Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 3 - CHAPTER 2 - Tiba di Dunia Baru

Chapter 3 - CHAPTER 2 - Tiba di Dunia Baru

"Bapak dan Ibu yang terhormat, dalam beberapa menit kita akan tiba di Crosein, untuk semua penumpang untuk mengakhiri perjalanan di Crosein. Harap siapkan barang-barang Anda, kami mengingatkan Anda untuk tetap di kursi Anda sampai kereta berhenti. Terima kasih telah menggunakan layanan kami dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya." ucap seorang perempuan dengan suara ramah dari balik pengeras suara untuk memberitahukan bahwa kami akan tiba di Crosein sebentar lagi.

Pemandangan alam seketika berubah menjadi kota dengan padat penduduk. Rumah dengan kayu ulin berbentuk seperti rumah jahe dengan cerobong asap tersusun berjejer rapi. Kendaraan seperti sepeda dan kereta delman mewarnai tiap jalanan. Cuaca berawan berbeda dengan di Ulva yang selalu terik.

Tak lama kemudian kereta api uap melambatkan kecepatannya setelah memasuki area pemberhentian stasiun dan berhenti.

DING DONG

Pintu kereta api terbuka, mempersilahkan kami keluar. Aku langsung beranjak dari kursi empuk dan berjalan menyusuri koridor kereta api untuk turun. Sosok pemuda kondektur berpakaian gagah menunggu di samping pintu keluar.

"Semoga harimu menyenangkan," ucapnya sambil tersenyum ramah.

"Um, terima kasih," ucapku membalas senyumannya.

Kaki kananku menginjakkan Kota Crosein untuk pertama kalinya.

"SELAMAT DATANG DI CROSEIN"

"Whoaaa," Diriku terpana oleh pemandangan orang saling berlalu-lalang. Pertama kalinya aku menyaksikan pemandangan yang ramai dan sibuk seperti sekarang.

Suara obrolan terdengar dari tiap sudut. Hentakkan kaki pun saling membalas.

Aku meneguk air liur yang tersendat di tenggorokanku. "Baiklah, ini saatnya."

Aku melanjutkan langkahku menelusuri pintu luar stasiun. Karena diriku tidak pernah berada di tengah dunia yang ramai, seketika kepalaku terasa pusing sehingga aku setengah berlari agar terbebas dari keramaian tempat publik.

Setibanya di keluar aku langsung mencari sepeda ontel gratis yang telah disediakan di tempat parkir khusus di samping stasiun. Setelah itu, diriku segera meluncur ke gedung serbaguna di pusat kota yang akan digunakan sebagai tempat upacara pembuka perekrutan dalam permainan takdir.

Dengan mengayun sekuat tenaga, tiba di gedung serbaguna hanya lima menit. Kemudian aku memarkirkan kendaraan beroda itu dan masuk ke wilayah gedung yang hanya tersedia satu lantai dan halaman yang luas.

"Gawat! Aku sudah telat!" ucapku sambil berlari menyusuri taman menuju pintu gerbang gedung.

Di sepanjang jalan menuju pintu masuk gedung sungguh sepi dan berhasil membuat pikiranku panik.

Entah apa yang merasukiku sehingga kakiku terkilir dan hampir terjatuh, tiba-tiba seorang pemuda berambut pirang klimis dan setelan pakaian yang rapi dengan kemeja putih lengan panjang dan celana coklat gelap — menahan tubuhku agar tak terjatuh dan memelukku. Aroma wangi bunga chamomile memekakkan hidungku.

Kami saling bertatapan.

"Eh?" Jantungku berdebar kencang dan malu. Aku tidak tahu apakah wajahku sekarang memerah. Ini sangat memalukan!

Aku langsung memosisikan tubuhku berdiri semula. Dekapan pemuda itu pun lepas.

"M—maaf dan makasih sudah menolongku," ucapku dengan pandangan menunduk, tidak berani menatap kedua matanya yang berwarna biru laut itu.

"Bodoh sekali kau, Eireen!!" Aku terus bergerutu dalam batinku.

"Dengan senang hati," ucapnya dengan tangan kanan menyentuh dada sebelah kiri.

Aku terdiam seribu kata.

"Apa-apaan yang dilakukan pemuda itu!"

Tiba-tiba pemuda itu berlagak sangat sopan kepadaku.

"Ini belum telat, upacara akan dilaksanakan 2 menit lagi," katanya. "Ayo sama-sama kita ke sana."

"Ah, oke."

Kami berdua pun berjalan masuk ke pintu gerbang besar gedung serbaguna itu.

Jujur, perasaanku masih kacau atas peristiwa tadi. Benakku tidak bisa berpikir jernih. Kedua tanganku gemetar. Jika dibandingkan, jalanku lebih berantakan ketimbang pemuda di sampingku. Ia sama sekali tidak memikirkan kejadian tadi. Sungguh tenang gerak-geriknya.

"Masa bodo, deh!" batinku.

Setelah masuk ke ruangan utama, ternyata sekumpulan anak-anak seusiaku telah berbaris rapi menunggu upacara dilaksanakan. Setiap gender berbaris berbeda. Untuk perempuan berbaris di sisi kanan sedangkan untuk laki-laki berbaris di sisi kiri. Semua kasta dan asal daerah bergabung menjadi satu kesatuan. Pakaian mereka hampir mirip semua, sama sepertiku. Setelan kemeja putih dan celana atau rok berwarna gelap. Banyak dari mereka sudah kenal satu sama lain maupun belum. Entah mereka sudah kenal sebelumnya atau baru kenal.

Karena gedung serba guna ini besar sehingga berhasil memuat kapasitas sekitar kurang lebih 100.000 orang. Masing-masing dari kami berbaris agak berjauhan agar tidak saling bersentuhan. Meski demikian, diriku masih belum terbiasa dengan keramaian seperti ini di suatu ruangan.

Lelaki tersebut menghilang dari pandanganku seolah-olah menyatu dengan lautan manusia.

"Aku sampai lupa menanyakan namanya!" gerutuku dalam batin. "Dari tampilannya yang sangat rapi dan harum sepertinya bukan sesama kasta."

TUK TUK

Tiba-tiba terdengar suara mikrofon yang diketuk dari arah depan.

"Selamat pagi semua para calon pemain permainan takdir ke-519, mari kita panjatkan puji syukur atas berkumpulnya kita bersama-sama di gedung serbaguna Crosein dalam keadaan sehat dan semangat. Terima kasih atas keantusias kalian dalam hadir," ucap seorang wanita berambut merah terurai bergelombang sebahu, kulit putih, tahi lalat di atas bibir, kedua mata menatap kami satu persatu serta balutan blazer hitam dengan kemeja putih dan dasi hitam dengan garis emas mengitarinya serta rok span hitam hingga bokongnya terlihat mencolok. Wanita itu tampil modis sekali.

"Pertama-tama, perkenalkan nama saya Jane Margareth. Saya adalah salah satu pelatih permainan yang menjadi panitia permainan takdir dan kalian akan terus bertemu dengan saya apabila kalian lolos. Saya akan memimpin jalannya upacara pembuka ini. Sebelum kalian menjadi pemain resmi, kalian akan menjalankan serangkaian tes, yaitu tes darah yang akan mengungkapkan kepribadian kalian sesuai kriteria calon pemain dan tes kesehatan yang akan dilaksanakan hari ini juga di sini," lanjutnya. "Maka dari itu, semoga perjalanan kalian direstui menjadi seorang pemain takdir. Sekian saya ucapkan terima kasih. Perekrutan calon pemain takdir resmi dibuka."

Seketika suara gong sebanyak tiga kali berbunyi nyaring yang disusul dengan suara tepuk tangan dari semua calon pemain.

"Semua peserta diharapkan menuju ruang 1 hingga 26 di koridor sebelah utara gedung sesuai inisial awal nama kalian. "

Setelah penyampaian kalimat pembukaan dari wanita modis bernama Jane tersebut, kemudian kami semua dengan santun keluar dari ruangan utama menuju ruang sesuai inisial awal nama kami di Koridor utara. Aku dan beberapa anak yang lainnya yang sekiranya sama inisial denganku menuju ruang 5. Setibanya di sana tercium harum gedung mewah yang jujur belum pernah kucium sebelumnya, sulit dideskripsikan harumnya. Ruangan ini seperti aula tepatnya sebab luas sekali dan menyediakan ruang yang cukup untuk kapasitas 10 orang.

Kami semua langsung berbaris menjadi 2 bagian.

"Namamu siapa?" tanya seorang perempuan berpenampilan feminim dengan rambut panjang dikuncir kuda dan kedua mata kecokelatan.

"Eireen, Eireen Imrgard," jawabku.

"Oh sini," ucapnya menyuruhku untuk baris di depannya.

"Makasih," jawabku. "Boleh aku tahu namamu siapa?"

"Namaku Enja Yoland. Senang berkenalan denganmu," jawabnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Senang berkenalan denganmu juga," Kataku sambil menjawab ukuran tangannya.

"Halus sekali tangannya ..., " batinku sambil merasakan sentuhan pori-pori gadis itu.

"Aku harap kita bisa bertemu di tahap akhir, Eireen," ucapnya seraya berharap.

Aku hanya tersenyum.

Sejujurnya aku ingin menanyakan kastanya, akan tetapi ini bukan waktu yang tepat. Mungkin nanti. Tidak sopan bila baru berkenalan, langsung menanyakan hal tersebut setelah kupikir berulang kali.

Aku kembali menghadap ke depan setelah percakapan kecil dengan Enja.

Seorang pria dibantu dengan seorang perempuan saling bekerja sama dalam serangkaian tes singkat di ruangan ini. Di sisi kanan adalah tes kepribadian dan sisi kiri adalah tes kesehatan.

Satu persatu nama dipanggil dan diminta maju ke depan untuk melakukan serangkaian tes singkat. Beberapa anak ada yang langsung keluar ruangan setelah mengikuti tes pertama. Ada juga yang langsung keluar ruangan setelah mengikuti tes kedua.

Jantungku berdebar kencang diselingi dengan sekujur tubuhku gemetar. Selain ruangan ini dingin, juga karena aku adalah orang yang mudah panik.

"Eireen Imrgard!"

Akhirnya giliran diriku maju.

"Silahkan duduk," ucap seorang pria paruh baya menyuruhku duduk di kursi di hadapannya.

Aku pun terduduk dengan sopan.

"Silahkan julurkan tanganmu yang tidak biasa kau lakukan dalam pekerjaan berat," ucapnya.

Aku pun menjulurkan tangan kiri.

Pria itu langsung menyentuh jari telunjukku. Benda menyerupai pulpen diarahkan tepat di jari telunjukku dan ditusuk selama dua kali di sana. Rasa perih muncul ketika benda menyerupai jarum menusuk hingga mengeluarkan tetesan darah yang mengalir keluar. Langsung diarahkannya jari telunjukku di kaca persegi yang tergeletak di atas suatu mesin pendeteksi yang tidak kuketahui.

" 40% Kolerik, 30% Melankolis, 25% Plegamtis, 5% Sanguinis." Mesin tersebut seketika berbunyi sejak darahku mengalir di sana.

Pria itu menatapku sejenak. Lalu berkata, "Kau masih lolos meski melankolismu tertinggi kedua. Tidak apa-apa. Lanjut ke tes kesehatan,"

Pernyataannya mampu meredakan debar-debar jantungku menjadi perasaan senang. Ia langsung memberikan sepucuk kapas bersih mengandung alkohol agar menghentikan mengalirnya darah pada jari telunjukku. Selanjutnya, aku berpindah ke tes kedua, yaitu tes kesehatan bersama seorang wanita berjubah putih. Diriku terduduk di kursi yang telah disediakan.

"Eireen?" tanya wanita muda itu untuk memastikan namaku.

"Ya," jawabku.

"Baiklah, Eireen. Apakah kau ada keluhan beberapa tahun belakangan ini?" tanyanya sambil bersiap-siap mencontreng pada selembar kertas di hadapannya.

"Sejauh ini tidak ada," jawabku.

"Anemia?" tanyanya.

"Tidak," jawabku.

"Apakah kau mengonsumsi obat-obatan?" tanyanya lagi.

"Tidak sama sekali. Aku hanya mengonsumsi air putih apabila lelah," jawabku.

"Baiklah, air putih memang bagus untuk dikonsumsi setiap hari. Bahkan ketika kau lolos menjadi pemain takdir kau harus bergantung pada air putih karena akan menjadi cadang makananmu selama permainan berlangsung," jelasnya.

"Apakah kau punya fobia, khususnya fobia terhadap hewan reptil?"

"Huh, fobia hewan reptil?" batinku setelah mendengar pertanyaannya wanita itu.

Jujur, ini merupakan pertanyaan aneh. Benakku seketika bertanya-tanya.

"Ada apa dengan hewan reptil?"

"Tidak ada." jawabku.

"Baiklah, kau pun lolos. Silahkan keluar dan menuju ruang utama kembali."

Aku hampir tidak percaya atas apa yang dibilang wanita itu. "Saya lolos?"

Wanita itu mengangguk.

"Baiklah, terima kasih."

"Sama-sama," Wanita itu membalas dengan senyuman tipis.

Aku pun bergegas beranjak dari kursi dan menuju pintu luar. Kemudian kembali ke ruang utama tempat upacara pembukaan tadi.

Setibanya di ruangan itu, sudah hadir beberapa orang, termasuk lelaki yang menolongku. Ia tampak akrab dengan teman-temannya. Setelah aku di sana, tiba-tiba perhatiannya tertuju padaku. Pandangannya mampu membuat pipiku memerah. Tanpa diduga, ia menghampiriku.

"Tidak kusangka kau lolos juga," ucapnya.

"Iya," ucapku.

"Cio!" Tiba-tiba suara perempuan memanggil dengan suara keras.

Kami berdua pun menoleh ke sumber suara. Enja sambil melambaikan tangan menghampiri kami berdua, terutama ia fokus ke lelaki di hadapanku.

"Jadi lelaki di hadapanku sekarang namanya Cio. Lucu sekali namanya, " batinku.

Diriku cukup terkejut dengan nama lelaki berambut pirang di hadapanku dan hubungannya dengan Enja.

"Oh, ternyata dia sudah memiliki teman perempuan," lanjutku.

Bahkan hubungan antara mereka berdua cukup akrab dilihat dari gerak-gerik sapaan Enja terhadap lelaki sambil merangkul seperti sahabat.

"Oh kalian ternyata kenal juga, ya," ucap Enja sambil menatap kami berdua secara bergantian.

Lelaki bernama Cio itu terkekeh. Lalu berkata, "Ah iya, sejak tadi pagi sebelum upacara malah. Omong-omong aku belum tahu namamu, lho."

"Perkenalkan namaku Abercio Griffin. Kau bisa memanggilku Cio agar lebih singkat. Aku dari Livia. Salam kenal!" kata pemuda itu sambil menjulurkan tangannya kepadaku.

"Oh ternyata Cio adalah nama panggilannya dari Abercio. Hmmm akhirnya diriku tercerahkan, " batinku.

Aku pun membalas uluran tangannya. Lalu berkata, "N—namaku Eireen Imrgard. Kau bisa memanggilku Eireen, dari Ulva."

"Oh Ulva. Aku suka pemandangannya. Sejuk sekali ya di sana," Kata Abercio.

"Tapi karena sedang musim panas, jadi lebih terik," kataku.

"Tahu gak sih, niatnya sebelum kau hadir, aku ingin berkenalan dengan dia tahu!" ucap lelaki itu kepada Enja.

"Yasudah maaf, aku terlalu cepat datang berarti," Katanya sambil memasang wajah cemberut menatap Abercio.

"Oh ya, Eireen. Asal kau tahu, kami berdua berasal dari wilayah yang sama lho, Livia!" seru Enja girang.

"Wah itu keren!" ucapku sambil tersenyum terpaksa dan kaku agar menampilkan ekspresi wajah gembira.

Bahkan aku tidak tahu bagaimana kota Livia itu sebab aku sudah terlalu lama di dalam goa.

"Iya!" ucap Enja yang bersemangat sambil meletakkan siku tangannya di bahu Abercio.

"Hentikan, Enja. Kau sungguh memalukan!" kata Abercio yang terlihat terganggu.

Enja sama sekali tidak terusik oleh perkataan Abercio dan terus mengeluarkan sikap aslinya tersebut.

"Aku senang sekali kita bertiga lolos dan menjadi pemain takdir!" kata Enja senang.

Aku cukup tersenyum mendengar perkataan Enja.

Setelah percakapan yang cukup banyak, akhirnya masing-masing kami kembali berbaris di tengah ruangan.

Diriku terkejut sebab hanya seperempat dari total keseluruhan sebelum tes yang lolos menjadi pemain takdir.

"Tes tes satu dua tiga...," Wanita berpenampilan modis yang menjadi pembukaan upacara perekrutan calon pemain takdir sebelumnya kini kembali di atas podium, Mrs. Jane.

"Saya ucapkan terima kasih kepada para hadirin atas keantusias kalian dan selamat bergabung menjadi pemain permainan takdir ke-519,"

Seketika suara tepukan tangan bergemuruh seisi ruangan selama beberapa detik, kemudian kembali hening.

"Saya akan membacakan peraturan dan tata tertib yang akan menjadi tanggung jawab kalian selama menjadi pemain," Katanya sambil membersihkan tenggorokannya dan jari-jemarinya membuka lembar baru dalam kertas di genggamannya.

"Poin pertama, setibanya di markas di hari kedua, kalian akan dipasangkan micro-chip khusus sebagai alat pendeteksi diri kalian. Lalu kalian akan mendapatkan pelatihan lima bulan secara intensif sebelum terjun ke lapangan. Kedua, dadu sebagai takdir kalian sehingga kalian harus bersungguh-sungguh dalam perjalanan misi permainan kalian Ketiga, tidak diperkenankan menggunakan cara instan lain selain cara bertahan hidup dan bela diri yang akan diajarkan saat pelatihan nanti. Apabila ketahuan, akan menerima sanksi skors atau sanksi berat lainnya yang setimpal. Keempat, kalian harus menerima dan mengerjakan setiap misi yang kalian Terima dalam permainan. Apabila kalian melanggar atau tidak dikerjakan secara lengkap, maka akan dikenakan sanksi hukuman setimpal. Kelima, apabila kalian berhasil memenangkan permainan ini, maka banyak keuntungan yang akan kalian dapatkan, salah satunya adalah derajat kehidupan kalian ditinggikan dan akan dekat dengan raja."

"Inti dari segalanya, kalian harus bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan permainan ini. Apakah ada yang ingin menambahkan atau tidak setuju dengan peraturan dan tata tertib yang dibuat?" tanya Mrs. Jane. "Silahkan angkat tangan dan sebut namanya."

Tiba-tiba seorang gadis mengangkat tangannya. "Nama saya Hawisa Fenja. Saya tidak setuju atas poin keempat yang menyatakan tiap pemain akan menerima misi dan jika tidak dikerjakan akan mendapatkan sanksi. Lalu bagaimana jika misi tersebut tidak wajar dikerjakan alias tidak sesuai kemampuannya? Bukankah itu termasuk pemaksaan dan masuk ke ranah hukum?"

Pandangan kami semua menoleh ke arah gadis bernama Hawisa Fenja yang berambut cokelat menggelombang terurai sebahu dan bintik frekel di wajahnya—yang berada di barisan belakang tersebut.

Mrs. Jane tersenyum miring mendengar pernyataan menolak dari Hawisa. "Terima kasih atas pernyataan menolakmu, Hawisa. Di sini misi yang diberikan adalah berbeda-beda masing-masing orang. Berbeda-beda di sini dalam konteks sesuai kemampuan masing-masing pemain. Namun semakin tinggi level, kalian juga akan mendapatkan penambahan kemampuan misi. Apakah sudah jelas?"

Hawisa mengangguk pelan tenang dan menurunkan tangannya. "Baiklah, terima kasih."

Aku cukup terpukau atas aksinya yang berani menyatakan pendapat itu. Sungguh keren. Kalau aku jadi dirinya, mungkin aku sudah gemetar tingkat dewa.

"Baiklah semua. Sekarang mari ikut saya. Kita akan ke markas sekarang," ucap wanita itu seraya membuka portal — dari tangannya. Portal tersebut sekejap terbuka di tengah ruangan dengan mengeluarkan cahaya ungu yang memukau dan menampilkan tampilan suatu ruang.

Satu persatu kami melangkah masuk ke dalam portal. Ketika diriku melangkah masuk portal tersebut, kami disuguhi ruangan luas dengan interior modern dengan dinding yang berasal dari baja berwarna keabu-abuan yang halus serta pencahayaan yang lumayan terang. Entah mengapa tiba-tiba diriku merasa kelelahan ketika tiba di sana. Aku merasa energiku terkuras setengah. Seperti berat ketika aku melangkahkan kakiku setibanya di markas.

"Apakah ini efek dari energi portal yang dihasilkan yang berlawanan dengan energiku?" batinku bingung.

Aku hanya bisa menerka-nerka saja.

"Atau mungkin energi gravitasi di sini lebih kuat?"

"Entahlah."

"Baiklah semuanya. Selamat beristirahat. Silahkan bangun pagi pukul 05.00, lalu kita akan memulai agenda pertama kalian di sini," ucap wanita itu.

"Bukankah masih siang?" tanya seorang lelaki kepada wanita itu.

"Oh, kalau di Rheoin, jauh lebih cepat 12 jam. Jadi, saat ini sudah malam," katanya. "Kita berada di dunia dimensi keempat. Kalian mungkin akan merasakan jetlag dalam seharian atau dua hari atau bahkan tidak."

Wanita itu tersenyum tipis. "Untuk kamar kalian, kamar laki-laki berada di lantai empat, sedangkan kamar perempuan berada di lantai tiga. Lantai dua adalah area sarapan. Lantai pertama dan lantai dasar adalah tempat pelatihan kalian. Untuk kamar mandi masing-masing berada di koridor ujung sebelah Barat dan ada lambang toiletnya," jelas wanita itu. "Sampai jumpa besok pagi."

Jujur energiku butuh tertidur. Semakin aku bergerak, energi ini semakin terkuras. Aku tidak tahu mengapa.

"Eireen, kau tidak apa-apa? Kau agak pucat," seru Abercio sedikit terkejut dari tatapannya.

Aku langsung mengubah ekspresi wajahku seakan-akan baik-baik saja. "Oh, aku baik-baik saja. Aku hanya... mengantuk."

"Oh, baiklah. Mungkin faktor jetlag sepertinya ...," ucapnya. "Sampai jumpa besok."

"Sampai jumpa," Jawabku.

Aku pun bergegas menuju elevator dan segera menyusuri koridor kamar dan mencari kamarku dengan papan nama atas nama awal tiap orang per kamar.

"Sampai jumpa, Eireen," ucap Enja tersenyum yang bersiap-siap masuk ke kamarnya yang berada dua pintu dariku.

"Sampai jumpa, Enja," ucapku balik. Setelah itu kami berpisah dari balik pintu. Setelah beberapa langkah yang cukup jauh akhirnya aku merasakan.

Aku langsung terbaring di atas kasur putih nan empuk yang siap menemaniku selama menjadi pemain takdir.

Tubuhku tidak pernah merasakan kelelahan seperti ini sebelumnya. Otakku penuh sekali pertanyaan.

"Mungkin karena faktor pergantian hari yang sangat cepat, " batinku.

Aku tetap berpikir logis meski pikiran lainnya masih berusaha mendapatkan jawaban langsung.

Aku menghela napas.

Namun momen-momen baru yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaanku. Bertemu teman baru, berada di keramaian, dan kini berada di tempat baru karena lolosnya diriku menjadi pemain takdir.

"Ayah dan ibu,

"Aku lolos menjadi pemain takdir sesuai harapan kalian.

"Aku akan berusaha yang terbaik. Pasti."