Ken terbangun, siang hari. Dia kaget, karena ternyata masih berada di kamar Rose. Padahal dalam mimpinya, dia merasa telah kembali ke kamar kostnya dan menemukan Citra terlelap di ranjang mereka.
Dengan lesu, Ken meraih ponselnya di bawah bantal. Mencoba untuk kembali menghubungi nomor ponsel Citra. Itu mungkin sudah percobaan yang ke seribu kalinya, nanhn
"Kau tidur seperti kebo," canda Rose, sembari meletakkansecangkir kopi panas di atas meja untuk Ken. "Minumlah, biar kau mampu berpikir jernih."
Ken bangkit dari kasur, lalu duduk di sofa, di sebelah Rose. Lama gadis itu termenung, sebelum akhirnya meneguk kopi dengan lesu.
"Siapa Citra?"
BYUUR...
Kopi dimulut Ken menyembur. Gadis itu cepat meletakkan cangkir kopi, dan tergesa meraih tisu untuk mengelap mulutnya. Lalu dengan cepat pula dia bangkit, bergegas mengenakan jaketnya yang tergeletak di ujung kasur dan pamit pergi pada Rose.
Namun gadis itu malah menarik tangannya,"Aku tak peduli dengan masa lalumu. Aku hanya bertanya!"
Ken menggeleng,"Itu tidak penting! Aku berterima kasih untuk malam yang indah, tetapi aku harus pergi."
"Kau tidak tertarik padaku?" Mata Rose yang indah menatap sedih. "Ken, aku rasa... Aku sangat tertarik padamu. Sebab itu, aku sedikit kecewa ketika kau menyebut nama gadis lain..."
Ken menghela nafas,"Dia kekasihku. Gadisku tercinta. Tetapi
dia meninggalkan untuk pria lain."
"Pria? Dia gadis yang lurus?"
"Pria itu mantan pacarnya. Aku tak bisa bersaing dengan cinta sejati. Lagi pula pria itu tampan, kaya dan terkenal. Seorang aktor!"
"Aktor?"
"Damar, pemeran Film Cinta di Kebun Bunga!"
"Oh, dia memang tampan sekali. Sayangnya aku tak tertarik dengan pria."
"Mengapa?"
MENGAPA.
Ya, mengapa? Pertanyaan itu baru terlontar setelah pergulatan penuh gairah semalam. Tanpa cinta, tanpa bertanya hal detil masing-masing. Murni karena nafsu tak terbendung. Entah karena rasa sedih Ken kehilangan Citra, atau karena sensasi petualangan Rose.
Mereka akhirnya duduk di lantai, bersandar di dinding, merokok santai dengan pikiran masing-masing.
Rose mulai berkisah, jika dulu dia sebenarnya normal. Punya pacar cowok tampan anak gang motor. Hubungan mereka sejak SMP, karena kebetulan satu sekolah. Cowok itu bernama Mark, seseorang yang membuatnya kehilangan keperawanan saat usia tiga belas tahun. Bahkan Rose sempat hamil, lalu tiga kali menggugurkan kandungan. Karena tak mungkin berharap tanggung jawab pada remaja mabuk yang cuma memikirkan balap liar.
"Aku berhenti sekolah. Mark juga. Kami tetap bersama, sampai akhirnya, dia bosan padaku. Lelaki anjing," keluh Rose dingin, asap rokok di wajahnya bergulung tak karuan.
Ken meliriknya,"Sejak itu kau suka wanita?"
"Tidak juga. Sebenarnya aku hanya ketagihan soal 'itu'. Cuma karena takut hamil lagi, aku mencoba dengan wanita. Ya, lumayan juga. Hasrat tersalurkan. Tetapi dengan kau semalam, aku benar-benar mabuk kepayang. Kau berbeda! Kau benar-benar seperti lelaki."
"Berapa usiamu sekarang?"
"Dua puluh lima. Kau?"
"Tujuh belas. Aku seorang mahasiswi. Kau?"
"Aku bekerja di restoran sebagai pelayan."
Ken tersenyum pada Rose, dia menyukai cara santai gadis itu dalam menyikapi permasalahan. Mungkin dia tak secantik Citra, tetapi kepribadiannya membuat Ken sangat nyaman.
"Jangan terbebani soal hubungan ini. Kau bisa datang kapan saja. Aku tahu kau butuh hiburan, dan aku juga butuh sekali penyaluran," ucap Rose, sembari mengecup bibir Ken dengan lembut.
***
Bu Hasnah, Guru Bimbingan Konseling, memandangi Citra yang duduk sambil menangis di depannya. Sudah seminggu dia tak sekolah, tiba-tiba memohon untuk "dipertahankan".
"Saya anak broken home. Hidup sendiri tak dipedulikan. Papa kawin lagi dan selingkuhan di sana-sini. Lalu Mama, kemarin itu tiba-tiba nikah lagi untuk ketiga kali. Saya stres, Bu. Saya mau bunuh diri awalnya, tapi akhirnya malah sakit berhari-hari," kata Citra, berusaha mengarang cerita.
Bu Hasnah menghapus air matanya dengan tisu,"Selama ini kamu anak baik. Ibu tidak tahu hidupmu sesedih itu..."
Semua jadi begitu mudah. Citra bisa kembali duduk di bangku kelasnya, belajar seperti biasa, bahkan dengan penuh limpahan kasih sayang dari guru dan kawan-kawannya, yang mempercayai cerita yang dia karang sesukanya.
"Saat kau sakit, apa yang mengurusmu Kak Ken?" Tanya kawan-kawan sekelasnya.
Citra cepat menggeleng,"Kami sudah tidak tinggal bersama. Sudah pulang ke rumah masing-masing."
"Mengapa?"
"Biasa, orangtua pengen kami tidak ngeluyur terus. Menurutku, hidup tanpa pantauan orang tua memang bahaya juga."
"Apa yang terjadi?"
"Kak Ken pacaran ke klub, aku sibuk nongkrongin pacarku syuting."
"Syuting? Kamu balikan dengan si Damar bintang film itu yaaa..."
Citra tersenyum, dia merasa lega ceritanya mulai sinkron. Setidaknya, dia merasa tidak benar-benar berbohong.
"Tapi jangan cerita ke siapa-siapa, ya. Nanti jadi gosip besar, kami ingin menjalani hubungan dalam diam."
"Wow, bagus itu."
"Cuma belajar dari kasus kami yang dulu. Kalau ada yang banyak tahu, nyebar, malah hubungan jadi bubar."
"Jangan-jangan kamu sehat karena Damar yaaa...."
"Tentu. Siapa lagi?"
"Kamu sampai depresi gitu pas tahu Mamamu nikah untuk ketiga kali?"
"Iya."
"Sampai mau bunuh diri?"
"Iya, aduuh... Kacau pikiranku saat itu."
"Iya sih, wajar. Lagian, Mama kamu sih kawin melulu. Kamu yang sabar yaaa..."
Citra tersenyum, lalu mengangguk. Kerumunan itu bubar, para siswa mulai kembali duduk di bangkunya masing-masing. Belum ada guru mata pelajaran, jadi kelas seperti pasar. Semua ngobrol.
Perlahan, Citra mengeluarkan ponselnya. Ponsel baru yang diberikan Damar, berikut nomor barunya bahkan sejak hari pertama mereka bercinta. Sejak itu, dia tak menyimpan nomor siapa pun lagi, kecuali Damar, Mama dan Papanya, serta Vincent dan Tante Virna, serta Parti.
Aku masih syuting, belum pulang.
Citra menghela nafas, dan membalas pesan Whatsapp itu; OK.
Kamu sekolah? Parti bilang kamu nggak ada di rumah.
Citra kembali membalas; YA.
Lalu tiba-tiba ada pesan lain masuk.
Mama mau pindah ke Amrik. Kamu ikut, ya!
Citra terdiam. Tiba-tiba perasaannya jadi tak karuan.
***
Damar gelisah. Baru saja dia mendapatkan fakta, bahwa Citra kembali ke sekolah. Cowok itu mengira, Citra sedang marah karena dia tidak pulang semalam. Sinetron kejar tayangnya bertabrakan jadwal dengan syuting film terbarunya. Citra pasti belum paham dengan kesibukkannya, jadi pastinya akan kecewa dan marah. Butuh waktu untuk memberinya pengertian, apalagi gadis itu masih sangat muda.
"Sebaiknya kau kembali menggunakan manajer dan personal asisten. Biar kau bisa kontrol waktu dan tidak terlalu lelah," kata Ronald, rekan sesama aktor yang bermain dalam satu project film besar dengannya.
Tetapi Damar menggeleng. Dia jera ditipu mantan manajernya, dan dia juga pribadi introvert. Personal Asisten baginya cuma bikin pusing.
Damar sangat tertutup, dia selalu senang hidup sendiri. Baru kali ini dia hidup berdua, itu pun bersama Citra, gadis yang sangat dicintainya.