9 tahun berlalu.
Theo kini sudah beranjak remaja di usianya yang ke-14 tahun. Wajahnya yang imut berubah menjadi lebih tampan. Suaranya juga sudah lebih memberat. Tingginya pun sudah menyentuh angka 174cm berdasarkan terakhir kali ukur sebulan yang lalu. Rambutnya yang pirang semakin memanjang. Maka dari itu, tak lupa ia mencukur setiap beberapa bulan sekali sebelum mandi. Selain itu apabila dilihat secara internal, pemikiran logikanya sudah mulai matang untuk berpikir yang lebih rumit.
Sampai detik ini, ia sama sekali belum mendapatkan kabar dari ayah. Apabila bertanya kepada Paman Benedict, maka jawabannya adalah,
"Dia akan mengubungimu. Tenang saja. Tidak usah dipikirkan."
Akan tetapi di dalam lubuk hati terdalam Theo serta logika pikirannya adalah,
"Bagaimana bisa aku percaya bahwa ini sudah memakan waktu sembilan tahun lamanya, ayah tidak kunjung pulang? Kalimat 'pergi sementara' darinya mematahkan dan meragukan jika dibandingkan dengan logikaku."
Setiap detik
Setiap menit
Setiap jam
Setiap hari
Setiap bulan
Bahkan setiap tahun berlalu, Theo terus termenung menatap jendela. Menatap awan yang terus bergerak tanpa henti. Ia membayangkan kabar ayahnya yang tak kunjung ada. Pertanyaan-pertanyaan dan segala kebingungan setiap harinya membutuhkan penjelasan di otaknya. Hal itu mampu membuat kepalanya pusing karena terlalu banyak mikir.
Di rumah ini, di rumah kayu yang kecil. Hanya hidup diri Theo dan Paman Benedict. Di tengah hutan yang rindang ini, menjadikan keduanya terasingkan dari lingkungan lautan manusia.
Paman Benedict tiap harinya selalu keluar rumah. Entah apa yang merasuki jiwanya. Meski demikian, Theo benar-benar tidak tahu tujuan paman selalu bepergian dan pulang sore.
"Paman, kerja apa?" tanya Theo penasaran sambil terduduk di sofa kulit sambil menikmati acara televisi yang menampilkan layar putih abu.
Paman Benedict tersenyum sambil membawa tas kotak berwarna cokelat. Ditentengnya tas itu. Tas jenis itu layaknya sudah lazim digunakan oleh seluruh pria untuk berkerja. "Mencari uang dengan cara halal tentunya."
Theo terdiam sambil memerhatikan Paman Benedict mengenakan sepatu di dekat rak sepatu. Tak lupa ia membawa topi dan jaket sebab cuaca sedang memasuki musim dingin yang cukup parah, yakni mencapai -10 di akhir Januari.
"Jaga rumah, ya. Jangan biarkan siapapun masuk," ucapnya.
"Baiklah," jawab Theo.
Tak lama kemudian, Paman Benedict keluar dari rumah meninggalkan Theo seorang diri di rumah kayu ulin ini. Ia terduduk di bawah kesunyian ruang tamu. Sebuah buku mengenai falsafah yang menimpa kedua pahanya pun terbuka lebar. Akan tetapi, Theo menjadi tidak memiliki ketertarikan lagi untuk membacanya. Jiwanya dilanda oleh kesepian.
Di lain hari, ketika Paman Benedict bersiap-siap bekerja di hari Selasa. Meskipun dunia sedang sehabis dilanda salju tebal tengah malem kemarin, akan tetapi ia tetap bersikeras untuk pergi bekerja dengan mobil ayah.
Theo yang sedang menghangatkan diri di kamarnya itupun berlari keluar dari kamarnya dengan memakai setelan sweater dan kaos kaki tebal. Wajahnya memerah akibat masih terkena terpaan dingin cuaca di luar.
"Paman!" panggil Theo.
"Iya?" Paman Benedict tidak menoleh ke arah Theo yang kini berada di belakangnya. Ia fokus bersiap-siap. "Bolehkah aku keluar dari rumah?"
Sontak Paman Benedict memutar badannya dan mereka pun saling menatap. Namun tatapan Paman Benedict menjadi tajam. "Apa kau bilang?"
"Aku bosan di rumah terus! Aku ingin pergi dari sini! Kau kira aku binatang peliharaan yang selalu di rumah? Bahkan binatang saja butuh udara segar!" bentak Theo tiba-tiba. Suaranya meninggi. Amarahnya yang terpendam dilupakan detik ini. "Aku ingin bertemu ayah, tapi kau selalu bilang bahwa dia akan pulang dan pulang! MANA BUKTINYA?!"
Mendengar nada tinggi Theo, jiwa Paman Benedict mulai mendidih. Wajahnya pun mulai memerah. Akan tetapi, amarahnya yang sama meledaknya itu diredam. Ia menarik napas sejenak lalu hembuskan. "Theo, dengarkan paman baik-baik.
"Aku tidak bisa memastikan kapan ayahmu pulang. Aku bukan cenayang yang tahu masa depan," katanya. "Aku sengaja mengatakan hal itu terus-menerus untuk meredam keinginan tahuanmu. Tapi ternyata kau malah semakin ingin tahu. Maafkan aku yang telah salah berkata."
Theo terdiam sambil meredamkan amarahnya. Nafasnya memburu. Namun saat ini sudah lebih reda.
"Mengenai hal kau tidak boleh keluar, bahwa hutan ini sungguh bahaya. Aku tidak ingin kau kenapa-napa."
"Tapi, kan kau bisa mengajakku. Kita akan pergi bersama-sama!" Theo bersikeras.
"Aku tidak memiliki waktu untuk menghabiskan bersamamu di luar karena pekerjaanku semakin lembur," kata Paman Benedict.
Setelah debat yang hampir sengit itu, akhirnya pun berakhir. Kesunyian menyelimuti mereka berdua di ruang tengah. Bahkan dinginnya udara luar berhasil menyentuh pori-pori kulit keduanya di saat sunyi begini.
"Baiklah, aku pergi dulu," lanjut Paman Benedict setelah diam beberapa detik. Ia pun kembali membelakangi Theo, menuju rak sepatu dan mengenakan jaket tebal dan topi. Tatapannya sama sekali tidak mengarah ke Theo yang masih berdiri mematung. Kemudian wujud Paman Benedict pun ditelan oleh pintu rumah.
Setelah pintu rumah berbunyi 'ceklek', Theo masih tetap dalam keadaan berdiri mematung. Hal itu untuk menyerap energi yang baru dan melepaskan energi kotor alias energi penuh amarah negatif . Kedua tangannya dikepalkan. Ia ingin menangis saat itu juga. Namun, perasaan sedih ini makin tergantikan oleh amarah yang semakin meledak.
Alhasil, gelas bening dengan ukiran kembang di badannya langsung digenggam dan dilempar hingga mengenai dinding ruangan hingga pecah terberai. Juga, mengenai salah satu foto berbingkai milik Paman Benedict yang berpose rapi di sebuah taman, terjatuh dan pecah hingga fotonya sedikit mencuat keluar. Setelah dirasa mulai semakin memuncak, ia pun berlari ke kamar.
GREKKK
"Eh?"
Langkah Theo terhenti.
GREEK
Bunyi misterius tersebut berbunyi sebanyak dua kali. Sontak Theo membalikkan badannya.
Kedua matanya membulat terkejut. Lantai yang terkena pecahan bingkai foto milik Paman Benedict itupun terbuka seolah-olah seperti jalan menuju bunker. Theo tidak mengedipkan kedua matanya sesaat. Langkahnya pun berbalik dan mendekati sebuah ruangan bawah tanah itu.
Gelap sekali.
Melihat keadaan ruangan lorong itu yang gelap, Theo berinisiatif untuk membuat lilin dengan korek api. Untung saja stok lilin masih tersedia untuk musim dingin. Diletakkan lilin putih dengan api kecil di atasnya di dalam sebuah wadah kecil. Kemudian sambil dibawanya, Theo mulai melangkah memasuki ruangan itu.
Untuk menuju ke sana, telah disediakan tangga menurun.
Theo benar-benar tak habis pikir. Dengan mengikuti kata hatinya, ia langsung menuruni anak tangga sambil membawa lilin. Alhasil setidaknya adanya penerangan yang tidak membutakan pandangannya. Tiba-tiba pintu lantai yang terbuka itu tertutup.
Theo hampir terkejut.
Akan tetapi, ia tetap melanjutkan aksinya.
Tak berapa lama kemudian, Theo tiba di bawah. Kedua kakinya menginjak lantai berbatu bata. Dengan modal penerangan minim, Theo berjalan menyusuri koridor ruang bawah tanah misterius ini. Pandangannya menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak ada apapun. Hanya saja semuanya berasal dari batu bata. Bedanya di bagian dinding dicat putih. Lalu untuk lantainya dicat abu-abu.
Setelah sekitar enam langkah dari anak tangga, Theo disuguhi sebuah pintu kayu yang sudah tampak lusuh itu. Anehnya pintu ini terbuka setengah.
Theo meneguk ludah. Jiwanya ketar-ketir, berharap Paman Benedict tidak mencarinya sampai di sini. Kedua tangannya gemetar sekaligus jiwanya diselimuti oleh penasaran yang amat tinggi. Melalui celah pintu itu, kedua mata Theo berusaha mendapatkan objek yang membuat penasarannya terbayarkan. Akan tetapi karena situasi yang gelap itu menjadikannya nihil.
Theo menghela napas.
Ditariknya ganggang pintu yang sudah berkarat itu ke depan hingga berbunyi aneh yang mampu menyebabkan kedua telinganya ngilu. Kemudian diarahkannya cahaya dari lilin ke segala penjuru objek di dalam ruangan itu.
Tampak tumpukan kertas yang telah berlubang dan sobek menghiasi meja di hadapan Theo. Setiap tulisannya pun sebagian besar sudah memudar. Kemudian di arahkan cahaya itu hingga menampakkan sisi dinding di hadapannya yang sebenarnya.
Puluhan kertas tertempel menghiasi pemandangan dinding tepat di hadapannya. Tampak kertas-kertas tersebut menampilkan wajah dan nama orang. Baik laki-laki maupun perempuan. Namun setiap kertas tersebut kebanyakan memiliki identitas yang sama. Terlebih lagi identitas itu adalah yang selama ini dicari oleh Theo.
"Ayah?!" seru Theo membulatkan kedua matanya. Pupil matanya mengecil.
Pemandangan itu semakin jelas, menampilkan identitas ayah, mulai dari wajah, nama, bahkan alamat ayah tinggal tertera di sana. Lengkap dengan judul 'TARGET' serta spidol merah dan hitam mewarnai wajah ayah. Tak hanya itu, beberapa foto seperti hasil dari kamera ayah pun menampilkan jasad ayah yang tergeletak tengkurap dengan tembakan di dadanya hingga mengeluarkan darah banyak dan bolongan cukup besar. Pakaiannya pun sama seperti hari di mana Theo berangkat ke sekolah di awal semester kelas dua sekolah dasar.
"Tak mungkin!"
"TAK MUNGKIN INI TERJADI, AYAH!!!!" teriaknya dengan spontan. Jiwanya terasa tertusuk oleh ribuan pedang super runcing. Sakit sekali. sekujur tubuhnya pun gemetar. Lilin di genggamannya bergerak hampir terjatuh.
Lalu pandangannya beralih ke lembaran berikutnya, yakni menampilkan Mama Ophelia dan anak-anak yang sama halnya tewas mengenaskan seperti ayah. Tubuh mereka sudah tidak berwujud yang baik. Darah mewarnai mereka. Hal itu semakin membuat Theo frustasi saat itu juga. Pikirannya terbesit ke sosok Paman Benedict.
"Sialan, dia berbohong atas semua ini!!" batinnya kesal.
"Kau mengetahui lebih dulu akan hal ini, Theo."
Tiba-tiba suara Paman Benedict muncul dari belakang. Theo tidak melirik ke arah belakang. Emosinya di ujung kepala.
"Berani-beraninya kau masuk ruang pribadiku, anak nakal," lanjutnya.
Tak tahan mendengar ocehan Paman Benedict, di sisi lain terdapat pisau belati berkarat di dekat mejanya, Theo berbalik badan. Sambil membawa lilin dan pisau belati berkarat, ia melangkah menghampiri Paman Benedict dan langsung menyergap sambil menusuk tangan kanan Paman Benedict hingga menancap ke lantai batu,lalu mengarahkan lilin yang menyala itu ke wajah pria muda itu. Wadah kecil yang menemani lilin itu terjatuh. Namun, Theo tak memperdulikan hal itu. Saat ini emosinya sudah di ujung tanduk. Paman Benedict menahan tangan Theo yang mengarahkan lilin ke wajahnya. Sementara itu, tangan Theo satunya mencengkeram kerah kemeja Paman Benedict hingga terjatuh terlentang.
"JELASKAN KEPADAKU, APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA AYAH DAN MAMA OPHELIA?!!" Suara Theo meninggi. "KAU BERBOHONG PADAKU! KAU SIAPA SEBENARNYA?!! DASAR BRENGSEK!"
"ENYAH SAJA KAU, MUNAFIK!!" seru Theo, melawan energi kuat dari tangan kiri Paman Benedict yang berusaha menahan lilin itu mengenai wajahnya yang mulus.
"Theo, hentikan!" seru Paman Benedict meringis kesakitan.
"Tidak akan kuhentikan aksiku sebelum kau mati!" ucap Theo sambil mengerang.
"Theo, kumohon!"
Theo terus berusaha mengenai lilin itu ke wajah Paman Benedict. Alhasil ujung api berhasil menorehkan segaris luka bakar di pipinya kanannya. Namun, Theo ingin lebih dari itu. Ia terus berusaha mengenai api itu ke seluruh wajah pria di bawahnya.
"Kau... Kau adalah iblis yang merusak hidupku!" seru Theo dengan nada geram. "SIAPA KAU SEBENARNYA HAH?!!!"
"Kau salah menilaiku, Theo," kata Paman Benedict. "JUSTRU AYAH ANGKATMU DAN OPHELIA LAH YANG MENGACAUKAN HIDUPMU. MEREKA ADALAH MONSTER ASAL KAU TAHU!"
"Aku hanya ingin menyelamatkan kau dari belenggu mereka!"
"MANA MUNGKIN MEREKA SEPERTI ITU!!! KAU PIKIR KAU BISA MEMANIPULASI PIKIRANKU?! TEGANYA KAU!" bentak Theo.
Seketika Paman Benedict memukul dahi Theo dengan sangat keras hingga Theo melemahkan tenaganya. Pukulan itu tepat mengenai tulang dahi yang terdalam hingga terasa remuk. Pandangan Theo menjadi hitam seketika. Suara sekitar menjadi kedap di kedua telinganya. Dalam beberapa detik, ia pun terjatuh dan terbaring di samping Paman Benedict. Emosinya yang menggebu-gebu itu tergantikan oleh ketidaksadaran.