Sudut Pandang Robbinson
22 tahun yang lalu.
Tepatnya pada saat krisis moneter sekaligus krisis moral terjadi di Kota Anvurel, kota di sebelah Selatan Pulau Laveria. Di malam bulan sabit merah, lahirlah anak pertama dari pasangan Alicia dan Robbinson. Anak itu terus menangis kencang setelah dirinya keluar menyambut pahitnya dunia. Sekujur tubuhnya yang kemerahan seperti kepiting rebus itu langsung dibalut dengan kain putih berbulu yang telah disiapkan.
"Selamat, bayinya telah lahir dengan normal yang berjenis kelamin laki-laki," ucap seorang bidan sambil tersenyum kepada Alicia dan Robbinson. Bayi itu langsung ditepatkan di sisi Alicia yang tengah terbaring lemah di tempat tidurnya.
Tampak wajah Alicia dan Robbinson penuh haru. Alicia pun langsung memeluk dan menenangkan buah hatinya. Lalu Robbinson yang sedari tadi menemani istrinya melahirkan, langsung mengelus kepala anaknya yang telah ditumbuhi rambut pirang kecil. Bayi itupun akhirnya luluh dan tenang dengan kedua matanya yang belum sepenuhnya terbuka.
Sang bidan pun langsung membersihkan ari-ari dari ibu itu dan meninggalkan ruangan.
Wajah haru keduanya pun masih tersirat. Akan tetapi, tidak sepenuhnya haru. Seperti ada yang mengganjal dalam diri mereka. Tatapan mereka masih mengarah pada bayi mungil di dekapan Alicia. Bayi itu langsung diberikan asi nya.
"Sayang," panggil Alicia lirih. "Aku sangat sayang dengan anak pertama kita."
"Aku tidak ingin membuangnya. Bisakah kita mengurusnya?"
"Anak ini akan membawa malapetaka, sayang. Lihatlah malam ini adalah malam bulan sabit merah," kata Robbinson. "Aku pun terpaksa, sayang. Tapi mau bagaimana lagi?
"Aku percaya ini merupakan jalan yang terbaik antara kita dan anak ini."
Mendengar perkataan suaminya, Alicia pun tak ada pilihan. Anak pertamanya harus disingkirkan dari kehidupannya. Wajahnya dipenuhi oleh air mata yang mengering. Tatapannya mengarah pada sosok bayi mungilnya yang iba dan masih terlalu baru mengetahui dunia. Akan tetapi, terpaksa harus menerima kenyataan dunia yang pahit.
Bulan sabit merah ialah bulan yang dianggap pembawa malapetaka. Apapun yang terjadi pada malam itu, maka akan membawa malapetaka untuk masa depan dunia. Apalagi saat ini, Kota Anvurel sedang dilanda krisis moneter hebat sejak kebijakan pangan diubah oleh Raja hingga merugikan rakyat kasta Suvidarm. Tak jarang kejadian penjarahan dan pemberontakan terjadi di lingkungan kota ini. Kebakaran pun kerap terjadi. Para anggota keluarga pun ketakutan dan tidak berani keluar dari rumah mereka. Semua ventilasi ditutup rapat-rapat sebab penjarahan di tiap rumah terkadang terjadi kapanpun.
Bayi pertama mereka terus dalam dekapan Alicia seolah-olah tidak ingin kehilangan. Robbinson pun sesekali memeluk bayinya. Akan tetapi, tidak terlalu sering. Ia juga menyimpan rasa penyesalan serta kesedihan atas Kerelaan bayinya. Ia juga tak punya pilihan selain mengikuti peraturan hidup.
Atas dasar inisiatif selama semalam penuh, Robbinson mencari panti asuhan di kota Anvurel melalui surat-surat kabar. Akhirnya ia pun menemukan sebuah panti asuhan yang terkenal bagus di kalangannya, yakni Panti Asuhan Ophelia.
Keesokan paginya, Alicia masih terbaring lemah di tempat tidur, tempat dirinya bersalin. Bayi yang sejak semalam tertidur dengannya itu kini di bawah dekapan Robbinson. Pria berambut klimis itu mengurus putranya dengan memandikannya hingga bersih, lalu dikenakan pakaian bayi ala kadarnya. Kemudian bayi itu diletakkan di sebuah kardus yang beralaskan dua lapisan kain berbulu dan sebuah bantal kecil. Sebelum pergi, ia mencium dahi istrinya yang terbaring lemas itu.
"Hati-hati, sayang," ucap lirih Alicia kepada Robbinson. "Jaga anak ini sampai di tempat yang terbaik."
"Baiklah, pasti," ucap Robbinson tersenyum tipis sambil mengelus rambut istrinya. "Aku sudah menemukan panti asuhan terbaik melalui surat-surat kabar. Panti Asuhan Ophelia."
Alicia tidak menunjukkan wajah bahagia, melainkan masih tersedih atas perpisahan dengan buah hatinya yang baru semalam bertemu. Air mata tidak lagi keluar dari kelopak matanya dikarenakan sudah mengering. "Baiklah. Yang terbaik untuk anak ini."
"Aku akan kembali secepatnya," ucap Robbinson, kembali mencium dahi istrinya.
Setelah ucapan perpisahan sementara, Robbinson pun keluar meninggalkan istrinya dengan membawa sebuah kardus berisi bayinya yang malang serta secarik surat kabar yang tertulis alamat lengkap Panti Asuhan Ophelia. Ia langsung menutup dan mengunci dengan erat segala ventilasi rumah kayunya. Kemudian dengan bantuan sepeda gerobak—kendaraan setiap dirinya bekerja, ia mulai berjalan membawa bayinya yang tersimpan di gerobak belakangnya.
Udara sejuk musim semi menerpa tiap pori-pori kulitnya. Cahaya matahari pagi menyinari tiap helai rambut pirangnya serta sudut jalanan. Dedaunan dan bunga mulai berkembang. Akan tetapi terkalahkan dengan situasi memburuk yang menimpa kota ini hingga menimbulkan polusi dan kondisi jalanan yang menampilkan sampah-sampah yang berserakan. Di sisi lain, kondisi jalanan yang sepi, membuat perjalanan mereka lancar. Selama perjalanan pun bayinya tidak menangis, melainkan tenang.
Tatapan Robbinson setiap menitnya beralih antara secarik surat kabar di genggamannya dan perumahan di sampingnya. Setelah perjalanan yang menghabiskan waktu 20 menit pun, akhirnya Robbinson dan anaknya tiba di Panti Asuhan Ophelia.
Dengan seksama sambil melihat rupa bangunannya dari surat kabar dan aslinya, terbesit Pertanyaan-pertanyaan di otaknya.
"Benarkah ini lokasinya?" batinnya.
Wujud bangunannya lebih memukau di dunia nyata dengan balutan kayu ulin dalam tiga lantai serta cerobong asap di atas atapnya. Sedangkan di surat kabar, hanya satu lantai dan lebih terkesan kumuh. Di sisi lain alamat lokasinya pun tepat.
Robbinson menghela napas.
Ia terdorong untuk memasuki rumah ini. Diletakan sepeda gerobaknya di sisi luar rumah tersebut. Dibawanya bayinya yang terlilit bedong kain putih berbulu sedangkan kardusnya dibiarkan di gerobak. Setelah itu, Ia melangkah dengan naik beberapa anak tangga dan tiba di depan pintu.
TOK TOK TOK
Robbinson mengetuk pintu dengan ganggang besi, menunggu seseorang membuka pintu kayu yang dicat merah marun.
Benar saja, tak lama kemudian, pintu pun terbuka—menampilkan sosok wanita berpakaian rapi dengan setelan gaun hitam yang terjuntai hingga menutup sekujur kakinya. Tatapan Robbinson tertuju ke sebuah tag namanya yakni "Ophelia". Rambut cokelat hazel-nya disanggul yang menampilkan wajahnya yang segar. Kedua mata hijaunya menatap Robbinson dan anaknya disertai dengan senyuman ramahnya. "Halo, ada yang bisa saya bantu?"
"Apakah ini Panti Asuhan Ophelia?" tanya Robbinson memastikan.
"Benar, ini adalah kediaman Panti Asuhan Ophelia. Ada apa, ya?" tanya balik wanita berpenampilan anggun yang bernama Ophelia itu.
"Saya Robbinson selaku orang tua dari anak ini. Kehadiran saya di sini dengan maksud menyumbangkan anak ini ke Panti asuhan ini. Apakah bisa?"
Tanpa berpikir panjang, Ophelia berkata, "Tentu, Panti asuhan ini selalu sedia untuk menampung anak baru."
"Silakan, masuk."
Setelah percakapan kecil, Robbinson pun dipersilahkan masuk ke dalam rumah Panti asuhan ini. Ophelia membiarkan pintu terbuka untuk pria itu. Setelah Robbinson melangkah memasuki ruangan, seketika Ia disambut dengan aroma roti kayu manis dan suara kayu yang berderit akibat langkahnya.
"Sepi, ya," batinnya sambil melihat seisi ruangan yang renang di mana penerangannya dibantu dengan lampu meja berbentuk bunga saking ventilasinya serba ditutup.
Wanita itu menutup pintu dan berjalan mendahului Robbinson. "Mari ikut saya."
Robbinson sambil menggendong bayinya pun mengikuti langkah wanita itu menuju sebuah sofa kulit. Setelah itu terduduk.
"Teh atau kopi?" tanya Ophelia kepada Robbinson yang terduduk sambil menggendong anaknya yang tertidur tenang.
"Tidak usah. Saya tidak berlama-lama di sini," jawab Robbinson.
"Tidak apa-apa, minuman gratis selalu Saya sediakan bagi pengunjung," kata Ophelia dengan senyuman ramah.
"Oh, kalau begitu teh saja," kata Robbinson.
"Baiklah."
Ophelia pun meninggalkan Robbinson dengan anaknya.
Melihat sofa yang lebar itu pun menyuruh hati Robbinson untuk meletakkan anaknya di samping.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali dengan secangkir teh dan secarik kertas. Tak lupa Ia mengambilkan sebuah pena bulu yang diletakkan di atas meja kaca di hadapan Robbinson.
"Silakan diisi sebagai pendataan anak Anda," katanya. "Namun sebelum itu, bolehkah saya membawa anak Anda ke tempat yang lebih baik?"
Tatapan Robbinson seketika mengarah ke anaknya untuk terakhir kali. Digendong anaknya kembali dan dicium hidungnya sambil berbisik, "Selamat tinggal, anakku. Aku harap kau akan menjadi pribadi yang lebih baik. Maafkan ayah, ya, Nak."
Bayi itupun masih tertidur pulas seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya detik ini. Diberikannya bayinya kepada wanita itu.
Wajah rela Robbinson tak dapat dipungkiri. Meski harus rela, ada hati yang merasa terpaksa.
Kini bayinya berpindah tangan ke Ophelia. Kemudian ia melangkah meninggalkan Robbinson yang terduduk di sofa, menuju suatu ruangan jauh dengan naik beberapa anak tangga yang melingkar. Meski wujud keduanya telah menghilang, namun tatapan Robbinson masih tertuju pada anaknya.
Robbinson menghela napas.
Ia meminum teh panas yang telah disediakan Ophelia. Lalu fokusnya kini beralih ke secarik kertas di meja di hadapannya. Di sana ia diminta mengisi beberapa data mengenai anaknya.
Selama beberapa menit lamanya, Ia pun menyelesaikan pengisian data dalam kertas itu.
Di waktu yang tepat, Ophelia datang menghampiri Robbinson dan terduduk di sofa di sampingnya. Robbinson pun memberikan kertas yang sudah terisi itu padanya. "Sudah."
"Baiklah," Ophelia meraih kertas itu dan membaca setiap kalimat yang tertera di sana. Sesekali tatapannya mengarah pada Robbinson.
"Atas nama Mr. Robbinson Yves...?"
"Ya, benar," ucap Robbinson.
"Um.. Mohon maaf sebelumnya, Pak. Nama anak Anda belum tertuliskan di sini," kata Ophelia bingung.
"Anak ini memang belum memiliki nama sebab kami benar-benar belum terpikirkan," kata Robbinson. "Dia lahir dia hari yang lalu."
Robbinson telah berbohong mengenai waktu kelahiran anaknya, agar Panti asuhan ini mau menerima kehadiran anaknya.
"Oh begitu," kata Ophelia. "Baiklah, anak Anda resmi menjadi bagian Panti Asuhan Ophelia. Terima kasih atas kepercayaan Anda."
"Tolong jaga anak saya, ya. Bahkan sampai dia sudah menyadari tentang kehidupan," kata Robbinson.
Kedua mata Ophelia membulat sesaat. Lalu ia mengangguk. "Baiklah, Pak."
Setelah misinya selesai, Robbinson pun pamit dari kediaman Panti Asuhan Ophelia. Wanita berpenampilan anggun itu pun mengantar Robbinson di depan pintu.
Robbinson menghampiri sepeda gerobaknya yang sedari tadi menunggu dirinya. Kali ini tanpa membawa anaknya. Tatapannya beralih ke gerobak di belakangnya di mana sempat mengangkut putranya.
Cukup lama tatapan itu. Tatapan pasrah dan rela.
Setelah itu, Ia mulai mengayuh sepedanya menuju ke rumah bertemu istri tercintanya.
Perpisahan Robbinson dan putranya pun sampai di sini.
"Selamat tinggal, Nak. Harapan kami selalu menyertaimu."
**
5 tahun kemudian
Setelah tragedi krisis moneter dan krisis moral yang menimpa Kota Anvurel berakhir, kini kehidupan Robbinson dan Alicia pun diberkahi seorang putri.
"Mari kita namakan Eireen Imrgard, yang artinya dewi perang yang bercahaya," ucap Alicia. "Aku yakin anak ini akan mengubah dunia ini lebih baik."
Meski keduanya dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik, akan tetapi ingatan memori mengenai anak lelaki pertama mereka tak akan pernah lupa.
Dan akan selalu membekas di hati.
Semuanya belum berakhir.