Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 27 - CHAPTER 26 - Surat Lagi

Chapter 27 - CHAPTER 26 - Surat Lagi

Sudut Pandang Eireen

Barang-barang bawaan di tas ransel berserakan hingga berjatuhan ke lantai. Sedari tadi diriku mencari secarik foto kedua orang tuaku yang telah kusimpan di sana. Akan tetapi, foto tersebut menghilang tanpa jejak. Sudah sekitar dua jam aku menghabiskan waktu istirahatku demi mencari benda itu. Suhu ruangan pun menjadi lebih panas dari biasanya.

Ya, benda itu penting sekali!

"Aduh, ke mana pula itu foto?!" gerutunya kesal, mencari foto itu tidak kunjung ketemu hingga migren menghampiri kepalanya.

Foto yang menampilkan kedua orangtuaku itu seolah-olah lenyap di telan bumi. Aku tidak menyangka foto itu menghilang. Padahal tujuanku membawa foto itu agar selalu terkenang dengan orangtuaku di sini. Benda itu selalu tersimpan dengan baik sebelumnya.

Frustasi menghampiriku.

Saking lelah jiwa ini, aku memutuskan untuk berbaring, melonggarkan otot-otot tubuhku, terutama pada otot punggung yang nyeri. Ragaku tak kuat dan menyerah untuk terus mencari benda 'sakral' itu. Akan tetapi, otakku sebaliknya, yakni dihantui dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.

"Terakhir taruh di mana, ya?" pikirku. Berusaha berpikir jernih dan pelan seperti air mengalir. Namun, semakin diingat, otakku semakin menyembunyikan hal-hal yang perlu diingat itu. Melainkan, semakin bertambah migren.

"Sepertinya aku akan gila karena ini," lanjutku.

Aku menghela napas panjang sekaligus lelah.

"Teledor lagi kau, Eireen!" gerutuku, memarahi diriku sendiri sambil menghempaskan kedua tangan ke kasur bergantian.

"Sudahlah tidak perlu memarahi diriku sendiri. Sebaiknya aku tidur sekarang demi memulihkan migren laknat ini," batinku.

Kedua mataku mulai tertutup perlahan, menikmati alunan nyeri migren yang mulai terserap oleh rasa ngantuk. Nafasku perlahan stabil dan seimbang. Sepertinya sedikit lagi aku akan ke alam mimpi, meluapkan emosiku di sana.

Dalam lima detik, aku akan tertidur lelap.

TOK TOK TOK

"Sepertinya suara itu berasal dari dalam mimpi," batinku.

Suasana kembali hening.

TOK TOK TOK

Mendengar bunyi ketukan pintu sebanyak total enam kali itu, berhasil membuat tidurku hancur. Jiwa dan raga ini memaksaku untuk bangun kembali.

"SIAPA SIH ITU, YA TUHAN!! MAU ISTIRAHAT TOLONG!!" batinku kesal tingkat dewa dengan kedua mata yang satu menatap ke arah pintu kamar.

Agar suara mengganggu itu tidak terulang kembali. Aku langsung bangkit dari kasur meskipun kini jiwa dan ragaku seperti kapas terkena air. Kedua kakiku melangkah dengan terpaksa menghampiri pintu kamar. Hati yang awalnya tentram, kini menyerupai benang kusut. Siap memarahi seseorang yang menggangguku sekarang.

Kuputar besi ganggang pintu itu ke kanan. Lalu didorong ke belakang. Angin yang berlawanan arah dari koridor seketika menerpa pori-pori wajah dan menerbangkan setiap helai poni rambutku. Muncul sosok Hawisa dari balik pintu. Ia berdiri menatapku yang seperti zombie siap menerkam siapapun yang mengganggu diriku. Namun karena dirinya yang muncul, kuredam niat itu. Kedua mataku membulat menatap dirinya. "Hawisa?"

Diriku bingung atas kehadirannya yang tiba-tiba itu. Terlebih lagi, sebuah amplop putih digenggamannya.

"Ada apa kau ke sini?" tanyaku bingung.

"Eireen, maaf aku telah mengganggu waktu istirahatmu," ucap Hawisa. "Apa kabarmu?"

"Baik, seperti biasa. Sebenarnya aku sedang memulai tidur tadi. Untung belum jauh mimpinya," jawabku dengan segaris senyuman di wajah. "Bagaimana denganmu?"

"Ah, maaf, tidak ada maksud untuk membuatmu terbangun!" ucap Hawisa.

"Tidak apa-apa, kok," jawabku sambil tersenyum ramah. "Kau mau masuk?"

Tiba-tiba ia menadahkan kedua tangannya. Lalu berkata, "Tidak usah, aku ke sini hanya ingin memberimu surat."

"Surat?"

Hawisa memberikan sepucuk surat dengan kedua tangannya kepadaku. Tampak amplop putih panjang dengan tulisan di sampulnya. Akan tetapi, terhalang oleh jari-jemari Hawisa. Aku langsung mengambil dari genggamannya. Kedua mataku mengarah pada kop surat di sana.

"Untuk Eireen, dari kami Si Sepasang Kembar Merah."

Sontak pikiranku langsung tertuju ke Andrei dan Andrea sebab hanya mereka lah si sepasang kembar merah di angkatan ini. Di sisi lain, penasaran mulai menyelimuti jiwaku atas isi pesan ini.

"Baiklah, makasih sebelumnya, Hawisa," ucapku.

"Kapanpun," ucap Hawisa sambil tersenyum.

"Oh, iya. Kau tidak makan malam?" tanyaku. "Sekarang sudah mau pukul 18.00 dalam tiga menit lagi."

"Aku sudah membeli makanan tadi di kantin. Jadi, aku makannya di kamar," jawabnya. "Kau sudah beli?"

"Tadi sore, sekitar jam tiga aku udah makan, sih. Masih kenyang juga,"jawabku.

"Oh begitu," ucapnya.

Tiba-tiba Hawisa mengenggam kedua tanganku. Kedua matanya menaruh perhatian. Segaris senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Sejak kita berdua disibukkan oleh latihan, kita jadi tidak punya waktu bersama. Semoga kita bisa bersama-sama nanti."

"Aku harap begitu, Hawisa," kataku, membalas tatapannya dan tersenyum. Kuusap jari-jemarinya yang menyentuh kulitku.

"Kau selama ini bersama Abercio dan Enja, kah?"

Hawisa mengangguk pelan. "Seperti biasa. Hubungan kami juga semakin dekat.

"Aku harap kita berempat bisa berkumpul bersama di waktu luang," lanjutnya.

"Baik," jawabku sembari tersenyum.

Beberapa detik kemudian, saling bersahutan tatapan itupun selesai. Genggaman satu sama lain ini masing-masing terlepas.

"Baiklah, kalau begitu makasih, ya, Hawisa. Aku akan kembali istirahat sekarang," kataku.

"Ya, tentu. Selamat istirahat, Eireen!" sahutnya.

Setelah ucapan perpisahan dengan Hawisa, dirinya melangkah menjauh dari hadapanku. Otomatis pintu ini langsung kututup secara perlahan agar tidak menimbulkan suara kejut yang mewarnai koridor sunyi itu. Tak lupa kukunci kembali pintu kamarku. Setelah itu, aku berlari dan kembali berbaring. Namun, kali ini berbaring secara tengkurap sambil mengenggam secarik amplop dari Andrei dan Andrea melalui Hawisa. Amplop itu langsung kusobek dengan kuku jari-jemariku hingga menimbulkan corak sobekan. Kemudian secarik surat di dalamnya pun dapat kuambil dan kulebarkan untuk mengetahui isinya.

Untuk Eireen

Hai Hai Eireen. Selamat siang/sore/malam kapanpun kau baca surat ini.

Omong-omong kami berdua bergantian untuk tulis surat ini, hehe. Semoga dapat dipahami, ya.

Jadi, gini. Pertama-tama, kami harap kau baik-baik saja, ya sebab kami cukup khawatir karena tidak bertemu denganmu sejak level Asah Ingatan.

Kalau kau ada masalah dan ingin curhat, kami siap membantu delapan jam penuh (selama hari latihan) :)

Yang kedua, sebenarnya ini merupakan isi utama dari surat ini. Pelatih Theo berpesan bahwa kau diminta untuk datang ke taman pada pukul 11.00 malam. Kami tidak tahu alasannya sebab ia tidak memberitahu kami. Jadi, kau jangan lupa datang, ya. Bisa jadi ini menyangkut hal penting.

Baiklah, akhir dari surat amatir ini, kuharap kita bisa bersama-sama latihan di level yang sama, ya. Kami menunggumu di level x hehe. Selamat istirahat dan semangat teman seperjuangan kami!

Salam lucu,

Andrei dan Andrea

Aku tersenyum hingga kedua mataku tiba di penghujung surat.

"Ada-ada saja, si kembar merah itu," batinku.

Namun di samping itu, kalimat yang terletak di paragraf 4 justru membuat diirku cukup terkejut. Tak pernah Pelatih Theo memintaku untuk bertemu sebelumnya. Apalagi di malam hari.

"Serius ini malah hari ketemuannya?" batinku.

"Apakah dia akan membahas perkembangan latihanku yang memburuk?!"

Pikiranku semakin menggila sambil menerka-nerka maksud dan tujuan Pelatih Theo yang tiba-tiba itu. Mengingat frekuensi latihanku yang tidak stabil sejak satu kali tidak lolos. Pikiran itu mampu membuat pikiran berlebih itu muncul kembali.

"Apakah dia akan menyatakan kalau aku akan gagal?!" benakku kembali berekspektasi buruk.

"TIDAK! AKU TAK SIAP!!!" teriakku sambil menutup wajahku ke kasur sehingga teriakanku redam. Migren yang sedari tadi menari di kepalaku, kini kembali muncul dan berdenyut lebih parah.

"Sebaiknya aku tidur dulu tiga jam, deh."