Chereads / Lelaki Bukan Lelaki / Chapter 5 - 5: Ancaman

Chapter 5 - 5: Ancaman

Ken terbangun pukul 3 dini hari, usai bermimpi terjun dari atas gedung. Dia lalu turun dari ranjang untuk minum, tapi di ranjang bawah, dia melihat Citra tampak terkapar dengan mulut berbusa. Bau obat pembasmi serangga begitu sengit, ternyata botolnya masih tergeletak di lantai dengan isi yang sudah tumpah.

"Citraaaaaa!!!"

Teriakan Ken pagi itu membangunkan seluruh penghuni kost, termasuk pemiliknya, bahkan warga di sekitar. Petugas keamanan tampak sibuk menelpon, lalu tak lama kemudian datang ambulans yang bersiap membawa Citra.

"Kasihan dia, korban keegoisan orangtua yang cerai tapi nggak mikirin nasib anak. Jaga dia, Ken!" Kata Ibu Kost, yang mengira Citra minum obat pembasmi serangga karena jadi korban orangtuanya.

Ken yang bersiap masuk ambulans hanya mengangguk, jiwanya guncang.

Peristiwa itu, membuat trauma bagi Ken. Untung saat itu sekolah sedang libur kenaikan kelas, jika tidak, pasti heboh karena Citra hampir dua minggu dirawat di rumah sakit. Menghabiskan tabungan Ken, yang dipersiapkan untuk biaya ongkos dan makan saat akan mengikuti tes Polwan. Namun, jangankan untuk berpikir ikut, mendengar kata Polwan saja Ken takut. Khawatir Citra bakal nekat untuk mencoba bunuh diri lagi.

Ken akhirnya melepas mimpi untuk jadi Polwan. Dia berjanji pada Citra, hanya akan mengambil kuliah atau kursus saja yang kampusnya tetap di Jakarta.

"Terima kasih, Kak Ken..." Ucap Citra, seraya memeluk Ken.

Tetapi, sepertinya Citra tak puas hanya menakuti Ken satu kali. Sebab saat Ken sudah kuliah, Citra juga merasa waktu Ken tak ada untuknya.

"Sibuk! Sibuk terus! Kuliah di teknik emang nggak ada istirahat? Sampe kost juga sibuk. Masa nggak ada waktu buat jalan?" Teriak Citra.

"Aku kan banyak tugas, Citra. Aku mahasiswa baru, mengertilah. Jangan salahkan aku terus. Aku ini sedang kuliah, bukan lagi di SMA. Tolong, Citra!" Keluh Ken.

"Oke, tapi jangan larang aku main ke luar dengan yang lain."

"Oke, silahkan. Terserah, asal kau senang."

"Kau berubah, Kak Ken!"

"Citra, demi Tuhan. Berhenti seperti anak kecil yang..."

"Cukup Kak Ken!"

Citra meraih ranselnya, lalu ke luar kamar kost tanpa pamit. Hatinya kesal. Ken seakan betul-betul tak ada waktu baginya, bahkan ketika sibuk di dalam kost dengan segala tugasnya. Bicara tidak, hanya serius berkutat dengan peralatan kertas gambar dan peralatan lain yang Citra tak paham.

Buat apa terlihat, tapi seakan sulit untuk sekedar berkomunikasi? Sementara dalam hidup Citra hanya ada Ken? Citra sudah kelas 11, tetapi tak punya teman dekat. Hanya Ken yang dia miliki. Baginya, Ken itu adalah keluarganya.

Tekanan bersekolah di sekolah favorit SMA Negeri 8 Jakarta, membuatnya juga sulit mengimbangi. Citra termasuk dalam jejeran siswa anti sosial di sekolah, tidak masuk ke dalam OSIS, tidak punya gang, tidak masuk dalam wajah yang terlihat di kantin dekat kantor pajak, bahkan tak bisa mengikuti gaya hidup siswa di sana yang umumnya bergaya dengan levelan anak dari keluarga menengah ke atas.

Sejauh yang membuat Citra tetap populer, adalah tentang kecantikannya, sebagai mantan Si Damar artis muda terkenal dan gosip samar tentang dirinya yang dianggap kaum pelangi, karena dekat dengan Ken.

Ken, saat masih SMA, termasuk siswi yang populer karena aktif di bidang OSIS. Dia pandai mengatur waktu untuk belajar, berorganisasi, hingga beristirahat. Ken dulu masuk kelas IPA, sementara Citra masuk kelas IPS. Ken dikenal sebagai siswi berprestasi dalam urusan akademik, sementara Citra hampir pingsan berurusan dengan remedial. Hampir seluruh siswa di sekolah itu penuh ambisi untuk aktif dalam beragam kegiatan, sembari memperebutkan ranking. Citra yang selalu ranking waktu SMP, seakan tak ada apa-apanya waktu di SMA.

Saat Ken lulus dari SMA, tekanan yang dialami Citra seakan berlebih. Dia seakan betul-betul tak memiliki teman di sekolah lagi. Semua orang seakan masuk dalam lingkup kelompok pertemanan yang solid, grup-grup persahabatan yang lengket bak stiker dengan lem. Membuat siswa-siswa individual macam Citra jadi kian tertekan.

Apalagi sejak Ken sibuk kuliah, keuangan Citra jadi makin parah. Mereka tak ada waktu jualan lagi, bahkan Ken kadang jarang memberinya uang saku, karena kebutuhan kuliahnya sangat besar. Ken masuk kampus swasta yang mahal, Papanya yang membiayai, sementara Mamanya hanya memberi sedikit uang saku yang kadang tak cukup dibagi dengan Citra.

"Gue pikir, lu bahagia sekolah di sono." Kata Vincent, saat Citra mengunjunginya di rumah. "Sekolah negeri favorit. Meski gue denger-denger, ambisius semua bocah di sana. Belajar udah kek kebutuhan pokok. Bagus sih, bagi yang niat lanjut kuliah di PTN bergengsi. Bukan buat gue yang mager dan tukang mencret."

Citra tak menjawab, dia hanya memandangi rumah lamanya yang kini sudah dihuni orang lain. Tampak sedikitpun tak berubah, kecuali semakin indah dengan tambahan taman bunga-bunga cantik.

"Kata Papa, dulu yang beli rumah itu karyawan Pertamina," ujar Citra, seraya berbalik dan duduk santai di bangku taman, berseberangan dengan Vincent.

"Itu dulu, kan sudah dijual tahun lalu."

"Oh, ya? Sama siapa?"

"Damar."

Jantung Citra seakan copot mendengarnya,"Lha, kok bisa?"

Vincent tertawa,"Bisalah, orang dia banyak duitnya. Kan semua filmnya laris, bahkan dia juga main musik sekarang, bentar lagi albumnya ke luar. Dia iklannya juga banyak."

Citra terdiam, dia malas mendengar itu. Di sekolah, dia merasa cukup gerah dengan celotehan kawan sekelasnya tentang betapa hebatnya si Damar saat ini. Sedikitpun, Citra tidak tertarik. Dia trauma mengingat Damar.

"Seharusnya, kamu jangan putusin Damar dulu Cit. Dia tulus kok sama kamu. Buktinya, dia sampai beli rumahmu. Katanya suatu hari nanti berharap bisa nikah dengan kamu, dan bawa kamu ke rumah itu lagi."

"Ih, Vincent. Apaan sih?"

"Serius, gue. Lagian ngapain sih lo mutusin dia gegara cemburu sama cewek-cewek fans nggak jelas?"

"Udah, Vincent. Cukup!"

"Lo kagak beri Damar kesempatan untuk menjelaskan. Kasihan, hidupnya dulu nyaris hancur. Apalagi saat lo malah balik deket sama si Ken yang udah kek buci itu. Mau jadi kaum pelangi lo?"

"Ih, najis. Eh, Kak Ken nggak kayak gitu ya. Dia normal dan baik!"

"Terus, dia sebaik apa hingga membuat lo sampai nangis nyari gue?"

Citra menghela nafas, bingung. "Jujur dia baik, Vincent. Baik banget. Bahkan membiayai hidupku."

"Haduh, soal biaya, kan Mama gue nawaran lo untuk tinggal sama kita? Disekolahin lho, sama Mama. Tapi lo malah mabur sama si Ken."

"Hmm... waktu itu, aku..."

"Gue temenan sama Ken waktu di Sampurna. Asal lo tau, dulu dia pernah naksir Alona lho."

"Hah, serius lo?"

"Makanya gue rada kurang seneng lo akrab sama dia. Mending sama Damar deh, kalo gue kata. Dari pada sama Ken, khawatir lo lama-lama terseret jadi kaum pelangi. Repot banyak warna, banyak masalah, banyak kutukannya. Mending sama Damar, banyak duitnya!"

Citra kembali terdiam. Bingung mau bicara apa.