Chereads / DIFFERENT WAY / Chapter 2 - CHAPTER 1 - Kewajiban Dimulai

Chapter 2 - CHAPTER 1 - Kewajiban Dimulai

7 tahun kemudian.

Mentari terik muncul dari sela jendela kayu bermotif garis. Cahaya itu sungguh menghangatkan ruangan ini. Aroma roti panggang dan kayu manis semerbak menyelimuti seisi ruangan kamarku. Kedua mataku yang masih amat kering itu terpaksa harus bangun sebab matahari telah menunjukkan jati dirinya.

Hari yang tidak kutunggu tiba.

Di usiaku yang telah beranjak 17 tahun diwajibkan mengikuti serangkaian akademik pelatihan dan simulasi permainan penentu takdir. Hal ini berlaku bagi seluruh orang yang telah berusia 17 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Terpaksa aku harus keluar dari zona nyaman yang telah melindungiku dari kejamnya dunia luar. Diriku sudah tidak pernah bersosialisasi semenjak aku memutuskan untuk tidak bersekolah sejak usia 9 tahun. Ayah pun menyetujuinya. Ia benar-benar tidak mempermasalahkan hal itu.

Aku beranjak dari kasur putih ini. Kurapikan selimut dan bantal yang berserakan akibat ulahku. Kemudian sebelum menuju ke kamar mandi untuk mandi, sementara aku lewat dan berkaca pada cermin panjang. Kutatap pantulan diriku di sana.

Rambut pirang lurus nan panjang sebahu, mata hijau, kulit sedikit pucat, tubuh kurus, dan tidak terlalu tinggi. Raga ini sudah merasakan masa lalu kelam. Juga, sudah lelah memulai hidup baru.

"Apakah aku bisa menjalaninya?" batinku bertanya sekaligus meragukan kemampuan yang kumiliki.

Hati ini berat sekali. Apabila bisa dipilih, aku ingin tetap di rumah. Namun, takdir berkehendak lain.

Pandanganku mengarah ke tanganku. Kujentikkan jari ini, kemudian dunia menjadi terhenti. Lalu kujentikkan lagi jari, dunia kembali semula. Setidaknya sekarang aku sudah cukup bisa meminimalisir kekuatanku untuk dikendalikan.

Pandanganku kembali mengarah ke pantulan diriku di cermin.

"Sepertinya aku harus mengubah diriku yang baru." batinku.

Aku menghela napas.

Kuraih gunting kecil di sisi meja, lalu menggunting rambut pirangku tahap demi tahap. Setiap potongan menghasilkan rambut mati yang saling berjatuhan ke lantai kayu. Singkat waktu, hingga menyerupai model rambut tomboy.

Aksiku terhenti sambil menatap diriku yang berbeda.

"Kau adalah anak ibu satu-satunya yang paling kuat, percayalah."

Seketika kalimat ibu muncul dalam pikiranku seolah-olah memotivasiku di kala diriku masih terkubur oleh rasa putus asa dan ketakutan.

"Selamat datang Eireen Imrgard yang baru," ucapku sambil menyentuh wajahku. "Kau adalah manusia kuat, kau pasti bisa melalui ini semua."

Senyuman yang telah lama hilang muncul di wajahku meski hanya senyuman tipis.

Setelah selesai meratapi diriku yang baru, aku meletakkan gunting itu di sisi lain, helaian rambut yang berserakan segera kukumpulkan dan buang ke tempat sampah di sisi pojok kamar. Kemudian, aku membawa handuk bersih dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tak lama kemudian sekitar 10 menit lamanya, diriku keluar dengan balutan handuk di tubuh. Aku bersiap-siap mengenakan setelan kemeja putih dan rok panjang selutut berwarna cokelat tua. Kuraih tas selempang berwarna abu-abu pemberian ayah pada hari ulang tahunku yang ke-17 sebulan yang lalu yang sudah terisi buku tulis, pensil, penghapus, dan foto keluarga sebagai teman selama merantau. Tak lupa aku merapikan rambutku dengan sisir dan menyemprotkan parfum bunga lavender di sekujur pakaianku agar tetap segar di musim panas yang terik.

Setelah lengkap semua, aku melangkah keluar dari kamar nyaman ini, langkah demi langkah menuju ruang makan di lantai bawah. Langkah demi langkah terlihat wujud ayah yang sedang membaca sepucuk koran pagi andalan edisi terbaru dengan secangkir kopi hitam di kursi perbatasan dengan ruang tamu sambil diputarnya radio terkini.

"Pagi, Yah," ucapku, menyapa ayah yang tengah serius membaca setiap tulisan dalam koran. Sementara itu aku sedang mengambil piring dan mengambil dua buah croffle yang masih hangat.

"Eireen..., "

Aku menoleh ke arah ayah.

Benar saja. Kedua mata ayah membulat menatap penampilanku dari atas ke bawah, terutama pada rambutku yang berbeda. Koran yang sedari tadi di tangannya, dilipatnya kembali dan diletakkan di atas meja di sampingnya. Suara radio pun dikecilkan sejenak.

Aku tidak berkata apapun, menunggu kalimat selanjutnya.

"Kau potong rambut?" tanyanya.

"Sudah kuduga ayah akan menanyakan itu," batinku.

"Iya," jawabku singkat.

"Kau sungguh berbeda sekarang. Aku seperti bukan melihatmu. Tapi kau tetap cantik dan imut kesayangan ayah," katanya sambil tersenyum. "Anak ayah sudah besar."

"Ya begitulah, Yah. Aku hanya ingin memulai perjalanan baru ini dengan penampilan baru," kataku sambil memindahkan dua buah croffle yang sudah matang ke atas piring kecil yang sudah kusiapkan. Lalu mengambil segelas susu sapi asli peternakan Rhein.

"Lagipula rambut panjang memang menyesakkan leherku. Rambut seperti ini lebih segar dan sejuk," lanjutku sambil membawa dua piring ke meja makan.

"Makan dulu, Yah," ucapku kepada ayah. "Ayah sudah sarapan?"

"Ayah sudah lebih dulu sarapan," jawabnya.

"Oh, baiklah."

Aku melancarkan aksi menuangkan sirup mapel dan mentega di atas dua buah croffle panas ini serta memakannya.

"Ibumu pasti bangga melihatmu sekarang. Kau sudah banyak berubah," kata ayah.

"Aku masih berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya," kataku sambil menyantap makanan pagi di hadapanmu saat ini.

"Itu bagus," pujinya. "Ayah berharap kau dapat mengangkat derajat keluarga ini dan semua orang di kasta Shuvidarm melalui permainan takdir ini."

"Ayah dan Ibu merupakan peserta yang gagal pada tahap tes darah karena sikap melankolis ayah yang terlalu tinggi. Kalau ibumu gagal di tahap tes kesehatan karena riwayat anemia.

"Ya, maka dari itu ayah harap kau adalah jalan pembuka dan penyelamat kasta Shuvidarm menuju pencerahan dan keadilan dari sistem kasta yang senjang, " jelas ayah panjang lebar.

Seketika hati ini menjadi berat.

"Jangan anggap ini sebagai beban. Jalani saja seperti air mengalir. Kami yakin kau bisa melalui ini," Seakan-akan kalimat ayah mengetahui kondisi hatiku saat ini.

Aku tersenyum tipis. "Pasti, Yah. Aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Meskipun sebenarnya aku masih meragukan diriku.

Tanpa kusadari croffle ku telah habis, kemudian kuteguk segelas susu segar hingga tak tersisa. Piring dan gelas itupun langsung ku pindahkan dan cuci di wastafel khusus di belakang dapur. Kemudian aku menghampiri foto bingkai wajah ibu tersenyum manis.

Kedua tanganku diangkat setinggi dada dan telapak tangan saling bersentuhan. "Ibu, aku berangkat dulu, ya."

Garis senyuman di wajahnya seolah-olah mengizinkan diriku berangkat.

Setelah berpamitan kepada ibu, tak lupa aku berpamitan pada ayah. "Ayah, aku berangkat."

Ayah beranjak dari kursinya dan mendekapku ke dalam pelukannya. "Ya, Hati-hati, Nak. Jangan sampai lupa makan dan istirahat. Doa yang terbaik untukmu."

"Tentu, Yah," ucapku membalas dekapannya.

Napasnya yang berbau kopi hitam semerbak khas.

Ayah pun melepaskan dekapannya. Tampak dari wajahnya masih belum merelakan diriku pergi. Akan tetapi ini merupakan kewajiban yang harus kulaksanakan. Mau tak mau.

Aku segera mengenakan dua pasang kaos kaki putih dan sepatu hak rendah hitam sambil terduduk di depan pintu luar. Setelah itu aku beranjak menuruni anak tangga dan berjalan menuju stasiun dengan sepeda ontel.

"Eireen," Tiba-tiba ayah memanggil di saat jarak kami belum begitu jauh.

Aku menoleh berbalik badan ke arah ayah.

"Jangan lupa menulis surat untuk Ayah selama kau di sana. Kabarin apapun," lanjutnya.

"Baik, Yah," jawabku.

Lalu kuraih sepeda ontel dan bergegas menuju stasiun.

Butuh 15 menit agar tiba di stasiun Ulvan.

Dikarenakan Desa Ulva hanya berpenduduk kurang lebih 100 jiwa, sehingga aktivitas di stasiun tidak padat. Bahkan arah ke sana lebih cepat biasanya dari perkiraan waktu.

Setibanya di sana, aku memarkirkan sepeda ontel ini di tempat parkir khusus sepeda yang tersedia meski hanya sepeda ku saja di sana. Lalu, aku bersiap-siap mengeluarkan tiket kereta api kemarin sebab karena stasiun ini sepi sehingga aku diberi kemudahan untuk menggunakan alat transportasi kereta api uap, yaitu dengan menggunakan tiket lama. Juga, alat percetakan tiketnya pun sudah lama rusak.

Benar saja, hanya diriku di sini. Berdiri sambil menunggu kedatangan kereta api menuju Crosein, tempat rekrut peserta simulasi permainan takdir berada. Tepat waktu, kereta tujuan tersebut pun muncul. Aku bergegas masuk dan duduk di bangku yang sekiranya membuat diriku nyaman melihat pemandangan alam.

Beberapa menit setelah berhenti kemudian kereta api dengan tujuan Crosein bergerak perlahan hingga cepat.

Kini mataku memandang setiap objek pemandangan alam Ulva untuk terakhir kalinya, baik sementara atau selamanya.

Langit biru dan matahari bersinar cerah menyambut musim panas pertama di tahun ini. Pegunungan es nan jauh muncul dalam keadaan semu seperti ikut bergerak. Pohon-pohon hijau dan kering seolah menemani perjalananku.

Dunia luar yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Indah juga, ya ternyata," ucapku dengan suara pelan dan kedua mata menatap pemandangan yang saling bergerak semu seiring berjalannya kereta.