Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 26 - CHAPTER 25 - Tersadarkan

Chapter 26 - CHAPTER 25 - Tersadarkan

"Pelatih Theo?"

"Pelatih?"

"Maaf, Pelatih Theo?"

Sontak tatapannya teralihkan ke sumber suara. Ternyata Andrei dan Andrea sedari tadi telah memanggil namanya berulangkali. Akan tetapi, Theo tidak tersadar. Tatapannya menatap secarik foto yang ditinggalkan Eireen. Tanpa disadari cengekeramannya telah memberikan bekas pada foto itu.

"Fo—foto ini ...,

"... Eireen."

Dirasakan cahaya mentari berubah menjadi lebih hingga menandakan waktu sudah sore.

"Sudah berapa lama aku berdiri di sini??" Theo bertanya-tanya pada dirinya atas fenomena aneh yang menimpa dirinya sekarang.

"M—maaf, kami tidak bermaksud mengganggu Anda. Akan tetapi, apakah anda baik-baik saja?" tanya Andrei bingung dengan tatapan mengarah langsung ke Theo. Sekilas ia memandang secarik foto di genggaman Theo.

Theo langsung menyimpan foto itu di balik saku celananya dengan terburu-buru. Lalu ia membenarkan posisinya dengan tegap seolah tak terjadi apapun padanya. Padahal pikirannya masih tertuju pada secarik foto itu dan sesuatu yang telah menimpa dirinya hingga 'tak sadarkan diri' sesaat. "Tidak apa-apa. Aku sedang... melihat fotoku."

"Hampir saja," batinnya ketar-ketir.

"Oh baiklah, Pelatih," ucap Andrei. Tampak dari tatapannya masih meragukan jawaban Theo.

"Di mana, ya, Eireen? Aku tak melihatnya dari tadi," bisik Andrea. Meskipun ia berbisik ke saudaranya. Akan tetapi, bisikan itu terdengar oleh kedua telinga Theo di hadapannya. Tatapannya ke sana-kemari mencari wujud Eireen.

"Eireen kuminta untuk istirahat setelah mengulang materi Susulan asah ingatan," sahut Theo. "Ia kemarin tidak lolos, jadi hari ini dia sudah mengulang dan lolos.

"Kebetulan aku tidak ada sesi pengawasan kelas pagi untuk hari ini. Jadi, itu bisa kekejar," jelas Theo.

"Bolehkah kami tahu ada apa dengan Eireen sehingga dia bisa mengulang, Pelatih?" tanya Andrei. "Sebab kami tidak bertemu dengannya dari selesai latihan kemarin dan kami merasa khawatir."

Theo menghela napas. "Kalau masalah itu sih, aku tidak tahu secara pastinya. Tapi dari kelihatannya dia sedang ada masalah. Pikirannya kacau sekali."

Tatapan Andrei dan Andrea saling bersahutan. Lalu pandangannya kembali ke Theo.

"Kalian tidak ada masalah, kan dengannya?" tanya Theo kembali.

Andrei dan Andrea menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak.

"Kami pun tidak tahu, Pelatih. Dia berubah seperti itu sejak kami mengunjungi ta—" Seketika perkataan Andrea terhenti. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan rapat.

Mendengar perkataan yang dilontarkan Andrea barusan, seakan-akan Theo mendapatkan sebuah kejujuran yang terungkap di sana.

Theo menghela napas. Kedua tangannya dilipat setinggi dada.

"Andrei dan Andrea, aku tahu bahwa kalian bersama Eireen telah mengunjungi taman, kan kemarin pagi?" Menguji kejujuran pada sepasang kembar berambut merah ikal di hadapannya.

Tampak raut wajah Andrei dan Andrea saling terkejut dan bingung ingin menyela kalimat yang dilontarkan Theo. Ditambah lagi kedua mata Theo yang sengaja disipitkan hingga menampilkan raut wajah sinis itu semakin membuat keduanya gugup.

"Ano... Um... Iya, Pelatih, bahwa kami telah masuk ke area taman itu. Maafkan kami sebelumnya bahwa kami telah lancang," kata Andrei. Serentak keduanya mengarahkan kedua tangannya yang dirapatkan sebagai tanda permohonan maaf.

Theo tersenyum tipis. "Baiklah baiklah. Kali ini kalian kumaafkan. Asal kalian tahu, ruangan itu adalah ruang privasiku sebenarnya. Jadi sejujurnya tidak semua orang bisa mengakses ke sana."

"Baiklah, Pelatih Theo," jawab mereka serentai.

"Maaf sebelumnya saya ingin bertanya. Saya melihat adanya foto anak kecil di bawah bunga matahari. Kalau kami boleh berkenan untuk tahu, itu siapa?" tanya Andrei.

"Mengenai foto itu, ya...," Theo memikirkan kalimat lanjutannya. "Jadi, itu adalah foto diriku saat masih kecil. Aku sengaja meletakkannya di bawah bunga matahari karena ya bunga matahari adalah bunga yang indah."

"Kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Kami hanya penasaran karena—" Seketika kalimat Andrei terpotong.

"Karena tidak mirip dengan Anda!" ceplos Andrea.

"Eh?!" Theo terkejut dalam batinnya.

Sontak Andrei membisikkan, "Idiot!" kepada Andrea dengan suara cukup terdengar. Namun Andrea hanya tertawa seperti seorang psikopat.

Seketika posisi Theo dengan kedua tangan terlipat itu berubah dengan posisi berkacak pinggang. Tatapannya beralih ke Andrea. Wajahnya didekatkan ke pemuda berambut ikal itu. "Begitu, ya...,

"Baiklah, kau memilih untuk gugur berarti dalam permainan takdir ke-519. Dicatat!"

"HUAAAA!!! MAAFKAN SAYA, PELATIH!! SAYA TIDAK ADA MAKSUD! SAYA BENERAN KECEPLOSAN!! TOLONG JANGAN CORET NAMA SAYA. SAYA MASIH INGIN MENJADI PEMAIN PERMAINAN TAKDIR!!" seru Andrea memohon maaf kepada Theo. Kedua matanya mengeluarkan air mata cukup deras dan nyata. Wajahnya memerah seperti bayi. Saudaranya, Andrei tampak menenangkan saudaranya yang panik dengan mengusap bahunya.

Theo hanya terdiam. Ia memasang raut wajah sinis marah dan terlihat seperti guru killer yang sedang memantau anak didiknya yang menangis karena nilai jelek. Dalam lubuk hatinya, ia ingin tertawa melihat tingkah laku Andrea sebab sangat kekanak-kanakkan, berbeda dengan pemuda seumuran yang lainnya—yang lebih menyesuaikan kepribadiannya dengan usianya.

"Kau tidak lolos, Andrea. Kau bisa langsung kemas barang-barangmu dan keluar dari dimensi empat sekarang juga!" ucap Theo. "Ingat! Hanya kau sendiri. Tidak dengan saudaramu itu karena dia masih layak menjadi pemain."

"HUAAAAA!!! GIMANA INI?!!" Seketika tangisan Andrea semakin meledak. Mungkin suaranya dapat terdengar hingga penjuru lantai dasar.

Untung saja keadaan di lantai dasar hanya terisi oleh mereka bertiga. Bayangkan jika ada orang lain yang menyaksikan pemandangan ini, bisa-bisa harga diri seorang pelatih Theo pun jatuh sejatuh-jatuhnya. Sekedar membayangkannya saja mampu membuat bulu kuduk Theo berdiri.

"Memalukan!" batin Theo sambil membayangkan ekspetasi liarnya ketika di saat seperti ini.

Andrei pun berkata, "Sudah sudah. Tenangkan dirimu. Kita bisa bicarakan bersama, ya."

Namun, Andrea masih berteriak dan menangis histeris seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan idaman. Raut wajah Andrei antara bingung dan malu melihat kelakuan saudaranya di hadapan pelatihnya yang seharusnya disegani.

Theo hanya melihat sepasang kembar di hadapannya yang satunya menangis dan satunya berusaha menenangkan saudaranya. Lalu ia berkata, "Kau dinyatakan keluar dari sini setelah kau mengikuti permainan takdir."

Tiba-tiba tangisan Andrea berhenti total. Tatapannya yang membulat mengarah ke Theo. Ia pun tersenyum dengan berkata, "JADI SAYA TIDAK GUGUR, KAN?"

"Menurutmu?"

"Menurut saya bahwa saya tidak gugur dan tidak pulang sekarang!" ucap Andrea yakin sekali dengan polosnya menjawab.

"Kau mendapatkan A karena telah benar menjawab pertanyaan dirimu sendiri," ucap Theo.

"YAY!!" sontak Andrea langsung memeluk erat saudaranya hingga Andrei merasa tercekik. Lalu dilepaskannya pelukan itu.

Tatapannya kembali mengarah ke Theo yang berbinar-binar. "TERIMA KASIH BANYAK, PELATIH THEO!!!"

Namun, Theo hanya menyunggingkan senyuman tipis sebagai jawaban dari ucapan Terima kasih Andrea.

"Ada satu permintaan untuk kalian," ucap Theo. "Tolong untuk beritahu ke Eireen untuk segera menemui saya di taman pada pukul 11.00 malam ini.

"Jangan tanyakan kepadaku alasannya."

"Baiklah, Pelatih Theo. Dimengerti!" sahut keduanya serentak sambil mengarahkan tangan kanannya ke dada kiri atas.

"Bagus," ucap Theo. "Sekarang mari kita lanjutkan materi Susulan kalian sore ini."