Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 5 - CHAPTER 4 - Sarapan

Chapter 5 - CHAPTER 4 - Sarapan

Setelah bersiap-siap yang cukup singkat yang diselingi dengan waktu bersantai demi memulihkan energiku, akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar.

Pada hari Selasa, aku memakai seragam putih krem dengan lengan panjang dan kaki lengan panjang yang menyatu satu sama lainnya. Meski tampilannya berbentuk semacam jaket, akan tetapi tidak menyebabkan panas seperti jaket pada umumnya. Bahannya pun terbuat dari kulit hewan. Lalu sepasang sepatu boots hitam yang menawan.

Penampilanku kini tampak sekali seperti seorang gadis tomboy.

Meski demikian, ini keren!

Setibanya di koridor lantai 3, beberapa anak keluar dari kamar mereka dan menuju elevator bersama-sama.

Sekilas diriku menatap kamar Hawisa dan Enja yang tertutup rapat.

"Sepertinya mereka sudah turun lebih dulu," batinku.

Itu tidak masalah bagiku apabila orang yang kukenal lebih dulu melakukan sesuatu ketimbang diriku. Lagipula karena aku tidak terlalu mementingkan teman sehingga hal seperti itu wajar dan tidak dipermasalahkan. Berjalan seorang diri seperti saat ini justru mampu menyerap energi positif dari luar diriku. Aku suka berjalan sendiri seperti ini. Memantau orang-oeang di sekitarmu, gerak-gerik mereka yang beragam, menikmati setiap langkahnya, dan lainnya.

Ketika elevator tersebut membawa kami ke lantai dua. Seketika diriku disuguhi penandangan ruangan sarapan pagi yang luas dan sudah lumayan banyak anak-anak mengambil makanan mereka di stan kecil yang telah disediakan.

Aku pun bergegas mengambil nampan plastik dan mengambil posisi mengantre.

"Eireen!" seru Enja memanggil namaku. Ia berlari ke arahku sambil membawa nampan plastik, namun belum ada makanan maupun minuman di atasnya.

"Hai, Enja! Kukira kau sudah mengambil makanan," ucapku.

Enja terkekeh. Lalu berkata, "Kami baru saja tiba di sini."

"Kami?"

"Aku dan Cio. Tapi dia sedang mencari tempat sebelum ia gantian mesan makanan," kata Enja bersemangat.

Seketika pipiku merasakan hawa panas. "Oh, baiklah."

Lalu kami berdua pun berbaris menunggu giliran untuk mendapatkan satu paket makanan sarapan. Kami melangkah satu langkah setiap menitnya.

"Halo, selamat pagi. Menu hari ini adalah pasta dan burger. Silahkan mau pilih yang mana?" tanya seorang pria paruh baya dengan kumis setengah putihnya.

"Um, saya ingin pasta," jawabku.

"Baik, silakan nampanmu diletakkan di atas sini," perintahnya sambil menunjuk tempat di hadapannya yang menjadi pembatas antara pelayan dan pelanggan.

Aku langsung meletakkan nampanku di atas.

Pria berkumis setengah putih itu langsung meletakkan semacam bento dengan isi pasta dengan krim jamur.

"Minumnya kami menyediakan aneka jus, air mineral, teh, susu, dan soda," kata pria itu.

"Air mineral saja," jawabku.

"Eh, kau memesan air mineral?" tanya Enja.

"Iya karena makanan utamanya sudah mengandung krim," jawabku.

Enja terdiam mengangguk.

"Untuk makanan pencuci mulutnya untuk hari ini adalah kue muffin pisang," Lanjut pria itu.

"Baiklah," ucapku.

Kemudian pria itu meletakkan segelas air mineral dan sebungkus kue muffin pisang di bentoku. "Semuanya sudah lengkap dan selamat menikmati!"

Aku langsung mengambil nampan yang sudah terisi bento sarapan pagi yang lezat itu. "Terima kasih."

Seketika Enja pun telah mendapatkan bento sarapan pagi nya. Setelah itu, kami bersama-sama menuju bangku yang telah ditempati Abercio.

"Di sana!" seru Enja.

Aku tidak mengetahui letaknya di mana. Akhirnya aku mengikuti jejaknya menyusuri bangku tersebut dari ramainya para anak-anak.

Di saat jaraknya mendekati bangku yang dimaksud Enja, sosok Abercio dengan rambut pirang yang rapi serta balutan seragam yang rapi itu terlihat cocok sekali. Dirinya sedang meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil menyentuh kedua lengannya tanpa menyadari kehadiran kami yang semakin mendekat.

Otomatis kedua pipiku pun memerah melihatnya.

"Cio, bengong aja, nih!" goda Enja sambil meletakkan nampan bento nya di atas meja di hadapan Abercio.

Kemudian disusul dengan peletakkan nampan dari bento ku.

"Hey!" sapa Abercio kepada Enja tersenyum.

Akan tetapi ketika ia menatap kehadiranku, seketika ekspresinya berubah melongo dan terdiam. Kemudian tersenyum. Lalu berkata, "Halo, Eireen. Kau terlihat cocok dengan seragam itu."

"M—makasih," jawabku gugup. Pipiku semakin memerah dibuatnya.

"Tidak! Aku ingin terbang!" batinku bergejolak.

Pandanganku mengarah ke objek lain agar tidak saling bertatapan. Seketika jantungku berdegup kencang. Diriku ingin sekali kabur dan kembali ke kamar dan berteriak.

"Hentikan gombal basi mu. Cepat ambil makanan, sebentar lagi waktu sarapan akan berakhir," sela Enja.

"Lho, memangnya jam berapa berakhirnya?" tanya Abercio.

"Aku tidak tahu. Aku hanya menebak. Sudahlah ayo ambil makananmu, Yang Mulia Abercio Griffin," seru Enja dengan nada agak meninggi.

Abercio pun tersenyum dan beranjak dari kursinya. Lalu berkata, "Iya deh iya."

"Sebentar, ya," Seketika lirikannya mengarah padaku. Kemudian ia berbalik badan dan menuju Stan yang tadi kami ambil makanan.

Kini tidak terlalu ramai orang-orang yang mengantre di sana.

Aku dan Enja pun terduduk bersampingan.

"Burger ham yang terlihat enak!" pujiku terhadap makanan milik Enja.

"Kau mau?" tanya Enja sambil menyodorkan burger ham nya.

"Tidak, makasih. Aku diperbolehkan memakan daging ham karena itu mengandung daging merah," Kataku menolak.

"Oh, kau vegetarian?" tanya Enja kembali.

"Tidak, aku tetap makan daging tapi lebih dominan ke ikan. Daging merah mudah membuatku mengantuk, apalagi ketika beraktivitas seperti sekarang. Jadi aku menghindarinya," jawabku.

"Aku baru tahu kalau daging merah dapat mengakibatkan kantuk. Aku justru favorit daging merah," kata Enja. "Ya, meski jangan berlebihan sih karena akan bisa terjadi penumpukan lemak."

"Ah, iya," ucapku sambil tersenyum tipis.

"Omong-omong, selamat makan!" kata Enja sambil menggenggam burger ham nya.

"Selamat makan juga!" kataku.

Kami berdua pun melahap makanan pesanan kami. Tak lama kemudian, tiba-tiba Abercio hadir membawa nampan berisi bento pesanannya, yakni sama sepertiku. Pasta.

Hal itu mampu membuatku kembali memerah.

"Duh, seharusnya ini bisa jadi pilihannya untuk memilih pasta. Tapi kenapa aku terlalu bawa perasaan?!" batinku.

Aku tetap fokus untuk menyantap makananku sendiri. Membuang jauh-jauh kehadiran Abercio di hadapanku.

"Selamat makan semua!" ucap Abercio dan memulai aksi makan-memakan.

Tiba-tiba sosok Hawisa muncul sambil membawa nampan bento nya yang sedang terbingung menatap ke sana-kemari mencari bangku dan meja makan untuk sarapan.

"Hawisa!" Panggilku dengan suara agak besar kepada dirinya yang sedang berdiri di tengah keramaian sambil melambaikan tanganku ke atas.

Akhirnya ia menoleh ke arahku.

Aku langsung menggerakkan tangan kanannku untuk memberi isyarat untuk datang dan makan bersamaku.

Seketika pandangan Enja dan Abercio tertuju pada sosok Hawisa yang berjalan menghampiriku.

"Oh, anak yang menentang pertanyaan Mrs. Jane kemarin, ya," bisik Enja.

Tak lama kemudian ia mendekat dan terduduk di sebelah Abercio dan meletakkan nampan bento nya yang berisi pasta.

"Maaf dan terima kasih sudah mengajakku untuk bergabung. Pertama-tama namaku Hawisa Fenja. Salam kenal," kata Hawisa dengan senyuman ramah meski canggung.

"Salam kenal juga Hawisa," ucap Enja.

"Iya, Salam kenal," ucap Abercio.

"Omong-omong, hanya aku sendiri nih yang burger ham. Ada apa dengan semua orang?!" gerutu Enja dengan nada canda dan pasrah. Wajahnya menjadi manyun. Kami bertiga pun terkekeh kecil melihat ekspresinya.

"Mungkin pasta lebih enak," kata Abercio.

Enja pura-pura bersedih. Ia menghela napas dan lanjut menyantap burger ham nya yang sudah tersisa setengah.

"Selamat makan!" ucap Hawisa sambil langsung menyantap setiap uluran pasta krim jamur yang lezat.

Kami berempat sangat menikmati makanan pesanan kami.

Selama kami menyantap makanan kami, hanya beberapa kata kami utarakan. Selebihnya adalah menikmati makanan hingga 10 menit kemudian tepatnya pada pukul 07.30, bel berbunyi nyaring dengan bantuan pengeras suara di tiap sudut ruangan.

"Waktu sarapan telah berakhir. Silakan ke ruang 5 untuk pemasangan microchip tiap individu."

"Pemasangan micro-chip??" Aku bertanya-tanya.

"Aku baru mendengarnya juga," ucap Abercio.

"Sepertinya itu semacam alat pendeteksi yang akan dipasangkan pada diri setiap pemain yang bisa dilacak," kata Hawisa.

"Bisa jadi, aku juga berpikir demikian," ucap Enja.

"Setiap individu akan dipanggil oleh pengeras suara dengan nomor ruangan desimal yang akan dimasuki," lanjut suara wanita dari balik pengeras suara tersebut.

"Eireen Imrgard, silahkan memasuki ruangan 5,01 di lantai dasar. Terima kasih."

Jleb! Diriku seperti dihantam oleh baru besar.

"Heh kau duluan ternyata!" Kedua mata Enja membulat tidak percaya menatapku. Tangannya menyentuh pundakku. "Semangat kawan!"

"Aku kira ini sesuai inisial nama awal," ucap Hawisa dengan mata membulat menatapku dan pengeras suara secara bergantian. "Semangat ya."

"Yang terbaik untukmu!" kata Abercio sambil tersenyum.

"Makasih teman-teman. Baiklah aku pergi dulu, sampai jumpa!" ucapku.

Diriku beranjak dari bangku. Semua pandangan tertuju padaku. Otomatis kedua kakiku melangkah lebih cepat dan bergegas menuju elevator dan mengetuk lantai 0 atau lantai dasar. Jantungku berdegup kencang antara cemas dan takut dengan yang terjadi. Pikiranku pun berkecamuk di sepanjang perjalanan menuju ruang 5,01.

"Microchip apa itu maksudnya?" batinnya bertanya-tanya.

Berjalan cukup jauh tapi membuahkan hasil. Akhirnya aku menemukan ruangan 5,01. Cukup digeser pintunya lalu aku dapat memasukinya. Seketika diriku disuguhkan ruangan yang putih dan bersih dan tidak ada alat apapun. Hanya tempat tidur ala dokter yang biasa memeriksa pasiennya.

Aku terdiam di depan pintu menatap semua ini.

"Eireen, silakan baring di ranjang yang telah disediakan," perintah wanita dari balik pengeras suara yang bergema.

Sesuai perintahnya, aku berjalan menuju ranjang yang dimaksud dan terbaring.

"Tenangkan pikiranmu dan buang hal-hal yang sedari tadi mengganggu pikiranmu," perintah kembali wanita tersebut. "Tarik napas yang panjang dalam hitungan satu hingga tiga hembuskan."

Aku pun mengikuti perintahnya secara perlahan. Ya, pikiranku sudah jauh lebih tenang. Namun rasa panik ini masih ada.

"Jangan panik. Biarkan seperti air mengalir," Wanita itu seakan-akan mengetahui apa yang kurasakan. "Ulangi langkah sebelumnya."

Aku kembali menghirup napas panjang, lalu dalam hitung satu hingga tiga hembuskan. Proses tersebut berlangsung selama dua menit.

"Sudah siap, ya?" tanya wanita dari balik pengeras suara itu untuk meyakinkan.

"Iya, saya siap," jawabku.

Seketika robot menyerupai bentuk gurita muncul dari atas. Tampilan kepalanya seperti mata lengkap dengan kornea dan pupilnya yang bergerak ke sana kemari menatapku yang terbaring tenang dengan menggerakkan banyak tentakelnya.

Hal itu mampu membangkitkan bulu kuduk.

Salah satu tentakelnya mengeluarkan jarum dan ditusukkan ke bagian lengan kiriku.

Rasa perih yang sangat menyakitkan muncul ketika cairan obat di dalamnya mengalir masuk menyebar di dalam tubuhku. Setelah itu, aku merasakan efek kantuk yang luar biasa. Aku benar-benar tidak sanggup menahan kedua mataku tetap hidup. Dalam hitungan detik, kedua mataku pun tertutup rapat.

Pada akhirnya, diriku tidak sadarkan diri.