Sudut Pandang Theo
"Theo, sesi pemotretan akan dimulai!" seru Mama Ophelia memanggil Theo yang sedang memandang ikan hias dengan jarak dekat. Hidungnya yang mungil bersentuhan dengan kaca bening akuarium.
Seketika pandangannya beralih ke arah Mama Ophelia yang berdiri di samping pintu utama. Kemudian ia tersenyum riang dan berlari memeluk wanita itu.
Sontak Mama Ophelia pun membalas pelukan Theo dengan senang hati. Ia berjongkok di hadapan Theo dan membersihkan hidung Theo dengan jari-jemari halusnya. Kemudian menyentuh kedua pipi bocah itu.
"Mama," panggil Theo kecil kepada Mama Ophelia.
"Kenapa sayang?" tanya Mama Ophelia sambil tersenyum.
"Apakah aku terlihat tampan seperti karakter Theo?"
Karakter Theo yang dimaksudnya ialah salah satu karakter dari buku dongengnya yang merupakan pahlawan penyelamat Dunia dari ancaman meteor besar. Karakter tersebut merupakan karakter favorit Theo kecil sebab tampilannya yang gagah dan pemberani itu berhasil membuat kedua matanya selalu berbinar-binar. Yang utama ialah bahwa namanya sama dengan dirinya.
"Tentu saja, bahkan kau adalah 'Theo' yang lebih hebat dari itu," kata Mama Ophelia sambil menyentuh hidungnya.
Theo kecil pun tertawa bahagia melihat perlakuan Mama Ophelia yang lembut itu. Ia pun memeluk wanita itu. Kedua tangannya menyentuh leher Mama Ophelia. Wanita itu pun membalas pelukan Theo dengan lembut, seperti tak ingin melepaskan momen ini. Kemudian pelukan itu usai dan keduanya saling bertatapan.
"Yuk," ajak Mama Ophelia.
"Yuk!" seru Theo semangat.
Posisi Mama Ophelia pun beranjak berdiri sambil menggandeng Theo kecil berjalan menuju ruang foto yang telah berkumpulnya anak-anak lainnya. Ruangan foto itupun menjadi sibuk dan berisik, dipenuhi dengan percakapan para anak-anak. Theo pun mulai berbaur pada teman-temannya. Bahkan teman-temannya yang lebih tua darinya ada yang menuntunnya bersama-sama. Suasana keceriaan menghiasi setiap sudut ruangan ini.
Mama Ophelia menghampiri sebuah kamera yang telah terpasang di hadapan para anak-anak menggunakan semacam stik penahan beukuran panjang.
"Semuanya berbaris, ya. Yang pendek di depan. Yang tinggi di belakang," ucap Ophelia.
Mendengar ucapan Mama Ophelia, Anak-anak langsung bergegas berbaris rapi. Yang merasa tinggi, dengan inisiatif mereka di belakang. Begitupun bagi yang merasa pendek.
Setelah dirasa semua sudah rapi. Mama Ophelia mulai terfokus pada kamera lama di hadapannya. Bersiap-siap mengetuk tombol 'Ambil Gambar'.
"Siap, ya. Satu... Dua... Tiga!"
Muncul suara 'ceklek' sebanyak dua kali dari kamera. Wajah mereka pun tampak diam. Ada pula yang tersenyum. Mungkin ini pertama kali mereka melihat benda seperti ini. Wajah Theo yang mungil menampilkan senyuman giginya. Wajahnya menampilkan raut wajah yang berbeda dari yang lain.
"Sudah selesai!" ucap Mama Ophelia.
Seketika anak-anak berhamburan keluar dari formasi, memulai kegiatan seru bersama teman-teman mereka. Ada pula yang menghampiri Mama Ophelia yang sedang memegang kamera antiknya. Dengan rasa penasaran, Theo pun ikut beberapa temannya yang menghampiri Mama Ophelia. Ternyata mereka beramai-ramai ingin melihat hasil foto yang diambil.
"Mau lihat mau lihat!" seru Theo sambil lompat berkali-kali di belakang teman-temannya yang lebih tinggi darinya.
Melihat aksi Theo, Mama Ophelia pun mendekati Theo. Mereka pun memberi jalan. Mama Ophelia menumpukan kedua lututnya, dengan maksud mempersilakan Theo melihat hasil fotonya. Diiringi mereka yang mengitari Theo dan dirinya.
"Sini, Theo," ajak Mama Ophelia.
Dengan ditunjukkan foto pertama, terdengar suara mereka yang saling berbisik dan tersenyum. Begitupun juga Theo yang melihat penampilan dirinya yang sungguh bersemangat di sana.
"Lihatlah, kau sungguh ceria sekali di sini," puji Mama Ophelia. "Lalu kau, Lucya. Ekspresimu tampak samaan dengan Aaron."
Namun, Lucya dan Aaron hanya tertawa. Anak gadis tertua di lingkungan anak-anak, yakni berusia 13 tahun. Lalu Aaron berusia 8 tahun.
"Kau lucu sekali, Theo!" ucap Larissa sambil mengelus kedua pundak Theo, anak gadis terceria kedua setelah Theo yakni berusia 10 tahun.
Theo tampak tersipu malu. Lalu berkata, "Aku ingin menonjol saja."
"Itu bagus!" ucap Larissa tersenyum.
Kemudian Mama Ophelia menampilkan foto kedua setelah tampak gelap terbesit di layar kamera. Meski foto silih berganti, namun posisi 10 anak tetap sama—berbaris dengan ekspresi beragam mulai dari datar hingga tersenyum riang serta berlatar belakang kain putih.
"Theo, main monopoly, yuk!" ajak Steven tiba-tiba. Anak lelaki berusia 7 tahun, mengenakan kacamata kotak nan tebal sebab minus dan silindernya cukup tinggi. Rambut yang kepirangan itu tertiup oleh angin sepoi. Ia menampilkan raut wajah berharap bahwa Theo akan menerima ajakannya.
"Eh, monopoly?" tanya Larissa. "Bolehkah aku bergabung?"
"Aku jago, lho!"
"Aku hanya mengajak Theo," ucap Steven.
"Ih, kau pelit!" ucap Larissa kesal.
"Lho, kenapa kalian tidak bermain monopoly bersama?" Fokus Mama Ophelia seketika beralih ke obrolan Steven dan Larissa yang sengit.
Theo hanya menyimak kedua temannya yang berdebat. Perlu diakui bahwa hubungan Steven dengan Larissa layaknya kucing dengan anjing, saling bermusuhan. Larissa yang selalu memenangkan permainan papan pun kerap dihindarkan Steven. Hal itu membuat Steven kesal dan tidak pernah memenangkan permainan jika ada sosok Larissa. Namun, Larissa justru tidak menyadari tingkah laku Steven tersebut. Memang dasarnya sikap tidak peka telah mengakar dalam diri bocah perempuan berambut cokelat ikal itu.
"Bukankah itu seru kalau main monopoly beramai-ramai?" lanjutnya.
Dengan perasaan pasrah. Steven pun berkata, "Yaudah, kau boleh bermain monopoly bersama kami."
Seketika raut wajah kesal Larissa berubah menjadi kegirangan. "YAY!!"
Theo dan Steven pun saling berpandangan sekilas. Lalu Theo menampilkan senyumannya. Tidak dengan Steven yang hanya menampilkan senyuman tipis dengan malas.
"Yang lain, apakah ada yang mau bermain monopoly bersama?" Steven membesarkan suaranya.
Seketika pandangan anak-anak tertuju padanya. Suasana ramai pun menjadi hening beberapa detik. Lalu beberapa dari mereka berkata dengan serentak, "AKU! AKU!"
Tak disangka yang ingin bermain monopoly bersama Steven, Theo, dan Larissa pun ramai, sekitar tiga orang menerima ajakan bocah berkacamata tebal itu.
Steven, Theo, Larissa dan tiga orang lainnya pun berjalan menuju ruang bermain khusus. Untung saja di sana tidak ada siapapun sebab rata-rata anak di sini menyukai aktivitas di luar ruangan semisalnya di taman. Theo, Larissa dan lainnya diminta untuk duduk di lantai kayu sambil menunggu Steven yang mengambil papan monopoly dari kamarnya.
Selang beberapa menit kemudian, ia pun tiba membawa sebuah papan cukup besar yang masih terbungkus dengan tulisan 'MONOPOLY! Ayo bermain sambil berkeliling dunia!'
Tatapan mereka pun berbinar-binar seolah-olah sedang melihat harta karun. Dibukalah permainan monopoly itu dari bungkusannya. Entah bungkusannya dilempar kemana. Kini papan itu digenggaman kedua tangan Steven. Lalu diletakkan papan itu di hadapan anak-anak yang mengitari.
Mereka memulai permainan dengan melakukan hompimpa satu sama lain. Bagi yang berbeda, akan dianggap maju duluan. Sedangkan jika tersisa dua orang. Maka mereka harus melakukan suit gunting, batu, dan kertas. Permainan berlangsung dengan seru. Canda tawa menghiasi ruangan. Bahkan ada yang tersulut emosinya, yakni Steven yang terus-terusan masuk ke penjara. Hal itu mampu membuatnya kesal lalu terdiam, tidak berbicara selama permainan. Theo, Larissa, dan lainnya pun tertawa dengan aksi Steven.
"Hey, ini permainan doang kali," ucap Larissa membujuk Steven yang sedang kesal.
"Nyenyenye," ejek Steven. "Ucap seseorang yang menang telak."
"Aku belum menang lho," ucap Larissa. "Permainan masih berjalan."
Theo terdiam.
Larissa pun terdiam. Perasaan bingung terbesit dalam jiwanya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Steven yang masih berlagak keras kepala itu.
"Aha, aku ada ide!" seru Theo dengan suara kecil dan melirik Larissa di sampingnya. Ia menyenggolkan lengannya mengenai perempuan itu.
Seketika tatapan Larissa pun mengarah pada Theo. "Hm?"
"Bagaimana kalau kau kasih dia puding cokelat?" bisik Theo kepada Larissa. "Dia kan suka puding cokelat!"
"Puding cokelat, umm, oh iya! Yang dibuat Mama Ophelia kemarin, ya?" Bisik Larissa yang baru mengingat puding cokelat yang dibuat Mama Ophelia.
Theo mengangguk yakin. "Coba saja kau berikan dia itu. Aku yakin dia akan luluh."
"Aku akan ikut kau mengambilnya, ya!"
Kedua mata Larissa membulat. "Oh benarkah kau tidak apa-apa?"
"Sungguh tidak apa-apa," jawab Theo.
Pandangan Theo beralih ke papan monopoly dan anak-anak yang mengitari papan. "Ini sudah giliran siapa yang mengocok dadunya?"
"Sekarang giliran aku, lalu Steven, Andira, lalu kau, Aaron, kemudian Larissa," jawab Kinnara sambil bersiap-siap mengocok dadu yang berada di genggamannya.
"Okidokie!" jawab Theo sambil mengacungkan jempol dan mengedipkan satu mata.
"Aku dan Larissa mau keluar sebentar. Ada barang milik aku tertinggal dan butuh pertolongan Larissa untuk mencarinya," kata Theo.
"Oh begitu, baiklah," sahut Kinnara.
"Aku akan kembali sebelum giliran aku tiba, ya," kata Theo. "Kalau sudah giliranku namun aku belum tiba, lewatin saja dulu, ya."
"Hm, baiklah kalau begitu," ucap Kinnara, perempuan berambut pendek hitam. Usianya yang telah menginjak 12 tahun sejak dua hari yang lalu.
Theo dan Larissa pun bangkit dari posisi duduk lesehannya. Lalu keluar dari ruangan melalui pintu kayu ulin. Tujuan mereka berdua ialah pintu kulkas di dapur. Hal itu diketahui oleh Theo berdasarkan alur penciumannya yang kuat yang dapat mencium sejauh 5 km. Di sanalah letak puding cokelat buatan Ophelia disimpan agar puding tetap segar dan semakin nikmat. Tak jauh antara jarak ruang bermain dan dapur. Setibanya di sana, Larissa membuka pintu kulkas putih itu. Dengan girang, Bersama-sama Theo dan Larissa mengambil sepiring besar puding cokelat dan dipindahkan ke meja makan agar leluasa mengambil sepotong puding cokelat yang akan dipindahkan ke piring kecil. Theo dengan inisiatifnya mengambil piring kecil bersih yang tersusun rapi di laci khusus.
"Kalian mau makan puding cokelat, ya?" tanya Mama Ophelia tiba-tiba. Dirinya muncul hingga berhasil mengejutkan Theo dan Larissa.
"Mama Ophelia, maaf kami tidak sadar bahwa ada Mama di sini," ucap Larissa.
"Ah tidak apa-apa, Larissa. Aku juga baru tiba di sini," ucap Mama Ophelia.
"Mama, bolehkah kami mengambil sepotong puding cokelat untuk Steven?" tanya Theo dengan wajah melasnya.
Mama Ophelia pun setengah membungkukkan wajahnya menatap Theo. Dielus rambut pirang Theo yang tampaknya berdiri ke atas. "Boleh saja, Theo. Ada apa dengan Steven?"
"Steven ngambek denganku gara-gara dia kerap masuk penjara saat main monopoly," ucap Larissa. "Jadi kami berinisiatif memberikan puding untuknya agar kesalnya hilang.
"Lagian tidak enak jika bermain dan ada yang ngambek," lanjutnya dengan raut wajah sedih.
Mama Ophelia terkekeh pelan. Ia pun mengelus rambut Larissa juga. Lalu berkata, "Begitu, ya. Baiklah. Silakan."
"Baik, Terima kasih banyak, Mama!" seru serentak mereka berdua.
Mama Ophelia pun tersenyum hangat.
TOK
TOK
TOK
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar pintu
Sontak fokus Mama Ophelia beralih ke sumber suara. Kemudian tatapannya beralih ke Theo dan Larissa. Namun sekarang gerak-geriknya tampak terburu-buru. "Sebentar, ya."
Sebelum mereka mengatakan 'iya', Mama Ophelia sudah lebih dulu meninggalkan mereka berdua di dapur. Theo dan Larissa sempat terdiam sesaat hingga wujud Mama Ophelia menghilang dari balik pintu. Setelah itu, mereka kembali ke misi utama, yakni membawa sepotong puding untuk Steven yang sedang kesal tingkat dewa.
Setelah diambil satu potong puding, dikembalikannya puding tersebut ke dalam kulkas. Lalu tak lupa mengambil sebuah sendok kecil dan diletakkan di samping puding yang menampilkan kesan cantik dan segar itu. Larissa membawa sepiring puding itu, membiarkan Theo berjalan lebih dulu.
Entah apa yang merasuki jiwa Theo hingga ia berpaling tatapan ke samping dan mendapati Mama Ophelia bersama seorang pria paruh baya dengan rambut setengah memutih dan kumis berwarna sama namun tidak terlalu tebal. Langkah Theo terhenti. Disusul dengan Larissa yang ikut terhenti di belakangnya dan melihat sama arah. Aroma vanila yang berasal dari pria itu memekakkan indera penciuman Theo.
Kini tatapan pria paruh baya lengkap dengan topi cokelat dan setelan jas cokelat, dasi, serta rompi, menuju ke Theo dan Larissa dengan senyuman tipis. Dilepaskan topi cokelat tua yang menutupi rambutnya. Kini tampak rambutnya yang cokelat yang sudah agak memutih seperti butiran salju. Wajah lembutnya memancarkan aura hangat kepada Theo dan Larissa. Meskipun demikian, perasaan Theo bertanya-tanya atas kehadiran pria itu tiba-tiba.
"Siapa dia?" batin Theo kecil.
Tiba-tiba pria itu mendekati Theo. Sontak Theo mundur satu langkah. Pria itu berjongkok dengan salah satu lututnya menyentuh lantai kayu sebagai penumpu tubuhnya yang bidang.
"Siapa namamu?" tanyanya.
Theo kecil yang terbingung, langsung menatap Mama Ophelia dengan lekat. Namun Mama Ophelia tersenyum seolah-olah mempersilahkan membuka percakapan dengan pria tua di hadapan Theo saat ini.
Theo meneguk ludah di tenggorokannya. "N—nama saya Theo, Pak."
Mendengar ucapan Theo, pria itu tersenyum. "Perkenalkan, saya Edmond Liam. Saya akan menjadi orangtua mu mulai detik ini."
"Eh? Aku?" Theo membulatkan kedua matanya.
Pria bernama Edmond Liam itupun memeluk Theo.
Perasaan terkejut dan ketakutan Theo pun seketika menghilang sedikit demi sedikit dengan merasakan sentuhan fisik dan emosional yang dilontarkan pria ini. Sentuhan fisik dari seorang pria yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hangat, penuh kasih sayang, lembut, dan berwibawa. Hal itu mampu menggerakkan kedua tangan Theo untuk membalas pelukan pria itu. Ia tampak nyaman di dalam pelukan hangat pria ini, seperti tak ingin dilepaskan secepatnya. Beberapa menit kemudian setelah pelukan cukup lama, pria itu melepaskan pelukannya. Telapak tangannya yang kasar karena sudah menua itu mengelus rambut Theo.
Tatapannya beralih ke Mama Ophelia sambil tersenyum tipis. Lalu tatapannya beralih ke Theo di hadapannya. "Kau anak yang pintar, Theo. Sekarang kau mulai memanggil saya dengan sebutan ayah.
"Ayo kita pulang ke rumah barumu, ya."
"T—tapi apakah aku boleh izin mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman ku dulu selama lima menit?" tanya Theo kecil.
"Tentu saja," jawab pria itu.
Sontak Theo menatap Larissa. Ia menarik tangan Larissa dan berlari ke ruang main di mana Steven dan lainnya telah menunggu kehadiran mereka, mungkin sudah sangat lama.
Setibanya di sana, tatapan mereka semua menatap Theo dan Larissa secara bergantian.
"Hey, kalian—uwow! Puding! Apakah itu untukku?" Seketika fokus Steven beralih ke puding cokelat di dalam piring kecil di genggaman Larissa.
"Memang untukmu agar kau tidak marah-marah terus!" ucap Larissa dengan nada agak meninggi. Diberikannya puding itu kepada Steven.
Dengan kedua mata berbinar-binar menunggu suapan pertama puding favoritnya, Steven dengan gerak cepat langsung mengambil makanan manis itu dari genggaman Larissa. Akan tetapi, fokus Steven seketika beralih ke arah Theo yang masih berdiri mematung di depan pintu.
"Hey, ada apa, kenapa kau berdiri di situ?" tanyanya. "Ayo kita main lagi. Sekarang giliranmu, lho. Kami menunggu kau di sini."
Tiba-tiba air mata mengalir deras dari wajah mungil Theo. Sontak Steven, Larissa, dan lainnya bergegas menghampiri Theo. Steven menyentuh wajah Theo sembari meminta Kinnara mengambil sehelai tisu putih untuk menghapus air mata Theo. Setelah menghapus air mata Theo sebanyak dua usapan. Tatapan erat Steven mengarah pada Theo dan Larissa.
"Ada apa dengan Theo, Larissa?" tanya Steven.
"Biarkan Theo saja yang menjawab," jawab Larissa. Raut wajahnya menampilkan datar dan kesedihan. Hal itu mampu membuat Steven penasaran dengan apa yang terjadi.
"Oi, Theo. Ada apa denganmu?" tanya Steven sekali lagi.
"I—ini ...," Kalimatnya terhenti sebab tersendat di tenggorokannya. Tangisan ini semakin menjadi-jadi.
Kini mereka menunggu lanjutan kalimat dari Theo sesabar mungkin.
"Ini adalah terakhir kalinya aku bersama kalian di sini," lanjut Theo di sela isak tangisnya yang pecah. "Aku telah mendapatkan orangtua baru."
Seketika pandangan mereka semua membulat, kecuali Larissa. Mulut Steven sontak terbuka sedikit.
"BENARKAH?!"
Theo mengangguk pelan.
Steven langsung memeluk Theo dengan eratnya, disusul dengan Larissa dan lainnya. Kini mereka semua di ruangan ini memeluk Theo dengan penuh kasih sayang dan merupakan pelukan untuk terakhir kalinya.
Pelukan penuh haru.
"Selamat jagoanku, Theo, kami sayang padamu. Jangan menangis, ya," ucap Steven. Air matanya mulai berjatuhan hingga membekas di kemeja putih Theo.
Setelah pelukan yang cukup lama dengan segala keharuan itupun lepas. Kedua tangan Steven menggenggam bahu Theo dengan erat. "Kau harus jadi anak yang baik, ya di orangtua barumu nanti."
Doa kami akan selalu menyertaimu, Theo,"
Theo mengangguk pelan. "Makasih, ya Steven."
"Kami akan merindukanmu, Theo," ucap Larissa.
Theo pun berusaha tersenyum. Penuh akan campur aduk perasaan yang terlarut dalam segaris senyuman di wajahnya
"Makasih semuanya, kalian sudah menjadi teman bermainku selama di sini. Aku bersyukur telah mengenal kalian dan masuk ke dalam hidupku. Kenangan kalian tak akan pernah kulupakan sekecil pun," ucap Theo. "Baiklah, aku harus pergi sekarang."
Steven, Larissa, dan lainnya mengantar Theo keluar ruang bermain dan menuju ke depan sekaligus ingin mengetahui sosok orangtua baru Theo.
Theo kini disambut hangat kembali dengan pria yang telah menjadi orang tua angkatnya sejak beberapa menit yang lalu. Mama Ophelia pun telah membawa sekumpulan perlengkapan Theo dalam bentuk tas jinjing dari logam. Tas tersebut diberikan kepada pria itu.
Theo pun menghampiri pria itu, kemudian berjalan menuju pintu depan rumah. Dengan segala kenangan yang tercipta di rumah ini, akan selalu bersama diri Theo. Ia mulai melepaskan kerinduannya di sini.
"Theo!" panggil Steven tiba-tiba. Dirinya berlari menghampiri Theo dengan membawa sebuah buku cerita berjudul 'Theo Penyelamat Dunia', yakni buku dongeng andalan Theo selama di sini.
Ia memberikan benda bersampul ungu itu pada Theo. "Kau harus menerima ini—sebagai kenangan kami."
"Steven...,"
Mereka pun berpelukan kembali. Sontak tangisan terjadi di antara dekapan. Tangan Steven mengusap punggung Theo hingga kemejanya menimbulkan lipatan. Setelah itu, pelukan mereka terlepas. Theo mengambil buku dongeng yang memiliki nama peran utama yang sama dengannya.
"Semoga kau mendapatkan orang tua angkat segera, ya," ucap Theo.
"Yang terbaik untuk kita," ucap Steven sambil tersenyum tipis. Wajahnya penuh dengan air mata. "Kalau sempat, jangan lupa mengirimkan surat untuk kami semua, ya."
"Tentu," ucap Theo.
Ia pun melambaikan tangan ke Theo dan semua orang di belakang Theo termasuk Mama Ophelia. Lalu berkata, "Selamat tinggal semuanya."
Mereka semua membalas lambaian tangan Theo dengan penuh keharuan. Kini rumah ini dipenuhi dengan air mata kesedihan dan kerinduan. Antara merelakan hidup yang semakin berjalan, dan ingin mengubahnya. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi. Kehidupan selalu berjalan diiringi dengan waktu. Theo harus menerima ini semua. Meski rindu menerpa dirinya yang terdalam, ia harus bersyukur karena telah ada orangtua baru yang mau mengangkat dirinya.
Theo kecil dituntun berjalan oleh pria tua itu menuju sebuah kendaraan menyerupai kotak sabun berwarna hitam nan antik. Ia diminta duduk di jok belakang. Sedangkan koper kotak berisi peralatan Theo diletakkan di samping Theo duduk.
Mulai detik ini, kendaraan ini melaju dengan perlahan. Semua orang dalam Panti Asuhan Ophelia melambaikan tangan meratapi kepergian Theo untuk selamanya.
Theo yang hanya bisa meratapi mereka dari balik jendela yang tertutup kaca, tersenyum lemah sambil melambaikan pelan ke arah mereka. Semakin melaju kecepatan mobil, wujud mereka pun mengecil lalu menghilang. Disusul dengan hilangnya keberadaan rumah panti asuhan yang menemani Theo seisi hidupnya, yang tergantikan oleh pepohonan nan rindang.
Kedua tangan Theo masih menggenggam erat buku dongeng pemberian Steven. Juga, buku dongeng tersebut adalah favoritnya.
"Theo?" panggil pria itu kepada Theo dengan sekilas menaruh pandangan ke anak itu yang sedang menatap pemandangan alam yang semu dan menggenggam buku dongeng nan tebal itu.
Theo pun menatap pria itu melalui kaca belakang. "Iya, Yah?"
Ia mulai membiasakan diri menyebut pria itu dengan sebutan 'Ayah' sesuai kesepakatan awal.
"Tidak apa-apa kau bersedih, meninggalkan kenangan bersama teman-temanmu. Itu wajar, kok. Namun jangan berlarut, ya," kata pria itu.
"Um, baiklah, Yah. Akan aku usahakan," sahut Theo.
"Sekarang kita akan pulang ke rumah, ya," ucap pria itu.
"Baiklah," sahut Theo kecil dengan nada semangat, berusaha mengalihkan kesedihannya.
Baginya, ini mungkin adalah jalan terbaik.