Bayangan gelap mengitari diriku. Tidak ada pencahayaan. Hanya gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat wujudku.
"Eireen, kau tidak akan bisa menjadi sukses."
"Manusia monster!"
"Kau tidak bisa selamat. Mustahil bagimu."
"Eireen? Si manusia aneh itu?"
"Dengar-dengar dia pernah membunuh anak kelas B, lho"
Bisikan-bisikan suara aneh itu terus bergema semakin parah.
"TIDAK. AKU SAMA SEKALI TIDAK PERNAH MEMBUNUH ORANG!" pekikku di tengah keributan misterius.
"Eireen, tolong aku! Kau menusuk mataku!" pekik suara bocah laki-laki.
"SIAPA KAU?! AKU TIDAK PERNAH MENUSUK MATA ORANG!!" pekikku sambil berteriak. Namun suaraku terasa tertahan dan sesuatu mengganjal di tenggorokanku.
"Kau tidak mengaku, kau pembohong!" ucap laki-laki itu. "Kau juga menikam jantungku berkali-kali!"
"SUMPAH AKU TIDAK MELAKUKAN ITU! KUMOHON BERHENTI DAN BIARKAN AKU TENANG!" pekikku sambil menutup kedua telingaku dengan erat. Semakin lama tenggorokanku sakit dan akan mengeluarkan sesuatu setiap kali bisikan itu bergema.
Benda itu semakin naik hingga ke kerongkongan dan muncul sebuah kepala manusia dari dalam mulutku. Aku bisa merasakan kepala itu berusaha keluar dari dalam diriku. Darah segar bercampur lendir tubuh keluar seperti air mengalir diselingi dengan keluarnya kepala manusia.
"PEMBOHONG! MATI KAU PEMBOHONG!!" pekik kepala tersebut dengan suara setengah menangis dan berteriak keras.
Sekejap aku langsung terbangun dari kasur dengan nafas tersengal-sengal seperti sedang lari marathon. Diriku terbatuk-batuk dengan jari-jemari menyentuh dan mengusap tenggorokanku untuk memastikan tidak ada apapun di sana. Sejujur tubuhku berkeringat dan gemetar. Jantungku berdebar kencang.
Suasana gelap ruangan membuat sisa ingatan mimpi menyeramkan itu muncul sehingga aku langsung menyalakan lampu meja di sebelah kasurku.
Kedua mataku menutup wajahku dan mengerang serta menangis.
"Tidak apa-apa. Ini hanya mimpi, Eireen," ucapku berulang kali agar memadamkan hati dan pikiran yang sangat kacau ini.
Bocah lelaki itu selalu muncul dalam mimpiku.
"Siapa dia?" batinku bertanya-tanya.
Diriku bahkan tidak mengingat wujudnya saat di sekolah dulu. Benar-benar aneh.
Aku menghela napas.
Kedua mataku menoleh ke arah jam digital yang menunjukkan waktu pagi siang malam dengan bantuan objek matahari dan bulan. Tiga pasang jarum jam yang menunjukkan detik, menit, dan jam terus berputar perlahan.
04.00
"Masih terlalu pagi, mungkin aku bisa mempersiapkan diri dari sekarang,"
Aku langsung menyibakkan selimut bulu yang sedari tadi membungkus tubuhku di kala dingin malam. Kedua kakiku terjuntai menyentuh karpet lantai.
"Huh dingin sekali!" ucapku menggigil.
Bulu kuduk berdiri ketika hawa dingin itu menusuk kedua kakiku hingga sekujur tubuhku. Padahal tidak menggunakan pendingin ruangan meski musim panas sudah tiba. Aku masih bingung bagaimana sistem iklim dan cuaca di dunia dimensi keempat.
Ragaku masih merasakan lemas sehingga aku hampir terjatuh. Untung saja terdapat meja kecil di samping kasurku sebagai penahan diriku. Meski demikian, energiku terasa lebih baik walaupun sedikit.
Lebih dulu, aku merapikan tempat tidurku. Kemudian melangkah mencari perlengkapan mandi di sekitar kamar ini sebab sama sekali tidak ada lemari atau laci di sini.
"Di mana aku bisa mendapatkan alat mandi dan bahkan pakaian??" gerutuku dengan kedua mata menatap ke sana kemari namun tidak kunjung ketemu.
Tiba-tiba pandanganku tertuju ke dua buah kristal yakni berwarna biru dan putih yang tertempel di dinding beton. Jari-jemarinya yang lemah ini pun menyentuh dua benda cantik itu. Entah naluri apa yang muncul sehingga aku terdorong untuk memutar kristal biru tersebut ke arah kanan.
Tiba-tiba muncul sebuah lemari pakaian terdorong ke depan. Tampilannya sudah terbuka dan menampilkan setelan seragam dengan plang nama hari yang memisahkan antara seragam satu dengan lainnya. Harum pakaian baru semerbak memekakkan indera penciumanku.
"Wah sulap!" seruku.
Aku pun penasaran dengan kristal putih.
Sepertinya ini akan menjadi laci untuk alat mandi.
Benar saja tebakanku. Ketika aku memutar benda cantik tersebut langsung dibuat terkejutnya diriku atas kemunculannya laci putih lengkap dengan cermin ala putri dan sofa kecil yang terpasang dengan lacinya. Ketika aku membuka laci, tampak alat-alat mandi seperti handuk, penutup kepala, sikat gigi, dan bahkan bebek kecil. Juga, shampoo, sabun wajah, sabun mandi, dan pasta gigi.
Aku terkejut.
"Apakah seperti ini kehidupan kasta atas?" gumamku.
Jujur aku tidak pernah memakai benda-benda seperti itu. Aku cukup menggunakan shampoo, sabun wajah, sabun mandi, dan pasta gigi asli dari susu sapi segar peternakan sejak tempat tinggalku berasa dekat dengan peternakan sapi desa. Namun, benda-benda di hadapanku kali ini justru mengandung wangi sejenis bunga-bungaan. Desain kemasannya pun terkesan mewah.
Tanpa berpikir lama, aku mengambil beberapa benda di laci tersebut untuk kugunakan pagi ini. Kemudian bergegas keluar dari kamar menuju kamar mandi umum khusus perempuan yang terletak di ujung koridor lantai 3.
Suara pintu besi terdengar "jleg" ketika berhimpitan dengan batas pintu yang menandakan sudah tertutup rapat. Pintu ini tidak membutuhkan kunci, hanya sekali tutup akan terkunci. Sangat efektif bukan?
Aku berjalan menyusuri lorong. Sepi serta dingin karena cuaca di luar. Faktor masih sangat pagi juga masuk akal membuat suhu ruangan menjadi rendah.
Sungguh sunyi. Hanya suara langkah kakiku di atas lantai karpet berwarna biru gelap.
"Semoga hanya aku yang sudah terbangun."
Harapanku demikian.
Namun ketika mulai mendekati pintu kamar mandi umum perempuan, suara air mengalir seperti sedang mandi pun terdengar jelas di kedua telingaku.
Ekspetasi dan harapanku meleset.
Aku menghela napas pasrah.
Kugeser pintu kamar mandi tersebut. Seketika uap panas dan lembab menyambut kedatanganku disusul dengan aroma teh hijau yang menyengat.
Setibanya di dalam, terdapat loker khusus untuk meletakkan baju kotor. Setelah itu aku kembali membawa handuk dan peralatan mandi menuju tempat bilas. Setibanya di sana kedua mataku mendapatkan kehadiran sosok gadis tengah berada di bawah air mengalir sambil terdiam mematung.
"I—ini, kan si gadis yang menolak pernyataan Mrs. Jane saat setelah serangkaian tes itu. Siapa sih namanya, aduh pakai lupa segala lagi!" batinku.
Aku meneguk air liur di tenggorokanku. Entahlah aku merasa takut mendekati gadis berambut cokelat menggelombang itu.
Tampilan ruang balasnya pun digabung.
Tapi mau bagaimana lagi agar aku harus segera membersihkan diri dan kembali ke kamar.
Akhirnya dengan memberanikan diri, kedua kakiku melangkah menuju ruang bilas. Handuk dan peralatan mandi langsung ku letakkan di tiang dan tempat yang telah disediakan. Aku memilih alat bilas dua kaki dari jaraknya.
"Kenapa kau begitu jauh?" Tiba-tiba gadis itu bersuara.
Spontan diriku terkejut dan menoleh ke arahnya. Ia sama sekali tidak menoleh, hanya terdiam menikmati air mengalir di kepalanya hingga punggungnya.
"Sini dekat denganku," ajaknya.
Ya, mau bagaimana lagi. Dia menyuruhku.
Aku pun menuruti ajakannya. Langsung Kupindahkan handuk dan alat-alat mandiku di tempat serta gantungan tepat di sebelahnya. Kemudian aku mengaktifkan keran shower dan mengatur temperatur air lebih hangat.
Tidak ada percakapan antara kami berdua. Hanya suara air mengalir.
"Pagi dingin seperti ini mandi dengan air hangat memang nikmat," katanya tiba-tiba. "Jujur aku tidak bisa tidur karena cuaca di luar terlalu dingin."
"Aku juga gak nyangka akan ada orang bangun lebih awal selain aku," lanjutnya sambil menoleh ke arahku. Kedua mata berwarna hazel nya itu terpapar cantik menatapku ramah. Bibir merah mudanya tersenyum. Diulurkan tangannya ke arahku. "Hawisa Fenja dari Oodina."
Aku menjawab uluran tangannya. Lalu berkata, "Eireen, Eireen Imrgard dari Ulva."
"Ah, aku suka sekali teh hijau khas Oodina!" lanjutku tersenyum.
"Iya, di Oodina sangat terkenal akan teh hijaunya. Omong-omong yang kau cium ini adalah shampoo teh hijau khas Oodina. Kau wajib coba ini!" katanya sambil memberikan sebotol shampoo teh hijau miliknya kepadaku.
"Bolehkah aku..., " Kataku ragu dan memastikannya.
"Tidak apa-apa. Santai saja. Aku masih ada stok dua atau tiga botol besar yang aku bawa dari Oodina," katanya sambil terkekeh. "Aku senang ada orang yang tahu teh hijau berkualitas dari Oodina."
"Kebetulan ayahku ada kenalan dari Oodina dan temannya itu sering membawakan teh hijau asli Oodina. Jadi, teh hijau tersebut sudah menjadi bagian dari rutinitas kami," kataku sambil menuangkan setetes shampoo dari Hawisa ke telapak tanganku.
Seketika semerbak daun teh hijau yang harum menyegarkan bulu hidungku. Kemudian kututup kembali tutup di botol tersebut dan dikembalikan ke Hawisa. "Makasih,"
"Sama-sama," jawabnya sambil meletakkan kembali botol shampoo ke rak khusus di dekatnya. "Gimana? Wangi, kan?"
"Ya, dan juga ada ekstrak daun mint nya ya jadi dingin banget," kataku.
"Nah benar, ini shampoo andalan aku. Makanya aku bawa banyak ke sini," katanya. "Jangan sampai kau sebar tentang ini ya. Selain itu, aku bisa berikan kau satu kalau kau mau."
"Oh, makasih, Hawisa. Tapi aku masih ada cadangan shampoo lain," kataku.
"Baiklah," katanya.
Aku pun membilas rambutku hingga bersih dari busa tebal. Teh hijau dengan ekstrak daun mint nya menciptakan kesegaran pada kulit kepalaku.
"Kau sudah berapa lama mandi di sini?" tanyaku.
"Uhm, aku tidak menghitungnya. Kira-kira sekitar satu jam," jawabnya.
Aku membulatkan kedua mataku. "EH?!"
Tatapan Hawisa bingung. "Kenapa? Apakah itu aneh?"
"Oh ... um ... tidak. Aku hanya... Terkejut mendengarnya," jawabku terbata-bata.
Hawisa tertawa mendengar perkataanku. Aku pun terheran-heran.
"Lah ketawa." batinku sedikit aneh melihat gadis itu.
"Gini, jadi aku punya kebiasaan aneh. Jadi aku mandi paling cepat 30 menit dan paling lama 1 1/2 jam. 1 jam tidak ada apa-apanya. Bagiku itu termasuk cepat," Jelasnya. "Cuaca dingin seperti ini membuatku ingin lebih lama di bawah air hangat seperti ini. Makanya orang tua ku sering memarahiku apabila musim sudah memasuki musim gugur sampai musim semi awal."
"Iya sih, cuaca dingin gini butuh yang hangat ya kan," kataku.
"Kalau kau?"
"Jujur, aku cukup 15 menit untuk mandi," jawabku.
"Whoa—sesingkat itu," katanya.
"Masing-masing orang punya kebiasaan durasi mandi yang berbeda. Jadi menurutku itu hal yang wajar saja mau durasi berapapun kau mandi dan siapapun mandi," kelasku agar Hawisa tidak membandingkan dirinya denganku.
"Iya aku setuju," ucapnya.
Tiba-tiba keran shower nya dimatikan, ia mengambil gantungan handuknya dan mengeringkan setiap anggota tubuhnya. Setelah itu melilitkannya. Ia tidak mengatakan apapun padaku. Kemudian ia membawa perlengkapan mandinganya dan melangkah ke belakang.
"Eh, apakah kalimatku telah membuatnya tersinggung?" batinku bertanya-tanya.
Aku cukup terkejut melihat tingkahnya yang tiba-tiba diam dan pergi. Meski demikian aku tetap fokus membersihkan tiap anggota badanku. Dua menit kemudian, aku mematikan keran shower dan mengeringkan tubuhku. Setelah itu, kubawa kembali alat-alat mandiku.
Ketika diriku berbalik badan, kedua mataku tertuju ke Hawisa yang sedang menggigit kukunya dan bersandar di wastafel keramik. Tatapannya sambil menatapku. "Sudah?"
Aku mengangguk pelan.
Kemudian kami berdua bersama-sama keluar dari kamar mandi umum.
"Makasih sudah menungguku. Aku tidak kira kau menungguku," kataku.
"Santai saja, Eireen. Makasih juga kau telah mengobrol denganku," Ucapnya.
Kami pun berpisah karena kamar. Letak kamarnya berada di enam blok kamar dari kamarku. Tubuhnya mengecil sebab jarak kami sedikit lebih jauh sekarang.
"Sampai ketemu di sarapan pagi," ucapnya.
"Sampai ketemu," ucapku.
Kami berdua bersama-sama memasuki kamar kami masing-masing untuk bersiap-siap dan bahkan bisa bersantai sedikit sebab rata-rata mereka belum bangun dari mimpi indahnya.
Teman baru pun bertambah