Sudut Pandangan Eireen
Diriku kembali dikelilingi oleh padang pasir yang gersang. Cahaya matahari yang terik, namun tidak menimbulkan panas yang menyengat, melainkan sejuk. Angin yang berhembus cepat dengan membawa partikel pasir ke udara. Satu persatu partikel pasir mengenai pori-pori kulitku.
Ini adalah pengulangan level Asah Ingatan.
Semuanya masih tetap sama.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskan guna menyerap segala uneg-uneg dari dalam pikiranku dan dibiarkan keluar.
"Aku harus bisa melewati ini," Kalimat ini berulang kali terbesit dalam lubuk hatiku. Memotivasi diriku agar bisa melewati level ini.
Kukepalkan kedua tanganku dengan erat, meski keringat dingin membasahi setiap pori telapak tanganku. Jantungku berdebar. Pandanganku menatap ke depan.
"Aku siap!" ucapku yakin dan semangat.
NING
NONG
NONG
Setelah kuucapkan kalimat tersebut, terdengar bunyi dentingan sebanyak tiga kali. Kali ini letak suara dan cahaya tersebut di arah yang berbeda, tidak seperti kemarin.
Menjebak.
Untuk awal-awal, kecepatan dentingan tersebut masih terbilang normal. Setelah dentingan tersebut hening, aku mulai melompat sesuai arah dentingan tersebut. Aku pun berhasil melewati tahap dentingan awal tersebut lalu kembali terdiam, menunggu langkah selanjutnya.
NING
NING
NONG
NONG
NING
NONG
Tempo dentingan semakin cepat dalam enam kali. Pandanganku mengamati tiap arah dentingan tersebut berada.
"Tiga 'Ning', tiga 'Nong'," ucapku lirih sambil melompat ke arah yang sesuai. Tiba di lompatan terakhir, diriku hampir terjatuh ke belakang. Akan tetapi, karena keseimbangan tubuhku masih terjaga sehingga diriku tidak jatuh. Apabila diriku jatuh dan tanganku mengenai sisi belakang dan berbunyi, aku bisa gagal. Jangan sampai, deh.
Dentingan kembali hening sesaat. Lalu kembali dilanjutkan.
NONG
NONG
...
NING
...
NONG
NING
NING
NING
"Huh?"
Diriku terdiam mematung, memikirkan bunyi dentingan yang urutannya aneh tersebut. Satu alis mengernyit. Jari lentik kananku menyentuh dahulu sambil diketuk.
"Bentar, tadi sempat gak ada bunyi, lho. Jika ditotalkan yang berbunyi hanya berjumlah tujuh yang seharusnya sembilan kali," gumamku. "Tidak ada bunyi atau emang diperlambat, kah?"
Kedua kakiku menyuruhku untuk segera melompat, namun akalku menyuruhku untuk tetap terdiam dan memikirkan strategi. Memori dentingan itu terus berputar di kepala, mencari jalan keluarnya.
Cahaya terang bagaikan lampu muncul seketika di otakku setelah hening yang cukup lama.
"Sepertinya bagian dentingan yang kosong itu termasuk bagian dari perjalanan ini," batinnya. "Baiklah, akan kucoba. Semoga benar!"
Aku kembali melompat dengan arah yang sesuai. Setibanya di arah jalur lompatan yang tidak berdenting itu, diriku sempat terdiam. Kemudian aku berusaha melompat jauh melewati jalur yang tidak memunculkan cahaya dentingan tersebut. Setelah itu, aku melakukan hal yang sama di jalur yang tidak memunculkan dentingan hingga tiba di lompatan terakhir.
Cukup melelahkan. Tapi aku bisa melewati ini.
Tiba-tiba dentingan kembali berbunyi.
NING
...
NING
NONG
...
NING
...
NONG
NONG
...
...
NONG
Di saat hening itu, seketika sekelebat cahaya muncul dari balik pasir padat tersebut. Namun, tidak membunyikan dentingan seperti yang lainnya. Ada pula yang sama sekali tidak memunculkan bunyi dentingan dan cahaya.
"Tiga 'Ning', empat 'Nong', dua ada cahaya tapi tidak berbunyi, tiga tidak ada cahaya dan tidak berbunyi...," ucapku sambil melompat sesuai arah. Diriku sengaja berucap agar otakku tidak cepat melupakan memori penting tersebut.
Tiba di lompatan yang menimbulkan sekelebat cahaya itu dan tidak berbunyi itu, kedua kakiku mendarat dengan selamat. Tidak menimbulkan cahaya merah. Seperti tak terjadi apapun di sini.
Akan tetapi hal itu sebenarnya menjebak.
Seketika pasir yang kuinjak saat ini ambruk ke bawah dengan cepat. Sontak aku langsung melompat ke arah 'NING' selanjutnya. Jiwaku terasa tenggelam bersama pasir itu. Untung saja gerakan cepat.
Kini diriku kembali melompat sesuai jalur dentingan. Ketika diriku bertemu pasir menjebak tersebut, instingku mengatakan bahwa aku harus segera merompat ke arah selanjutnya agar tidak terjadi ambruknya pasir selanjutnya.
Setibanya di langkah terakhir, seketika muncul sebuah pintu besi dari dalam pasir beserta tombol panah dengan cahaya hijau berkedip pelan.
Jalan keluar sudah tiba.
Tepat di hadapanku, aku segera mengetuk tombol tersebut hingga menimbulkan cahaya hijau terang benderang. Kemudian disusul dengan terbukanya pintu besi tersebut, membiarkan diriku melangkah. Sepatu boots yang penuh dengan pasir inipun seolah-olah membawa setiap partikel pasir yang menyangkut ke dalam ruangan selanjutnya.
Diriku disambut sekumpulan bangku dan cahaya remang serta pintu 'keluar' di pojok kiri.
"Selamat, Saudari Eireen Imrgard. Anda telah menyelesaikan level Asah Ingatan," Suara perempuan lemah lembut muncul bergema di sudut ruangan.
"Eh aku berhasil?" Diriku masih tidak percaya.
Lalu segaris senyuman bahagia muncul menghiasi wajahku. Tatapanku masih mengarah ke sumber suara itu berada.
"Syukurlah," batinku.
Sesaat dari dalam sepatu boots kukenakan, serbuk partikel pasir masuk ke dalam sana. Membuatku langsung membuka keduanya dan mengarahkan dua benda itu ke bawah agar pasir yang terjebak di sana segera keluar.
Aku tidak habis pikir sekaligus tidak menyadari bahwa pasir bisa masuk melalui celah boots ini.
Beberapa kali kugoyangkan ke bawah sepatu ini. Alhasil, keluarlah serbuk-serbuk pasir halus dari kedua sepatuku. Diriku yang sama sekali belum pernah merasakan pasir di kakiku itu merasa merinding dan aneh.
"Banyak sekali!" seruku, padahal pasir-pasir tersebut tidak banyak. Tapi kuanggap itu banyak saking noraknya.
Pasir itu mewarnai lantai yang bersih. Ada pula yang langsung menyatu dengan udara.
Setelah kedua sepatuku bersih, kembali kukenakan dengan benar. Lalu berjalan keluar ruangan. Seketika pandanganku tertuju ke sosok Pelatih Theo yang berdiri menghadap kaca jendela sambil menatap langit pagi.
"Lho, Pelatih Theo?" Kedua mataku membulat menangkap sosok Pelatih Theo di tengah cahaya matahari yang menyinarinya.
Aku berjalan pelan menghampirinya.
Dirinya yang sepertinya tidak sadar atas keberadaanku di sampingnya, aku langsung memosisikan tangan kananku ke dada kiri atas sebagai bentuk salam penghormatan.
"Selamat pagi, Pelatih. Maaf mengganggu waktu Anda. Saya Eireen. Saya ingin mengkonfirmasi bahwa saya telah berhasil menyelesaikan level Asah Ingatan," kataku dengan sopan.
"Baiklah, lalu apa kau yakin akan melanjutkan materi susulan berikutnya?
Aku terdiam.
"Setelah pikir-pikir, Apa kau tidak lelah?" tanyanya kembali menyakinkanku. Pelatih Theo sama sekali tidak menoleh dan tetap membelakangiku. "Aku khawatir kau tidak akan maksimal lagi di latihan berikutnya."
"Aku mendapatkan kabar bahwa selama akhir pekan, semua aktivitas latihan diliburkan. Jadi, menurutku itu bagus jika latihan kau yang telat satu hari dalam seminggu ini akan disusul selama akhir pekan tersebut sebelum kau dan si kembar kembali bersama-sama," jelasnya panjang lebar.
Apa yang dikatakan Pelatih Theo memang ada benarnya. Jujur diriku merasa lelah karena beberapa kali melompat di level Asah Ingatan tadi.
"Baiklah, Pelatih Theo. Saya bersedia di Sabtu pagi untuk melanjutkan latihan yang tertinggal," ucapku.
"Bagus, selama seminggu ini latihan kalian berbeda. Tapi untuk minggu selanjutnya kuyakin latihan kalian akan tetap sama. Aku sudah memikirkannya dengan matang," jelas Pelatih Theo.
"Baiklah, Pelatih Theo. Sekali lagi Terima kasih atas masukan dan latihannya. Kalau begitu, saya izin kembali ke asrama untuk beristirahat," ucapku sembari melangkah meninggalkan Pelatih Theo di tempat.
Namun, Pelatih Theo bergeming. Tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia masih fokus melihat pemandangan alam pagi.