23 September
Hari pertama Theo kembali bersekolah di tahun ajaran baru. Ia telah menduduki semester pertama di kelas dua.
"Ayah, ayo kita berangkat!" ajaknya. Ia berlari mencari ayahnya ke penjuru ruangan. Namun tak muncul.
"Kemana, ya?" batinnya bertanya-tanya penasaran.
Tiba-tiba terdengar suara senandung dari arah luar. Suara tersebut terdengar sayup.
"Eh?"
Theo sempat terdiam sesaat mengamati suara tersebut. Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya menuju sumber suara. Langkah demi langkah tibalah dirinya di suatu ruangan berupa taman kecil. Di sana tersedia beberapa tanaman bunga matahari. Juga, ayah yang sudah rapi dengan jaket kemeja yang terbalut jas cokelatnya tengah menyirami tanamannya sambil bersenandung. Theo mengintip dari balik pintu kayu. Ia mendengar setiap lantunan dari mulut ayahnya.
Tampak gerakan ayah yang sangat menikmati mengurus tanaman bunga matahei nya.
"Ayah jago nyanyi juga, ya," batin Theo terkesima.
Mungkin karena ayah menyadari kehadiran Theo, lantunan iramanya pun berhenti. Ia meletakkan gembor di meja kecil. Theo pun berlari menghampiri ayah dan memeluk dari belakang. Sontak melihat perlakuan anak angkatnya, ia berbalik badan dan menggendong Theo yang sudah berpakaian seragam sekolah dengan setelan dasi dan kemeja putih dan celana cokelat muda serta dasi merah, kemudian tas ransel kotak kuning. Tak lupa ia mencium pipi balon Theo yang wangi bedak.
"Anak ayah sudah siap, ya ternyata," ucap ayah tersenyum.
"Iya, dong," sahut Theo. "Ayo, Yah kita berangkat!"
"Ayo!" seru ayah.
Ayah sambil menggendong Theo pun langsung meninggalkan taman kecil tersebut. Ia tak lupa membawa tas kerjanya dan topinya kemudian mengunci pintu rumah. Setelah itu mereka bersama menuju garasi mobil. Theo diletakkan di jok kanan depan—samping ayahnya mengemudi. Tak lupa dipasangkan sabuk pengaman agar Theo tetap aman. Setelah beres, ayah menduduki jok andalannya. Tak lupa mengenakkan sabuk pengaman selain hal itu merupakan kewajiban dalam tata tertib berlalu lintas setiap orang.
Setelah itu, mobil pun meluncur dengan leluasa menuju Sekolah Dasar Nord, yaitu sekolah dasar tempat Theo belajar. Pagi hari yang cerah meskipun udara menjadi lebih sejuk karena sudah masuk penghujung musim panas. Orang-orang sudah berlalu lalang melakukan rutinitas harian mereka. Hari yang indah.
"Tiki, hari ini kau akan belajar apa?" tanya ayah dengan melirik Theo yang pandangan melihat ke arah jendela.
"Oh, hari ini aku akan ada kelas literasi," jawab Theo sambil menatap ayah. "Aku membawa buku dongeng yang Steven pernah berikan padaku.
"Juga, buku ini kerap ayah bacakan untukku tiap malam," lanjutnya.
"Oh begitu," ucap ayah.
"Lalu ada pelajaran seni, um...sains, dan apalagi, ya. Sepertinya sudah," lanjut Theo.
"Berarti hari ini kau pulang seperti biasa pukul 11.00 kan?"
Theo mengangguk. "Benar, Yah!"
"Baiklah, karena Ms. Olya cuti sebab masalah keluarga sehingga ayah akan menjemputmu, ya," ucap ayah.
"Yay!!" Theo kecil sahut kegirangan sebab kadang dan hampir jarang ayah menjemput Theo karena sibuk dengan pekerjaannya. Terlebih lagi, ayah kerap lembur biasanya. Sungguh bekerja di mbidang media sering seperti itu.
Ayah hanya tersenyum dengan lirikan sekilas ke arah Theo. Kemudian pandangannya kembali terfokus ke depan, menatap jalur jalan yang akan dilewati.
"Omong-omong, Yah...," panggil Theo agak ragu.
"Iya, Nak?" tanya ayah.
"Aku mau bilang bahwa ...," kalimatnya terhenti.
Ayah mengernyitkan alis dan kembali sekilas menoleh ke arah Theo. "Bahwa kenapa?"
"Ano—eum...,"
"Hayo kenapa?" tanya ayah penasaran
"Sejujurnya aku tidak sengaja mendengar nyanyian ayah tadi, um bolehkah aku mendengarnya lagi?"
Ayah tersenyum. "Oh ternyata kau mendengarnya, ya. Baiklah."
Sebelum memulai nyanyian, ayah membersihkan tenggorokannya. Lalu mulai bernyanyi.
"Pulchra mundi, pulchra mundi,
"Laudo omnem creaturam,"
Setiap nadanya memasuki setiap celah indera pendengaran Theo. Mendengarnya mampu membangkitkan sekujur jiwanya terbenam dalam keindahan suara ayah hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Meskipun ia tidak tahu apa yang dikatakan. Tatapan Theo membulat menatap ayah. Kali ini tatapan terkesima.
"Hoc est ubi habito. A pueritia usque nunc, plena laetitia. Ut sperem in te?" Nada ayah agak meninggi dan merdu.
"Promittunt humi dum recens spirat auras," Nadanya mulai merendah.
"Omni tempore novum diem receperint. promitto ne me confundas," Nadanya mulai mengimbangi.
"Qualis esse cupio semper,
"Pulchra mundi, pulchra mundi..., " Nadanya kembali seperti lirik awal.
"Volo semper sic."
Theo langsung bertepuk tangan setelah tiba di lirik akhir.
"Sungguh indah, Yah!" puji Theo.
Ayah pun mengelus kepala Theo sesaat. "Anak ayah selalu muji ayahnya terus."
"Beneran, lho, Yah," Theo meyakinkan atas pujiannya. "Aku belum pernah ayah menyanyikan lagu itu."
"Tiba-tiba ayah teringat masa kecil ayah," ucap ayah. "Mendiang ibu ayah kerap menyanyikan lagu itu saat mengurus tanaman-tanamannya."
"Oh, jadi ayah suka tanaman karena dari ayah ibu, ya?"
Ayah mengangguk. "Iya, beliau juga suka bunga matahari. Begitu juga dengan ayah.
"Wah aku ingin seperti ayah yang punya banyak minat!" seru Theo.
"Nanti kau juga akan menemukan minat ketika kau sudah besar, Tiki," ucap ayah.
"Satu lagi, Yah. Tadi itu ayah menyanyikan lagu apa, ya?" tanya Theo penasaran. Pertanyaan itu seketika terbesit di otaknya setelah beberapa detik menghilang. "Aku tidak mengerti."
"Tadi adalah lagu berjudul 'Dunia yang Indah' dalam bahasa latin," jawab ayah.
"Akhirnya kita tiba di tempat tujuan. Bersiap-siap lah, Tiki," kata ayah.
Pandangan Theo pun beralih cepat ke depan dan mendapati lokasi sekolahnya sudah mendekat. Sudah saatnya dirinya bersiap-siap untuk turun dan memulai hari baru di semester baru. Sedari tadi ia merangkul ranselnya sehingga ketika mobil turun, ia tinggal turun saja.
Mobil pun mulai melaju pelan, lalu terhenti. Ayah mengaktifkan kembali kunci pintu mobil hingga memudahkan Theo untuk turun.
"Ayah akan jemput pukul 10.30, ya. Kalau ayah belum tiba, jangan keluar dan tetap di dalam sekolah," jelas ayah.
"Baik, Yah," sahut Theo.
Ayah pun mencium dahi Theo dan mengelus rambut Theo yang klimis nan rapi. "Semangat dan belajar dengan baik, ya, Nak."
"Baik, Yah. Terima kasih. Aku turun dulu. Sayang ayah!"
Theo pun turun dari mobil sembari melambai ke arah ayah. Ayah pun membalas lambaian Theo. Ia memantau Theo hingga anak itu masuk ke dalam sekolah. Setelah itu, meninggalkan halaman sekolah menuju kantor siaran radio.
Setibanya di dalam sekolah, Theo harus melangkah cukup jauh menuju kelasnya yang berada di lantai dua melalui anak tangga. Baru di area tangga, sudah dipenuhi anak-anak dari berbagai tingkatan kelas yang berlalu-lalang dengan temannya. Ada pula yang baru tiba dan berjalan bersama Theo. Semua terlihat biasa saja seperti anak sekolah pada umumnya, dengan balutan seragam kemeja putih dan dasi merah serta celana cokelat untuk laki-laki dan rok selutut cokelat untuk perempuan.
Di kelas, Theo menuju bangku kayu dia baris dari belakang. Di sana setiap bangku tersusun individu. Theo sengaja memilih bangku agak depan agar dirinya tetap terfokus dengan penjelasan pelajaran oleh guru dan tidak merasa mengantuk.
RIINNGGGGG
Bel berbunyi nyaring menandakan kelas mata pelajaran telah dimulai. Setiap kelas mendapatkan mata pelajaran yang berbeda. Untuk kelas Theo, mereka mendapatkan mata pelajaran literasi.
Theo yang sudah mahir memahami buku dongengnya, merasa tenang dalam mata pelajaran ini.
**
5 jam berlalu.
RINGGGGG
Bel pulang berbunyi nyaring. Seluruh anak-anak dan pengajar pun masing-masing keluar ruangan dengan membawa perlengkapan mereka. Theo bersama teman-temannya pun keluar dari ruangan menuju halaman luar sekolah. Sungguh padat di sini, sebab ribuan anak berkumpul di halaman utama sekolah menuju halaman luar sekolah dan pulang.
"Theo, Bobby, Rei, dan Alia aku pulang dulu, ya!" ucap Claire sambil melambaikan tangan ke arah Theo dan kawan-kawannya sembari tersenyum ramah.
"Sampai jumpa besok!" ucap mereka serentak.
Claire pun berlari ke arah sepeda di mana ibunya telah menunggu dirinya di depan gerbang sekolah. Selang beberapa detik setelah pulangnya Claire, lalu disusul dengan yang lain satu persatu hingga tersisa Rei dan Theo.
TEN TEN
Mendengar bunyi klakson mobil, sontak Rei menatap ke luar gerbang sekolah yang terbuka itu.
Ia kembali menatap Theo. Lalu berkata, "Theo, kurasa aku harus pulang sebab orangtuaku sudah tiba."
Theo ikut menatap mobil di depan gerbang dari dalam sekolah. Lalu tatapannya beralih ke Rei. "Oh yaudah tidak apa-apa. Hati-hati, ya, Rei."
"Kau tidak apa-apa sendirian, kah?" tanya Rei khawatir.
Theo mengangguk yakin. "Aku baik-baik saja. Sebentar lagi ayahku akan tiba."
Mendengar jawaban Theo. Rei berkata, "Baiklah, aku pulang duluan, ya. Sampai jumpa besok!"
Setelah melancarkan tepuk tangan khas keduanya, Rei berjalan menjauh dari Theo menuju mobil orangtuanya.
Kini tersisa Theo di antara geng nya yang sudah pulang. Setiap menitnya area sekolah semakin sepi. Jika diamati, tersisa tiga orang anak yang sedang menunggu jemputan, termasuk Theo.
Theo terus menunggu.
"Untung saja aku sudah makan bekal di istirahat pertama," ucapnya.
10 menit
20 menit
30 menit
Bahkan saat ini sudah pukul 12.30. Namun, ayah belum tiba. Kini tersisa dirinya seorang di dalam sekolah.
Terbesit ketakutan dalam diri Theo sebab tak pernah sebelumnya ia berada di sekolah se lama ini.
Theo menghela napas.
Sambil menunggu ayah, ia memutuskan untuk duduk di lantai seorang diri. Termenung menatap gerbang sekolah. Menanti kedatangan ayah sekarang juga.
TIINNN TINNNN
Benar saja. Tiba-tiba mobil ayah muncul berhenti di depan gerbang sekolah.
Theo kecil langsung bangkit dari posisinya. Sambil membawa tas ransel di punggungnya, ia berlari ke arah mobil. Dibukanya pintu mobil dan terduduk di jok depan di samping pengemudi.
"Ayah! Ayah! Hari ini aku—"
Seketika tatapannya membulat heran ke arah jok di sampingnya.
"Halo, Theo," ucap seorang pria muda dengan segaris senyuman di wajahnya. Salah satu tangannya melambaikan tangannya ke arah Theo. Satu tangannya lagi diletakkan di atas stir kendaraan.
Sontak Theo sedikit mengambil jarak dari pria itu. Tatapannya mengamati pria berambut hitam klimis menyamping itu dari ujung kepala ke ujung kaki yang ditekuk itu. Dari segi pakaiannya, mengenakan setelan jas hitam dan dasi hitam rapi, mirip dengan setelan ayah. Bedanya ayah memakai warna cokelat terang.
"Siapa dia?!" batin Theo.
"Jangan takut, Theo. Perkenalkan aku Benedict Zephyr. Sepupu Mr. Edmond, ayahmu. Mendadak dirinya menyuruhku untuk menjemputmu karena dia mendapatkan tugas lembur yang mengakibatkan ia harus ke luar kota mulai hari ini," jelas pria bernama Benedict itu.
"Oh begitu, ya," ucap Theo, berusaha mengerti tiap kalimat pria itu meski dirinya kesal karena ayah tidak mengabarinya tadi pagi.
Namanya juga mendadak, tidak ada yang tahu.
Theo menghela napas.
"Karena dia bilang agar kau tidak sendiri, jadi kau ikut tinggal bersamaku sementara waktu di Liere," katanya.
"Liere?"
Liere adalah sebuah desa terpencil di pinggir Laveria dan penuh dengan hutan pinus nan rindang. Konon tidak ada rumah penduduk di sana karena merupakan desa tak berpenghuni, berdasarkan yang pernah Theo baca melalui surat kabar dan ayah pernah bercerita.
"Kita akan tinggal di hutan?" tanya Theo bingung. "Lalu bagaimana sekolahku?"
"Di sana kau dan aku aman, kok. Dan aku tinggal di sana. Kita akan menghabiskan waktu bersama di sana," jawabnya. "Mengenai sekolahmu, tidak apa-apa jika tidak masuk sekolah bukan?"
"T—tapi,"
"Ayahmu tidak percaya aku untuk tinggal di rumahnya. Jadi, apa boleh buat. Maafkan aku, ya," katanya tersenyum tipis.
Theo menghela napas. "Baiklah. Terima kasih, Paman Benedict."
"Ah, kau tak perlu kamu begitu. Anggap saja aku adalah teman sebayamu," katanya.
"Baiklah, Paman," sahut Theo. "Omong-omong, kenapa ayah tidak memberitahuku ya tadi pagi kalau dia bakal sibuk banget?"
"Ayahmu buru-buru memberitahuku secara mendadak. Jadi, maafkanlah ayahmu, ya," ucapnya. "Kau akan aman bersamaku sementara ini."
Theo terdiam.