terkejut dan spontan bersamaan menoleh ke arah asal suara itu.
"Hahahaa, bisa aja bapak ini!" sahut Koyas kemudian.
"Iya dong, masa sponsor'nya malah diabaikan... terus gilirannya dapat kapan!?" sambung pak Sendy seraya berdiri mendekati mereka bertiga.
Bertiga bersama pak Sendy tertawa... gembira... sungguh ceria dan bahagia kala itu.
"Aku setuju, bila kita kumpul dan jalan-jalan bersama kalau hari Minggu. Dengan demikian kita semua merasakan kebersamaan!" jelas Koyas.
"Semoga kalian tetap bahagia. Sekesaikanlah setiap masalah dengan baik, jangan dengan panas hati!" nasehat pak Sendy.
"Amien!" sahut Koyas, Sari, Cindy.
"Sebentar, aku nengok Prayitno di kamar!" Cindy beranjak dari tempat duduk dan masuk kamarnya.
"Aku juga mulai ngantuk nih!" kata Sari.
"Ya udah, kamu masuk dulu sana, ini juga mulai dingin udaranya. Besok malah kesiangan lho bangunnya!" ucap Koyas.
Berdua Koyas dan bapaknya ngobrol di teras kala itu. Setelah beberapa saat berdiam, selanjutnya:
"Hati-hati dalam berbagi, jangan sampai berkesan berat sebelah. Ini hanya antisipasi agar tidak muncul pemicu masalah di antara kedua istrimu!" nasehat pak Sendy.
"Iya pak. Kadang kalau saya lagi merenung sendiri tu... saya juga sempatkan berpikir tentang itu juga kok pak!" ungkap Koyas.
"Baguslah kalau kamu sudah menyadarinya! Aku bangga terhadapmu. Sekaligus juga kejutan!" ujar pak Sendy.
"Kok kejutan? Kejutan apa itu?" tanya Koyas.
"Bapak teringat kamu dulu itu sulit diajak ngobrol serius. Kadang diam lama dan tau-tau pergi gak pamit. Bapak sempat mikir serta khawatir kalau nanti berkeluarga bagaimana ya anak ini. Melihat kamu sekarang seperti ini bapak terkejut. Hmm!" pak Sendy geleng-geleng tersenyum sambil memandangi Koyas anaknya.
"Saya selama merantau saat yang lalu itu, sesekali juga merenung pak. Bagaimana saat bila saya punya anak istri. Nah, setelah pikiran itu sering muncul dalam renungan saya, mulailah saya belajar tentang apa yang perlu saya lakukan sebagai kepala rumah tangga!" cerita Koyas.
"Luar biasa, bapak bangga sama kamu!" ujar pak Sendy.
"Tapi rasanya nasehat dan dukungan bapak masih saya butuhkan. Karena saya juga masih belajar dari bapak!" kata Koyas
"Satu contoh; Saya lagi sibuk dan capèk pikiran, kemudian istri yang biasa nya berperan sebagai pendingin, waktu itu bermasalah juga, di situlah saat-saat saya menemui jalan buntu pak. Dan saat itu aku akan mencari bapak ku!" jelas Koyas.
"Hhfff, ya, doakan selalu bapakmu agar dikasih panjang usia. Bisa lihat cucu bertumbuh kembang akalnya, juga bisa bantu-bantu kamu!" pak Sendy mendekat lalu merangkul Koyas.
Berdua, bapak dan anak saling rangkul. Kemudian...
"Pak, ini sudah waktunya istirahat, besok pagi kerja!" kata Koyas.
"Baik, kita istirahat!" sahut pak Sendy.
"Bapak juga istirahat dong, jaga kondisi kesehatan bapak!" ucap Koyas.
"Baiklah putraku, hehehee!" canda pak Sendy.
Mereka berdua masuk kamar masing-masing. Malam tiba... kembali saatnya sunyi sepi menyelimuti rumah kediaman pak Sendy dan sekitarnya.
■ Bagaimanakah Koyas yang didampingi kedua istrinya itu mengarungi samudra kehidupannya?
■ Ikuti alur cerita lanjutannya pada Bab : "Di balik kebahagiaan seorang Ayah"