"Eireen!"
Tiba-tiba Hawisa memanggil diriku yang tengah berjalan menemui Pelatih Theo dan si sepasang kembar Andrei Andrea di pagi yang cerah ini.
Diriku berbalik badan.
Tampak Hawisa, Enja, dan Abercio dengan setelah seragam suit putih berjalan bersama-sama di belakangku. Entah sejak kapan mereka di sana sebab diriku tidak menyadarinya.
Mereka pun berlari menghampiriku. Seketika Hawisa dan Enja memelukku secara bersamaan, melampiaskan kekhawatiran mereka dari sorot pandangannya. Hanya sesaat kemudian mereka melepaskan pelukannya.
Hawisa menyentuh jidatku. Lalu menggenggan kedua tanganku. Sorot kedua matanya menampilkan kekhawatiran dan rindu. "Apa yang terjadi denganmu?"
"Kau baik-baik saja kan?"
"Kami mencari kabarmu, Eireen. Syukurlah kau sudah baikan!" seru Enja.
"Teman-teman aku baik-baik saja kok. Kemarin aku tertidur pasca operasi microchip selama sebulan penuh," jawabku sambil menatap mereka bertiga secara bergantian.
"HUH, TERTIDUR SELAMA SEBULAN PENUH?!" seru Enja terkejut. "Bagaimana bisa??"
Aku mengangkat kedua pundakku ke atas. "Entahlah."
"Ya aku tahu itu pertanyaan bodoh. Maaf aku terkejut mendengarnya, " ucap Enja. "Syukurlah kau sudah baikan."
Aku tersenyum. "Makasih, ya kawan-kawan. Maaf aku tidak latihan bersama kalian."
"Oh iya, bagaimana latihanmu?" tanya Abercio.
"Aku mengambil materi susulan. Jadi pagi ini aku sedang menemui Pelatih Theo untuk memberiku materi simulasi susulan," jawabku. "Sepertinya akan terus dengan Pelatih Theo hingga masa latihan selesai demi mengejar materi secara keseluruhan."
"Oh, begitu," ucap Abercio memanggut.
"Omong-omong apakah kalian akan memulai rutinitas latihan kalian pagi ini?" tanyaku kepada mereka.
"Tidak. Hari ini kami tidak ada latihan. Hanya saja kami perlu belajar untuk minggu depan karena akan ada ujian strategi," jawab Hawisa.
"Aku justru masih praktek sejauh ini," ucapku.
"Ehiya, ujian simulasi kapan, ya?" tanya Enja kepada Abercio.
"Desember awal kalau tidak salah," jawab Abercio sambil menatap ke sana ke mari memikir.
"Nah!" seru Enja. Pandangannya beralih ke arahku. "Dengar-dengar ujian simulasi berkelompok. Aku harap kau sudah menyelesaikan semua materimu dan kita bisa berkelompok bersama!"
"Semoga saja, ya," ucapku tersenyum.
Enja pun tersenyum gigi. Ia berkata, "Semangat buatmu!" serunya.
"Semangat buatmu dan kalian bertiga deh pokoknya," ucapku.
"Semangat!" seru Hawisa dan Abercio.
"Baiklah kalau begitu sampai nanti, ya. Aku harus segera menemui Pelatih Theo sekarang," kataku.
"Tunggu. Jam berapa kau sudah selesai? Aku ingin mengajakmu makan siang bersama sambil merayakan ulang tahun Cio, lho!" ucap Enja.
"Oh, Cio ulang tahun ya. Kalau begitu selamat ulang tahun, ya Cio!" seruku sambil menatap Abercio dan tersenyum. Jujur diriku baru mengetahui hal tersebut.
Abercio tersenyum manis.
Seketika senyumannya berhasil membuat pipiku memerah dan banyak bunga bergetaran di dadaku.
"Manis banget tidak ada obat!" batinku.
"Hey pipimu memerah!" seru Hawisa membulatkan kedua matanya.
Enja seraya membersihkan tenggorokannya seolah-olah menggodaku.
"Tenanglah kawan-kawan. Aku biasa-biasa saja," ucapku agak mengkesal.
Sementara itu Abercio hanya terkekeh. Lalu berkata, "Makasih, ya. Aku harap kau bisa menyempatkan waktu untuk makan bersama dengan kami, ya."
"Ah, iya akan kukabari kalau aku sudah selesai latihan," ucapku sambil menahan rasa gugup. "Omong-omong aku langsung ke kantin saja ya. Palingan aku selesai sore sepertinya."
"Noted!" seru Enja.
"Baiklah sampai jumpa nanti!" seruku yang bergerak menjauh dari mereka bertiga sambil melambaikan tangan kananku.
Mereka bertiga pun membalas lambaian tanganku.
Aku tidak tahu apa yang Enja katakan dari jauh sebab gedung ini sungguh bergema. Namun sepertinya ucapan perpisahan sementara.
Kini diriku kembali ke misi utama, yaitu melanjutkan latihan materi susulan di hari ketiga tentunya. Seperti biasa di pagi yang cerah. Tapi kali ini pagi yang cerah nan berbeda sebab jiwaku kini dipenuhi oleh bunga-bunga manis. Aku benar-benar tak sabar menyelesaikan level ini kemudian merayakan ulang tahun Abercio di kantin sore ini.
**
Sore hari yang cerah. Kali ini cerah tidak seperti kemarin yang berkabut. Lalu ditambah lagi dengan kehadiran bulan besar dengan samar mewarnai langit. Mungkin dunia rekayasa ini sedang menampilkan suasana hati yang bahagia di latihan sesi Checkpoint Pertama ini.
Kali ini simulasi yang diselesaikan secara individu.
Diriku berdiri di suatu padang rumput. Akan tetapi padang rumput nan indah ini tidak terbentang luas, melainkan sempit. Hanya lima langkah kaki menuju tumpukan buku raksasa yang menyerupai tangga. Lalu jauh di sana tampak sebuah bendera hijau yang menandakan garis Checkpoint.
Objektifnya aku harus mendapat benda itu.
"Baiklah," batinku sudah siap mulai detik ini.
Tiba-tiba padang rumput yang kuinjak bergetar hebat. Diriku sontak terkejut. Tak lama kemudian tanah ini mulai amblas ke bawah semakin cepat dan dekat dengan posisiku. Instingku pun bergerak dengan cepat. Otakku langsung menggerakkan tubuhku untuk berlari secepat mungkin menuju tumpukan buku yang semakin tinggi itu.
Getaran itu beralih menuju tumpukan buku yang detik demi detik amblas satu persatu.
Pandanganku sekilas menatap ke belakang untuk memastikan posisi getaran tersebut yang semakin melaju.
Aku terus berlari melangkah naik.
Pegal pasti, tapi hal itu pun tergantikan dengan emosi dan situasi seperti ini.
Di saat tumpukan buku kelima, kakiku hampir terkilir. Alhasil diriku terjatuh ke depan untuk menghindari terkilir tersebut. Untung saja kedua tanganku menahan tubuhku untuk ambruk. Sementara itu getaran mematikan itu terus menyusul jejakku.
"Aduh!" seruku dengan nafas tersengal-sengal.
Dengan sekuat tenaga, aku berusaha bangkit dan bertekad berdiri. Diriku kembali melanjutkan langkahku dan berlari.
"Aku tidak ingin melewatkan momen ini."
"Aku harus mendapatkan bendera itu segera!" batinku dengan segenap tekadku yang membulat.
Bendera itu semakin dekat dan nyata di depan mataku.
Dua tumpukan buku lagi.
Tahap demi tahap kini diriku berada di tumpukan buku kedua dari terakhir. Getaran itu telah berada di tumpukan buku ketiga tepat di belakangku.
Keringat dingin membasahi belakangku.
Tanpa sadar diriku mengerang, aku melompat menuju tumpukan buku terakhir. Bendera hijau berhasil menuju tumpukan buku terakhir yang cukup tinggi. Tangan kananku langsung meraih bendera hijau yang tengah melayang itu.
Seketika getaran itu terhenti tepat di belakangku yang akan menghampiriku di tumpukan buku terakhir.
"Checkpoint selesai!" Sosok suara samar dan menggema menyelimuti dunia rekayasa ini. Kemudian disusul dengan munculnya pintu gerbang besi dengan tombol hijau yang tertera di sebuah meja kecil.
Bendera itu menghilang di genggamanku dan beralih menjadi semacam serbuk peri yang terbawa udara. Namun hal itu tidak membuat diriku terkejut berlama-lama. Aku langsung mengetuk tombol di meja itu hingga menampilkan cahaya hijau.
Pintu itu terbuka.
Aku melangkah masuk ke suatu ruangan dengan banyak kursi mengitari ruangan berbentuk huruf U. Diriku terduduk sementara di sana untuk mengistirahatkan diriku yang lelah berlari dikejar getaran maut.
"Selamat Saudari Eireen Imrgard. Anda telah menyelesaikan level Checkpoint pertama!" seru suara seorang wanita dari balik pengeras suara yang menggema di sudut ruangan remang ini.
"Syukurlah," batinku.
Setelah diriku sudah lebih baik. Keringat dingin dalam diriku telah mengering dan sendi tubuhku sudah lebih leluasa. Sekitar 10 menit berlalu, aku pun beranjak dari bangku menuju pintu keluar.
Setibanya di sana diriku pun disambut oleh si sepasang kembar berambut merah, Andrei dan Andrea yang baru keluar dari ruangannya masing-masing. Seketika mereka menyadari atas kehadiranku setelah mereka berbincang satu sama lain. Pandangan kami saling bersahutan satu sama lain.
Aku pun berlari menghampiri mereka yang berdiri bersandar di dinding dekat pintu ruangan yang dimasuki Andrea. Perhatianku tertuju ke arah Andrea yang jalan sedikit pincang.
"Hey Eireen!" sapa Andrea kepadaku. "Hey Andrei!"
"Heyoo," sahut Andrei.
"Hey," jawabku. "Ano—um apa yang terjadi padamu, Andrea?"
"Kakiku sempat terkilir saat simulasi tadi," jawab Andrea. "Tapi kata perawat tadi yang mengobati kakiku ini tidak parah dan akan sembuh dalam hitungan jam."
"Baiklah. Cepat sembuh, Andrea!" ucapku.
"Makasih, Eireen. Tidak usah khawatir. Ini hanya cedera kecil. Tak seberapa deh. Getaran ambruk menyebalkan itu yang menjadi dalang semua ini," jelas Andrea terkekeh.
Ia menghela napas.
"Bagaimanapun aku harus berusaha menyelesaikan susulan materi ini hingga permainan takdir usai. Ya kan?" Andrea menyenggolkan lengan Andrei.
"Yoi," sahut Andrea sambil menaikkan satu alisnya.
Lalu mereka terkekeh bersama.
"Bagaimana latihan simulasimu?" tanya Andrea ke arahku.
"Ah, kalau Eireen sih tidak diragukan lagi udah," ucap Andrei sambil melirikku.
Aku terkekeh malu. "Hey kita sama-sama belajar, ya!"
"Iya deh iya," ucap Andrei.
Aku menghela napas.
"Ya gimana ya, cukup menegangkan tadi. Manalagi aku sempat jatuh. Hampir terkilir tapi akhirnya gak sama sekali untungnya," jelasku.
"Nah, iya kan. Getaran tadi tuh seram sekali!" ucap Andrea. "Aku kesal hal-hal yang seperti ini jujur."
"Ya, setuju. Tapi aku tidak sampai terjatuh. Tapi tadi menyeramkan sungguh," kata Andrei.
"Andrei memang mantan juara olahraga lari sprint, lho. Jadi larinya sudah terbiasa," ucap Andrea sambil melirik ke arah Andrei.
Andrei tersenyum. "Meski sebenarnya lomba tersebut untuk orang berumur 30 ke atas, tapi aku memalsukan umurku."
"Huh, kok bisa??" tanyaku bingung.
"Disuruh Andrea untuk ikut," lanjutnya.
Andrea tersenyum lebar. "Kapan lagi lomba lari gratis."
Mereka berdua pun tertawa.
"Aku tidak ikut karena aku tidak mahir dalam hal lari kecuali kalau kepepet alias darurat," ucapnya.
Kami bertiga pun tertawa bersama.
Ketika diriku tertawa, tiba-tiba pandanganku tertuju ke dinding lorong yang menampilkan sosok Abercio yang sedari tadi bersandar di sana sambil menatap suasana langit sore di kaca gedung.
"Eh? Cio? Sedang apa dia di sini?" batinku bertanya-tanya.
Ketawa yang keluar dari wajahku pun menghilang seketika, digantikan dengan raut wajah heran.
"Omong-omong, Ikan Dori Krispy?" tanya Andrea kepada saudaranya di sampingnya.
"Ayo lah!" jawab Andrei.
"Eireen?" panggil Andrei.
Aku tidak merespon. Masih dengan pandangan menatap sosok Abercio.
"Eireen!" panggil Andrei sekali lagi.
Dengan spontan, pandanganku langsung beralih ke Andrei di sampingku.
"Eh i—iya ada apa?" tanyaku.
Andrei dengan tatapan bingungnya sempat berhenti berkata. Lalu kembali mengatakan, "Kau mau gabung makan siang bersama kami?"
Mengingat ada janjian merayakan ulang tahun Abercio sore ini, aku pun berkata, "Makasih, tapi aku tidak bisa ikut bersama kalian sebab aku telah diundang teman-temanku untuk makan bersama mereka sore ini."
"Oh, siapa saja?" tanya Andrei penasaran.
"Hawisa, Enja, dan Abercio," jawabku. "Apa kau mau ikut bergabung dengan kami?"
Abercio terdiam memanggut. Sorot mata cokelat terang yang terkena pembiasan cahaya matahari sore itu membulat seketika lalu pupilnya seketika mengecil kembali seperti semula. "Tidak usah, kami biasanya berdua saja."
"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, ya!" ucapku sambil melancarkan tepuk tangan kepada Andrei dan Andrea.
Mereka pun membalas tepuk tanganku secara serentak.
"Jangan lupa besok pagi latihan, ya!" seru Andrea.
"Siap!" sahutku. "Sampai jumpa besok!"
Diriku menjauh langkah demi langkah.
Wujud mereka pun mulai mengecil.
Kini diriku berbalik badan dan melangkah menuju lorong gedung sebagai pembatas antara gedung lobby latihan dan elevator, tempat di mana Abercio berdiri hingga detik ini.
Diriku tidak mengetahui maksud dan tujuannya yang tiba-tiba itu. Sungguh di luar dugaanku.
Aku tidak ingin berekspetasi jauh.