Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 25 - CHAPTER 24 - Di Balik Secarik Memori VI

Chapter 25 - CHAPTER 24 - Di Balik Secarik Memori VI

Theo terbangun dari mimpi panjangnya.

Jujur selama ia tertidur pulas, tidak ada mimpi yang menyertainya. Melainkan hening namun lama.

Sekujur tubuhnya sangat lemas meskipun keasadarannnya sudah mencapai 90%. Seketika ia merasakan kejanggalan pada dirinya—berada di suatu tempat dan terbaring. Dibuka kedua matanya, lalu disambut cahaya mentari yang amat menyilaukan masuk ke celah kedua matanya yang sehabis terpejam lama dan mengering. Indera penciumannya pun kembali berfungsi tajam. Hanya aroma pewangi ruangan berbau bunga lavender yang kuat. Udara yang hangat namun dingin dari udara luar tetap menerpa setiap pori-pori kulitnya.

Setelah kedua matanya terbuka dengan sempurna, ia menatap dirinya yang terbalut oleh selimut putih. Lalu beralih ke sekitar ruangan yang menyerupai kamar tidur dengan meja dan lampu meja serta kursi empuk dengan ornamen cokelat di pinggirannya menghadap ke jendela yang tertutupi oleh tirai transparan.

Entah mengapa ketika mata ini berusaha menjangkau ke seluruh ruangan, tubuhnya semakin terasa lemas seolah-olah tak ada tulang dan seperti sebongkah plastik yang melayang tak tahu arah. Nafasnya pun tersengal-sengal seperti lari marathon.

Ia kembali dalam posisi semula, yakni menghadap ke atap ruangan.

"Apa yang telah terjadi?" batinnya.

Theo menghela napas.

"Kau menghajarku," ucap sosok suara berat.

Lagi-lagi Paman Benedict berhasil mengejutkan Theo yang tengah terbaring lemah itu. Sontak ia melirik keberadaan pria itu di ujung tembok dekat jendela. Ternyata ia sedari tadi terduduk di sebuah kursi kayu dekat jendela di samping kasurku.

"Sial!" batinnya. Seketika ingatan buruk akan Paman Benedict kembali terbesit

Kemudian disusul dengan perasaan kesal dalam dirinya yang mulai menggerogoti jiwanya.

Karena energinya yang terasa sangat terkuras itu, tak mampu menoleh ke arah samping. Ia hanya melirik dengan mata birunya. Tepatnya lirikan maut.

Paman Benedict beranjak dari posisi duduknya. Ia mulai mendekati Theo. Sembari dirinya melangkah, terasa energi Theo dan energinya berlawanan sehingga energi Theo merasa sangat terkuras dan lemah.

Aneh sekali.

Maka dari itu, ia hanya bisa terbaring di tempat tidur putih nan empuk ini, serta terbalutkan oleh selimut putih bersih.

Paman Benedict berdiri di pinggir kasur, Ia sengaja berdiri di dekat kaki Theo agar pemuda ini dapat melihat wujudnya dengan jelas. Paman Benedict menunjukkan tangan kanannya yang diperban. "Anggap saja ini adalah kenangan buruk untukku darimu."

"Siapa kau sebenarnya?!"

"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Theo," jawab Paman Benedict. "Satu hal yang harus kau tahu bahwa aku bukanlah paman Benedict yang kau kenal. Aku tidak ada hubungan sepupu dengan ayahmu. Camkan itu."

Satu persatu kebohongan mulai muncul. Kenyataan mulai diterima.

"A—apa maumu di sini?" tanya Theo kesal. "Kau ingin membunuhku sekarang di kala aku sedang terbaring lemah ini?"

Paman Benedict tersenyum tipis dan miring. Lalu berkata, "Kalau kau sebegitu pentingnya, kau sudah kubunuh dari kemarin."

"Sebegitu pentingnya?" Theo bertanya-tanya. "Apa maksudmu?"

"Kau merupakan manusia abnormal dengan IQ di atas rata-rata," kata Paman Benedict. "Maka dari itu, tiga tahun lagi kau akan direkrut menjadi pelatih permainan takdir."

"Harusnya kau menjadi pemain, tapi kau akan menjadi calon pelatih termuda. Semua itu karena ini," Paman Benedict menunjuk kepalanya dengan maksud otaknya dengan jari telunjuk kirinya.

"Permainan takdir?" Theo bertanya-tanya dalam batinnya.

"Permainan dengan dadu sebagai penentu takdir. Lalu ular dan tangga sebagai penentu keberuntungan," kata Paman Benedict seolah-olah menjawab pertanyaan Theo.

"Mengenai kemarin, lupakan saja. Aku harap kau mau memaafkan diriku dan dirimu tentunya," lanjutnya. "Mari tidak membahas hal itu lagi."

"Tapi aku belum bisa memaafkan kesalahan fatalmu! Aku juga gak mau menjadi pelatih permainan takdir! Aku tak akan masuk ke jebakanmu lagi!" tegas Theo menolak.

"Terserah apa katamu," ucap Paman Benedict. "Percuma kau menolak, kau dibawah pengaruh kuatku sekarang.

"Itulah sebabnya energimu terasa sangat terkuras. Kau sudah membuktikannya sekarang dengan disertai wajahmu yang sedikit pucat itu."

Theo terdiam sesaat.

"Sangat tidak benar pria ini!" batinnya.

"Omong-omong, kau sudah tertidur selama seminggu," lanjut Paman Benedict. "Syukurlah kau sudah bangun.

"Setelah kau baikan, persiapkan dirimu untuk menjadi pelatih permainan takdir."

Theo masih terdiam.

Setelah percakapan cukup singkat, Paman Benedict berjalan menuju pintu. Ia tidak menampilkan raut wajah atau perlakuan lembut untuk Theo. Seketika wujudnya menghilang dari balik pintu kayu yang jika dibuka saling bersentuhan dengan lantai kayu hingga menimbulkan bunyi deritan.

Theo kembali tersendiri di suatu ruangan yang baginya masih terasa asing. Cahaya mentari sore menyinari ruangan, sekaligus menemani Theo. Keheningan terjadi mewarnai ruangan. Segala ingatan campur aduk di otaknya menjadi satu kesatuan yang pedih. Ia ingin menangis, akan tetapi air mata dalam kelopaknya tidak mendukung dan menolak untuk keluar. Ia hanya bisa memendam hal itu hingga dadanya terasa nyeri di keadaan yang lemah. Perkataan Paman Benedict tadi pun seketika ikut terbesit.

"Harusnya kau menjadi pemain, tapi kau akan menjadi calon pelatih termuda...,

"Permainan dengan dadu sebagai penentu takdir. Lalu ular dan tangga sebagai penentu keberuntungan."

"Pelatih... Permainan takdir.., " ucapnya lirih. "Aku tidak tahu itu semua."

Ia berasa baru keluar dari goa.

"Apakah kedua hal itu sungguh penting?"

Theo menghela napas. Ia ingin berteriak. Akan tetapi, suara di tenggorokannya terasa menahannya.

"Aku tidak punya siapa-siapa sekarang. Aku sendiri."

**

Tiga tahun kemudian.

Di saat hari memulai sesi perekrutan pelatih permainan takdir di awal musim semi. Paman Benedict dan Theo yang telah berpakaian rapi dengan setelan jas cokelat tua dan dasi merah serta kemeja putih dan celana bahan cokelat tua sambil membawa tas ransel dengan membawa buku dongeng dari Steven—mengenai buku dongeng itu, Theo memutuskan untuk membawanya untuk mengingat kenangan masa kecilnya. Rambut pirang keemasan Theo yang semakin memanjang, padahal lima bulan kemarin sudah Ia potong. Akan tetapi karena cepat panjang, Ia memutuskan untuk mengikat ekor kuda pada hari ini.

Mereka berdua pun menuju area hutan di sekitar rumah, akan tetapi kali ini mereka berjalan ke hutan yang cukup dalam—jauh dari rumah. Tidak ada apapun di sana, hanya mereka berdua yang berdiri di tengah langit mendung.

"Bersiap-siap, kau akan masuk ke dimensi keempat," ucap Paman Benedict.

"Dimensi keempat?!" batin Theo terkejut.

"Sekarang nama lengkap kau adalah Theo Zephyr. Nama Zephyr adalah bagian dari nama belakangku. Ingat!" lanjut Paman Benedict.

Tiba-tiba Paman Benedict mengaktifkan sebuah portal bercahaya ungu dari telapak tangannya. Entah benda semacam hologram itu muncul dari tangannya.

"Eh?!" Theo terkejut atas pemandangan di hadapannya. Ia tidak pernah melihat hal itu sebelumnya.

"Masuklah," lanjutnya.

Melalui portal yang dibuka oleh Paman Benedict, dengan perasaan ragu, akhirnya Theo memasuki sebuah halaman suatu gedung berbentuk semacam kubah dengan lingkaran di atapnya yang terbuat dari baja. Ia disambut dengan cahaya mentari pagi yang cerah. Entah mengapa ketika dirinya menginjakkan kaki kesana, hawa sekitar berbeda. Termasuk energi Theo merasakan berbeda dari sebelumnya, yaitu adanya tekanan dari luar mengakibatkan ia sedikit merasakan kelelahan. Kelelahan yang berbeda dan sulit dijelaskan sebab hanya dirinya yang bisa merasakannya.

"Eh, inikah dimensi keempat dimaksudnya?" Ia bertanya-tanya dalam batinnya sambil menatap gedung yang luas itu di hadapannya.

Seketika portal yang dibuka Paman Benedict tertutup dan menghilang ketika Ia berbalik badan.

Theo menghela napas.

"Baiklah."

Ia melanjutkan langkahnya menuju ke dalam gedung.

Dengan sensor yang mampu membuka gerbang gedung, setibanya di sana Theo langsung disambut empat orang yang saling berbaris berjejer. Tampak wajah asing dari mereka. Anehnya, mereka saling mengobrol satu sama lainnya seolah-olah sudah akrab sejak sebelum masa perekrutan pelatih. Theo yang sudah lama tidak berinteraksi dengan orang baru pun hanya bisa terdiam dan berdiri di samping mereka.

Ia berharap dapat kembali ke zona nyamannya di rumah.

"Halo!"

Sontak Theo menoleh ke arah sampingnya dan mendapati seorang wanita berambut merah manggis yang ikal nan terurai menyapa dirinya. Pakaiannya pun sopan dengan balutan blazer abu-abu gelap, kemeja putih, dan rok span abu-abu gelap.

Dari tampilannya, wanita itu terlihat aktif dan senang menyapa orang baru.

"H—halo," ucap Theo menyapa balik.

"Kau anak baru, ya?" tanyanya.

"Bukankah kita di sini adalah sama-sama baru, ya?" tanya Theo bingung.

"Memang. Tapi aku belum pernah melihat kau sebelumnya," ucap perempuan itu.

Tiba-tiba Ia menjulurkan tangannya ke hadapan Theo. "Jane Margareth. Senang berkenalan denganmu!"

Theo tidak menjawab uluran tangan perempuan bernama Jane itu. Cukup dengan mengangkat kedua tangan sambil ditepuk setinggi dada. Lalu berkata, "Theo Zephyr. Senang berkenalan denganmu juga."

Dengan perasaan canggung, Jane menarik uluran tangannya kembali. "Oh, baiklah.

"Kuharap kita bisa berteman," lanjutnya.

Setelah percakapan singkat itu, mereka berlima berbaris seperti semula. Disusul dengan sosok pria berperawakan agak tua dengan rambut cukup memutih seperti salju itu berdiri di hadapan mereka berlima dalam keadaan tegap.

"Selamat pagi semua," sambutnya.

"Selamat pagi, Mr. Gerald!" ucap mereka serentak, kecuali Theo. Ia terdiam ketika menyebutkan nama pria itu karena tidak mengetahuinya.

"Eh, mereka sudah tahu nama pria itu??" batinnya bertanya-tanya.

"Selamat atas kehadiran kalian kembali di sini. Kali ini kalian tidak lagi menjadi pemain takdir, melainkan menjadi pelatih untuk para pemain permainan takdir angkatan berikutnya," jelas pria bernama Mr. Gerald itu. "Sebelumnya saya ucapkan atas kemenangan kalian yang pernah kalian raih pada permainan takdir angkatan sebelum-sebelumnya."

"Oh, jadi mereka semua adalah para pemenang permainan takdir...," batinnya.

"... Saya harap di permainan takdir selanjutnya, kalian mampu melatih para pemain dengan baik serta dapat bekerja sama untuk kesejahteraan serta mewujudkan permainan takdir yang sehat."

Mr. Gerald berpidato cukup singkat, dengan memberikan wejangan motivasi dan kalimat persuasif untuk mereka sebagai pelatih.

Esok pagi hari, para pelatih wajib untuk mengikuti serangkaian operasi micro-chip di jantung mereka guna untuk menambah imun dan mengendalikan diri mereka agar tetap sehat. Itulah yang dikatakan Mr. Gerald. Dengan alat-alat mesin yang mengerikan, akhirnya Theo berhasil melewati itu. Ia membutuhkan waktu seminggu agar terbangun dari ketidaksadarannya pasca operasi.

"Apakah ini wajar jika aku terbangun setelah seminggu?" tanya Theo kepada sosok robot bernama Ivonna yang senantiasa membantunya.

"Ya, itu wajar, Pelatih Theo," jawabnya. "Umumnya, manusia terbangun setelah pasca operasi micro-chip maksimal seminggu.

"Yang lain juga seminggu malah," lanjutnya.

"Oh," Theo cukup merasa tenang sentosa mendengar perkataan Ivonna. Ia merasa tidak sendirian yang telah terbangun dari mimpi panjang selama seminggu.

Setelah dirasa sudah lumayan membaik, Theo kembali beraktivitas.

Ia banyak belajar menjadi seorang pelatih permainan takdir. Selain melatih kemandirian, inisiatif, dan komitmen, hal ini juga melatih kerjasama dengan para pelatih lainnya serta ketegasan dengan para pemain permainan takdir.

Theo mulai mengenal semua rekan-rekan kerjanya dengan baik. Ia pun mendapatkan teman baru, yakni Duncan. Mereka berdua juga kerap berbincang bersama Jane setelah jam kerja selesai.

Untuk masalah ketegasan, Theo juga menduduki diri sebagai pelatih mereka. Ia tak sungkan memarahi pemain yang tidak serius mengikuti materi, atau bahkan memberikan nilai merah. Akan tetapi, apabila seseorang pemain tidak sempat mengikuti materi dan meminta materi susulan, hal itu dapat ditolerir. Meskipun sebenarnya hal itu justru tidak diperbolehkan karena akan memanjakan pemain, akan tetapi Theo mematahkan stigma itu.

Baginya, "Semua pemain berhak mendapatkan pemahaman materi. Untuk serius atau tidak, mengerti atau tidak, itu bukan urusan saya. Saya menghargai bagi mereka yang mau belajar."

Itulah prinsipnya.

Di sisi lain, pandangannya pun semakin terbuka setiap saat. Mengajari dan memantau para pemain dari seluruh penjuru daerah dan berbagai kasta menciptakan pemain yang heterogen dan saling bersatu. Theo semakin memahami secara spesifik karakteristik yang dimiliki setiap pemain dari masing-masing kasta. Ia mengira bahwa dunia ini sempit. Namun, nyatanya tidak demikian.

Unik sekali.

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Semakin bertambahnya usia. Semakin banyaknya Ia bertemu orang baru dan mengamati tindakan mereka dalam permainan takdir. Juga, perkembangan permainan takdir dari tahun ke tahun. Theo menyaksikan kasta Shuvidarm, yaitu kasta terendah dan kasta Feonarm atau kasta menengah yang selalu tertindas dalam permainan ini. Setiap permainan takdir menuju final, selalu diraih oleh pemain yang berasal dari kasta Hulisarm, yaitu kasta tertinggi.

Selalu terjadi setiap permainan takdir silih berganti.

Entah mengapa.

Hal itu mampu membuat pikirannya semakin jenuh. Hati manusianya tergerak untuk membantu dan menyelamatkan nyawa mereka. Tapi itu hanya sebatas niat tanpa melakukannya.

Sebagai seorang pelatih yang berada di bawah naungan Komandan...

... Hanya bisa terdiam, mengamati, mengajar materi, dan mematuhi perintah atasan.

Kelamnya permainan takdir pun semakin terlihat oleh kedua matanya. Mau tak mau, Ia harus menjalankannya dan memendam semua hal itu.

"Aku tidak tahu sampai kapan aku memendam masalah ini," batinnya yang terbesit tiap saat.

Mengenai buku dongeng yang dibawanya, yang diletakkan di ruang kerjanya sejak lama itu akhirnya dibawa keluar. Ia merasa bosan terus-terusan di ruang kerjanya yang penuh akan buku-buku dan dokumen-dokumen pekerjaan. Pikirannya yang penat membutuhkan sedikit hiburan dengan berjalan-jalan di lantai dasar dengan niat menghabiskan sisa waktu bebas sebelum Ia kembali lembur melatih pemain dan rapat.

Ketika Ia melangkah di lorong, seketika cahaya mentari sore menyilaukan menusuk kedua mata Theo dari sisi samping. Sontak Theo menatap ke samping. Ia mendapati sebuah taman kecil di sana.

Dengan perasaan penasaran dan tergerak untuk melangkah ke sana, Theo pun memasuki ruangan taman itu. Kedua pandangannya menatap setiap objek di sana. Jendela kaca berjejer rapi. Beragam macam tanaman tersusun sesuai jenisnya. Maka dari itu, setiap aroma yang dipancarkannya semerbak dan terdeteksi oleh indera penciuman Theo yang tajam.

Suasana seperti ini mampu menenangkan jiwanya seketika.

Seperti hidup.

Ia melangkah kakinya menuju sebuah bangku kayu di sana. Ia termenung sambil menatap langit melalui jendela kaca.

Ia menarik napas dalam-dalam guna menyerap energi alam baru, kemudian dihembuskan.

Di kala Ia sedang termenung, seketika taman ini mengingatkan dirinya pada taman di belakang rumah ayah. Tiba-tiba air mata dari kelopaknya terjatuh mengenai sampul Buku.

Buku yang berada di genggamannya itu dibukanya. Tepat sekali ketika jari-jemarinya menunjuk sebuah halaman secara acak, terbukalah halaman yang menyimpan sebuah foto dirinya di masa kecil. Seketika foto itu terjatuh mengenai tanah.

Jari-jemari Theo langsung mengambil foto itu dan dekatkan ke pandangannya.

"Eh, foto ini, kan...," ucapnya sambil mengingat ingatan terkait foto ini. Dibolak-balikkan foto itu guna mencari hal yang menyita perhatiannya.

Di belakang secarik foto, tertulis sebuah kalimat dari tinta hitam, yaitu "Tikki" dalam huruf miring.

Terbesitlah memori ketika diri kecilnya menghabiskan waktu dengan mendiang ayahnya di awal liburan musim panas. Seketika rasa rindu itu semakin menjadi-jadi. Tanpa disadari, secara foto itu diremas oleh jari-jemarinya hingga menimbulkan bekas lipatan di sana.

Tepat dua langkah darinya, terdapat bunga matahari yang indah berjejer banyak di sana. Bunga penuh ingatan masa lalu. Foto diri kecilnya pun diletakkan berdiri di depan barang bunga matahari. Ujung bawah secarik foto sengaja ditancapkan sedikit ke dalam tanah agar tetap kokoh berdiri. Alhasil, benda itu pun berdiri dengan sempurna sesuai harapan Theo.

Pandangannya beralih ke bunga matahari beserta foto masa kecilnya itu. Tatapannya sendu. Posisinya yang lama sambil berdiri dan termenung.

"Kau akan tetap di sana, Tikki. Juga mendiang ayah."