Aku terbangun dari mimpi yang panjang dan berlika-liku.
Raga ini lemas sekali. Aku benar-benar tidak berdaya seperti terbawa oleh angin.
Seketika semua pandangan seisi kelas tertuju olehku yang terkapar di atas buku berserakan di atas meja dengan meletakkan kedua tanganku menumpu kepalaku. Kedua mataku yang mengering membulat tidak percaya.
"Sejak kapan aku di kelas?!" batinku bertanya-tanya. Diriku terkejut setengah mati.
Bergegas kurapikan buku-buku berserakan ini dan posisiku menjadi tegak sempurna.
"Sungguh berani ya sekarang Anda tidur di kelas saya, Eireen..," ucap Mrs. Fiora sambil terdiam terpaku menatapku dari depan kelas.
"A-ano, maafkan saya, saya tidak bermaksud tertidur. Maafkan saya, Mrs,"
"Aku sungguh menyesal atas apa yang telah aku perbuat untuk pertama kalinya ini," ucapku dalam hati.
Seketika kelas menjadi hening.
Suara angin dari balik jendela kayu yang terbuka terdengar saking heningnya, suasana seisi kelas menjadi mencekam dan canggung. Pandangan mereka masih tertuju padaku tanpa kedip. Menyeramkan.
Aku berusaha tetap santai dan tenang, namun semakin lama ini semakin meresahkan.
Tiba-tiba seorang anak perempuan mengatakan, "Aneh." Dengan pandangan tertuju padaku sambil berbisik dengan teman di sebelahnya.
"Iya, dasar manusia aneh."
"Ceroboh."
"Semakin hari kelakuannya semakin parah."
"Mati saja!"
Dan disusul kalimat-kalimat lainnya.
Entah semua ini menjadi memaki diriku.
Tiba-tiba seseorang melemparkan sebongkah kertas kepadaku. Namun karena instingku yang masih berjalan, kertas itu tidak mengenai kepalaku, melainkan berhenti seketika di udara. Semua aktivitas terhenti.
Kuambil benda itu dan membukanya.
"Eireen Penyihir!"
Itulah kalimat yang tertera di sana.
Perasaan muak ini semakin menjadi-jadi. Emosi ini semakin tidak tertahankan sejak dulu. Di tengah kondisi seperti ini, aku langsung beranjak dari kursi kayu tua ini dan menghampiri bocah laki-laki berambut pirang seperti mangkok sebagai pelaku pelemparan sebongkah kertas.
Dirinya hanya bisa melirik dan bernapas. Akan tetapi, bergerak ia tidak bisa karena dikendalikan oleh diriku.
Kulempar anak itu ke sisi belakang kelas yang lumayan luas. Kepala anak itu terbentur lantai kayu cukup keras kurasa. Ku ambil jangka di dekatku. Lalu aku setengah terduduk di hadapannya dan mulai mencolokkan ke kedua matanya yang kupaksakan melotot. Aku akan menyiksanya sehancur mungkin setelah lama ku pendam.
"Orang-orang seperti ini layak dibunuh."
Itulah isi niatku yang terselimuti emosi yang mendidih.
Jangka ini mulai menyentuh kulitnya yang mulus. Namun seketika butiran kecil pasir keluar dari wajah bocah itu. Semakin menusuk dalam jangka itu di wajahnya, semakin keluar butiran pasir putih dari wajahnya.
"Eh?!"
Spontan aku beranjak berdiri. Aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba suasana berubah menjadi hamparan padang rumput yang sepi dan mendung. Kualihkan pandanganku ke objek yang sedang kuhadapi tersebut seketika menghilang.
"Apa yang terjadi?" batinku, bertanya-tanya atas apa yang kusaksikan detik ini.
Semuanya menghilang. Kini hanya diriku sendiri di hamparan padang rumput yang luas nan gelap.
Angin berhembus kencang seperti akan terjadinya badai yang menyeramkan.
Rok seragam putih yang kukenakan seakan-akan ingin melayang menjauh dariku. Tubuhku terdiam mematung. Mencoba mencubit diriku. Alhasil, percobaan tersebut memberikan rasa perih di kulitku.
"Tidak, tidak mungkin ini benar!" batinku.
JEDHERRRRR
Tiba-tiba suara petir yang menggelegar memecahkan keheningan. Petir tersebut berhasil membelah langit menjadi dua dengan kekuatannya yang dahsyat. Seperti motif bebatuan ketika dibelah. lalu disusul dengan munculnya dua pasang angin tornado besar dari jauh dan mulai bergerak ke arahku.
Semakin cepat dan cepat.
Melihat pemandangan yang tidak biasa tersebut, aku langsung berlari berlawanan arah sejauh dan sekencang mungkin. Tidak ada tempat berlindung di sekitarku. Hanya rumput yang bergoyang dan diriku yang panik dikejar dua buah angin tornado raksasa.
Jantungku seakan-akan ingin keluar dari tubuhku. Hawa dingin ini tidak berhasil mengeringkan keringatku yang semakin bercucuran deras. Aku benar-benar panik. Aku terus berlari. Namun dua buah angin tornado itu semakin dekat denganku.
Kekuatan dari dalam jiwaku sama sekali tidak berfungsi. Menjentikkan jari dalam keadaan tersadar sama sekali tidak membuahkan hasil.
Aku terus berlari.
Sejauh mataku memandang, pandanganku tertuju pada sebuah bunker batu. Aku pun berlari ke arah sana dan langsung terduduk ke dalam sisi bunker paling dalam. Dua buah angin tornado tersebut terus berjalan lurus mencari sosok diriku. Kuatnya angin tersebut hampir membuatku ikut terbang. Akan tetapi, kehadiran bunker misterius ini justru menyelamatkan diriku. Aku tidak habis berpikir jika bunker ini tidak ada di tengah situasi seperti ini.
Dua buah angin tornado tersebut semakin lama semakin menjauh.
Melihat kondisi yang sudah kondusif, aku mulai beranjak keluar. Akan tetapi tiba-tiba seseorang menarik kaki kiriku dari dalam bunker. Sosok hitam menyeramkan, hanya bayangan.
"Terjebaklah kau, Eireen!" ucap bayangan hitam tersebut dengan suara serak menyeramkan. Semakin kuat ditariknya kakiku olehnya.
"TOLONG LEPASKAN AKU!" bentakku sambil berusaha menghentakkan cengkeramannya. Akan tetapi apa daya tenaganya lebih kuat.
Tiba-tiba sosok berseri menyerupai wajah ibu muncul dan menyelamatkanku. Ia tersenyum sambil menarik tanganku.
Semakin lama cengkeraman bayangan hitam tersebut melemah sehingga diriku berhasil diselamatkan oleh ibu. Aku langsung tertarik ke luar bunker dan memeluknya.
"Ibu, aku takut, Bu. Mereka semua ingin membunuhku," ucapku menangis di dekapannya.
Elusan tangannya di rambutku membuat perasaan panik ini perlahan demi perlahan menghilang digantikan dengan perasaan aman.
"Sekarang kau sudah aman bersama ibu, Eireen. Jangan khawatir, Nak," kata Ibu.
"Tapi mereka tidak suka apabila aku ada di dunia ini. Mereka menyesal kehadiranku karena kekuatanku yang meresahkan ini. Aku seperti dihantui, Bu," jelasku dengan suara serak. Dada ini terasa sesak sekali.
Ibu melepaskan dekapannya. Kedua jari-jemarinya menyentuh wajahku dan menghapus air mata yang setetes demi setetes berjatuhan. "Kekuatanmu adalah suatu anugerah. Jangan pernah kau sesali itu.
"Meski kita berbeda alam, namun ibu akan selalu melindungimu, Eireen. Kau adalah anak ibu satu-satunya yang paling kuat, percayalah."
Aku terdiam. Ucapannya mampu menyentuh lubuk hatiku.
"Ini adalah awal mula kau hidup," ucapnya lagi.